Kirana harus menerima kenyataan bahwa calon suaminya meninggalkannya dua minggu sebelum pernikahan dan memilih menikah dengan adik tirinya.
Kalut dengan semua rencana pernikahan yang telah rampung, Kirana nekat menjadikan, Samudera, pembalap jalanan yang ternyata mahasiswanya sebagai suami pengganti.
Pernikahan dilakukan dengan syarat tak ada kontak fisik dan berpisah setelah enam bulan pernikahan. Bagaimana jadinya jika pada akhirnya mereka memiliki perasaan, apakah akan tetap berpisah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Dua Puluh Tujuh
Cahaya pagi merambat masuk lewat celah tirai hotel yang tebal, membuat kamar yang semalam remang-remang kini tampak hangat dan keemasan. Udara dinginnya AC bercampur dengan aroma lembut vanilla dari lilin aromaterapi yang masih tersisa. Hening dan tenang. Sampai akhirnya Kirana membuka mata.
Awalnya ia hanya ingin berguling ke arah kiri karena matahari terlalu terang. Tapi begitu ia bergerak barang beberapa sentimeter, sesuatu yang hangat dan berat terasa melingkari pinggangnya.
Dia membuka mata sepenuhnya. Dan hampir menjerit.
Tangan Samudera memeluk pinggangnya dari belakang. Badan pria itu menempel setengah ke tubuhnya. Wajah Sam berada begitu dekat, bahkan napas hangatnya mengenai tengkuk Kirana. Rambut Samudera sedikit berantakan. Dan parahnya, kaki mereka saling terkait.
“Ya ampun ....” Kirana membungkam mulutnya cepat sebelum suara keluar berlebihan. Ia langsung mendorong dada Samudera dengan spontan, terlalu kaget, terlalu panik, dan sangat deg-degan.
“Sam!” dorongnya keras.
Samudera menggeliat seperti kucing dibangunkan paksa. Rambut acak, mata setengah terpejam, suara serak parah. “Hmm … apaan sih .…”
Kirana makin panik karena suara serak itu terdengar seksi. Membuat detak jantungnya berpacu.
“Samudera! Lepas! Bangun! Jangan peluk!”
Sam akhirnya membuka mata, masih blur, lalu melihat Kirana dengan ekspresi bingung yang lucu campur malas.
“Loh … kenapa sih bangun-bangun langsung jadi singa?” gerutunya sambil duduk. Suaranya serak tapi jelas terdengar geli.
Kirana hampir melempar bantal ke wajahnya. “Sam! Kamu kenapa peluk-peluk!”
Sam mengucek mata. “Peluk-peluk apaan … kamu ya yang meluk aku duluan.”
“Hhaaa?!” Kirana nyaris tak bernapas. “Aku??!”
Sam mengangguk santai banget, seperti membahas cuaca. “Iya. Kamu lupa? Tadi malam hujan deras, kamu langsung peluk aku. Kamu yang pengen dipeluk, aku yang disalahin. Dasar perempuan … emang nggak pernah mau salah.”
Kirana membuka mulut, tapi tak ada suara keluar. Karena di detik itu ingatan samar muncul. Ia memang kalau kedinginan suka narik apa pun yang dekat. Mungkin termasuk Samudera.
“Oh my God .…” Kirana menutup wajah dengan kedua tangan. “Aku beneran …?!”
Sam menyender santai ke kepala ranjang, tersenyum nakal. “Banget.”
“Samudera!”
“Apa?”
“Kamu harusnya langsung lepasin lah!”
“Lah? Kamu narik aku. Masa aku tarik tangan kamu satu per satu? Yang ada kamu ngamuk.”
Kirana mengerang frustasi. Ini memalukan sekali.
Sam tertawa kecil. “Sudah, sudah. Nggak usah malu