Di tengah gemerlap kota, kegelapan purba bangkit.
Satu per satu, para elite yang telah "bertobat" ditemukan tewas dalam ritual penyiksaan yang mengerikan. Mantan preman, pengusaha licik, semua yang kini dermawan, tubuhnya dipajang sebagai altar dosa masa lalu mereka.
Sang pembunuh tidak meninggalkan sidik jari. Hanya sebuah teka-teki teologis: ayat-ayat Alkitab tentang murka dan penghakiman yang ditulis dengan darah.
Media menjulukinya: "Sang Hakim".
Ajun Komisaris Polisi (AKP) Daniel Tirtayasa, detektif veteran yang hidupnya ditopang oleh iman, ditugaskan memburu bayangan ini.
Namun, perburuan kali ini berbeda. Sang Hakim tidak hanya membunuh; ia berkhotbah dengan pisau bedah, memutarbalikkan setiap ayat suci yang Daniel pegang teguh. Setiap TKP adalah kapel penghujatan yang menantang eksistensi pengampunan.
Kini, perburuan ini menjadi personal.
Mampukah Daniel menangkap Sang Hakim sebelum imannya sendiri hancur berkeping-keping?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Firmanshxx969, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 18
Ruang komando Satgasus “Operasi Penebusan” terasa seperti makam. Optimisme yang sempat tumbuh saat mereka memburu Antonius Malik kini telah lenyap, digantikan oleh keheningan yang berat dan udara yang penuh dengan amarah yang tertahan.
Papan tulis yang berisi profil dan pergerakan Antonius kini tampak seperti monumen kebodohan mereka. Di tengah ruangan, di layar utama, sebuah gambar diam dari video Sang Hakim zoom ke jendela kamar tidur Nadia sengaja dibiarkan menyala oleh Daniel. Itu adalah pengingat abadi akan taruhan dalam permainan ini.
Ipda Adit tidak bisa melihat layar itu. Ia memalingkan wajahnya. Iptu Hasan menatapnya dengan rahang terkatup, seolah ingin meninju dinding.
AKP Daniel Tirtayasa berdiri di depan layar itu, punggungnya menghadap timnya. Ia belum pulang selama dua puluh empat jam. Pakaiannya kusut, lingkaran hitam di bawah matanya. Ia telah mengatur pengawasan rahasia untuk rumahnya. Ia telah berbohong kepada istrinya, Sarah, mengatakan ia harus menginap di kantor sebuah kebohongan yang terasa seperti bara api di lidahnya. Ia telah melakukan semua hal yang benar sebagai perwira. Tetapi sebagai seorang suami dan ayah, ia merasa telah gagal.
Ia memanggil Dr. Maya Sari untuk datang secara langsung. Sebuah panggilan video tidak akan cukup.
Saat Dr. Maya masuk, ia bisa langsung merasakan perubahan atmosfer. Ketegangan yang tadinya bersifat profesional kini telah berubah menjadi sesuatu yang jauh lebih gelap dan personal. Ia mengangguk singkat pada Daniel, matanya yang tajam langsung tertuju pada gambar di layar utama.
“Dia mengirimkannya langsung padamu,” kata Maya. Itu bukan pertanyaan.
“Kemarin. Lewat kurir,” jawab Daniel, suaranya datar. Ia berbalik, mempersilakan Maya duduk di meja utama. Kompol Reza dan Ipda Adit bergabung dengan mereka, wajah mereka sama-sama tegang.
Daniel dan Reza menjelaskan semuanya: paket anonim, flash drive yang bersih secara digital, dan isinya. Selama penjelasan itu, Maya tidak menunjukkan ekspresi ngeri. Ia mendengarkan dengan konsentrasi seorang dokter bedah yang mendengarkan laporan pasien kritis. Analitis dan terpisah secara emosional.
“Boleh saya lihat videonya?” pinta Maya.
Reza memutar kembali file itu. Seluruh ruangan terpaksa menyaksikan lagi.
Adegan pertama: Sarah, istri Daniel, menyiram tanaman. Ia tersenyum, menyenandungkan lagu.
Daniel mengepalkan rahangnya, memaksa dirinya untuk menonton.
Adegan kedua: Tawa Nadia yang polos di ayunan. Suara tawa itu memenuhi ruang komando yang sunyi, membuatnya terasa seratus kali lebih mengerikan. Adit terlihat jelas bergidik dan membuang muka.
Adegan ketiga: Daniel sendiri pergi bekerja. Diikuti oleh zoom perlahan ke jendela kamar Nadia.
Video berakhir.
Maya menontonnya sekali tanpa komentar. Lalu, ia berkata, “Putar lagi. Kali ini, jeda di setiap potongan adegan.”
Reza menurut.
“Jeda di Sarah,” perintah Maya. “Lihat ini. Pengambilan gambarnya stabil. Tidak ada guncangan. Ini bukan direkam sambil bersembunyi di semak-semak. Pelakunya sangat percaya diri.”
“Dia di seberang jalan. Mungkin di dalam mobil van,” kata Reza.
“Mungkin,” kata Maya. “Tapi dia tidak takut ketahuan. Lanjut.”
Reza memutar ke adegan Nadia.
“Jeda. Perhatikan framing-nya. Sempurna. Subjek berada tepat di tengah. Ini bukan sekadar rekaman, ini adalah sebuah komposisi. Dia memiliki mata seorang seniman.”
“Atau seorang sosiopat yang terobsesi pada detail,” geram Hasan dari sudut ruangan.
“Keduanya seringkali tumpang tindih, Iptu,” jawab Maya tanpa menoleh. “Lanjut ke adegan terakhir.”
Potongan video Daniel yang pergi bekerja, diikuti zoom ke jendela kamar Nadia.
“Dan ini,” bisik Maya, “adalah inti pesannya.”
Setelah video selesai untuk kedua kalinya, Maya bersandar di kursinya. Ia terdiam lama, matanya menatap kosong ke layar yang kini kembali menampilkan gambar jendela kamar Nadia.
“Ini bukan ancaman pembunuhan biasa, Komandan,” katanya akhirnya. “Untuk memahaminya, Anda harus berhenti melihatnya sebagai ancaman kekerasan.”
“Dia merekam putri saya, Dok,” suara Daniel rendah dan berbahaya. “Itu ancaman kekerasan.”
“Bukan,” kata Maya, menatapnya tajam. “Itu adalah ancaman kekerasan, tapi pesan-nya bukan tentang itu. Ini adalah sebuah pernyataan superioritas. Dia tidak berkata, ‘Aku akan menyakiti keluargamu.’ Pesan yang sebenarnya jauh lebih mengerikan.”
Maya mencondongkan tubuhnya ke depan.
“Pesannya adalah: ‘Aku bisa menyakiti keluargamu kapan pun aku mau. Aku bisa berada di depan rumahmu di siang bolong, aku bisa mengawasi putrimu bermain, dan kau, dengan seluruh timmu, tidak akan pernah tahu aku ada di sana. Aku sepenuhnya mengendalikan duniamu.’”
Kata-kata itu menghantam Daniel.
Maya melanjutkan, “Pembunuhan Lukas dan Riana adalah khotbahnya kepada dunia. Temanya ‘penebusan palsu’. Itu adalah argumen teologisnya. Tetapi panggilan telepon kepadamu dan video ini… ini adalah khotbah yang sama sekali berbeda. Ini adalah khotbah yang jauh lebih intim, yang dirancang hanya untuk satu orang jemaat.”
“Saya,” bisik Daniel.
“Anda, Komandan,” tegas Maya. “Anda bukan lagi pemburunya. Anda kini telah dipromosikan menjadi penonton utamanya. Audiensnya.”
Sebuah kesadaran yang dingin dan mengerikan mulai merayap di benak Daniel. Selama ini ia mengira sedang memburu monster. Ternyata, monster itu sedang mementaskan sebuah pertunjukan untuknya.
“Setiap tindakannya mulai dari sekarang,” tegas Maya, “termasuk siapa pun korban berikutnya, tidak lagi dirancang hanya untuk membuktikan poin kepada masyarakat. Setiap langkahnya akan dirancang sebagai sebuah pesan personal yang ditujukan langsung kepada Anda. Setiap mayat baru akan menjadi sebuah kalimat dalam surat yang ia tulis khusus untukmu.”
“Untuk apa?” tanya Daniel. “Apa yang dia inginkan dariku?”
“Reaksi,” jawab Maya singkat. “Dia ingin memprovokasi Anda. Dia ingin Anda marah, frustrasi, dan membuat kesalahan. Antonius Malik adalah buktinya. Dia tahu Anda akan mengejar petunjuk logis. Dia memberi Anda petunjuk yang sempurna lengkap dengan latar belakang medis dan Anda mengambil umpannya. Dia membuang waktu Anda selama empat hari.”
“Dan saat kita sibuk di Jakarta Timur,” timpal Reza, wajahnya pucat karena marah, “dia ada di halaman rumah Komandan.”
“Tepat,” kata Maya. “Dan panggilan telepon itu. Dia memanggilmu ‘Gembala’. Dia tidak mendapatkan nama itu dari arsip kepolisian. Dia mempelajarimu. Dia tahu apa yang penting bagimu. Dia ingin membuktikan bahwa sang Gembala tidak berdaya untuk melindungi kawanan dombanya.”
Maya mencondongkan tubuhnya lebih dekat, suaranya kini hampir berbisik. “Dia tidak sedang mencoba lari dari Anda, Daniel. Dia sedang mencoba menari dengan Anda. Dan dia yang memimpin dansa ini.”
Daniel memejamkan mata. Keluarganya bukan lagi sekadar korban potensial. Mereka telah menjadi bidak catur.
Ia membuka matanya. Kemarahan dan ketakutan di dalam dirinya telah berubah menjadi sesuatu yang lain: sebuah ketenangan yang dingin. Sebuah fokus yang setajam ujung pisau bedah.
“Baik,” kata Daniel, suaranya kembali datar. “Jika dia ingin aku menjadi penontonnya, maka aku akan menjadi penonton yang paling jeli. Jika setiap korban adalah pesan untukku, maka kita harus membaca pesan itu lebih baik darinya.”
Ia berdiri dan berjalan ke papan tulis. Dengan satu gerakan cepat, ia menghapus semua catatan tentang Antonius Malik hingga bersih. Ini adalah deklarasi perang yang baru.
“Jika itu permainannya,” lanjut Daniel, kini menatap Maya dengan intensitas baru, “maka kita akan bermain. Dokter, mari kita balikkan logikanya. Jika Anda adalah dia, dan Anda ingin mengirim pesan berikutnya kepadaku sebuah pesan yang dirancang khusus untuk menyerang saya, untuk membuktikan kegagalan saya sebagai ‘Gembala’ siapa yang akan Anda pilih dari daftar lima puluh nama itu?”
Pertanyaan itu mengubah seluruh arah investigasi. Mereka tidak lagi mencoba melindungi semua orang. Mereka kini mencoba memprediksi sebuah pesan.
Dr. Maya menatap papan tulis yang berisi lima puluh wajah itu dengan cara yang baru. Kengerian dan pemahaman muncul di wajahnya secara bersamaan. Ia sadar bahwa perburuan ini tidak lagi hanya tentang mencari “pendosa yang diampuni”.
Ia menatap Daniel dengan tatapan yang serius.
“Jika itu tujuannya,” kata Maya pelan, “maka kita tidak lagi mencari korban yang paling terkenal di mata publik.”
“Lalu siapa yang kita cari?” desak Daniel.
“Kita mencari seseorang yang, jika ia mati, akan paling menyakiti Anda secara pribadi atau profesional. Seseorang yang keselamatannya, di mata publik atau di mata Anda sendiri, adalah tanggung jawab langsung dari seorang ‘Gembala’.”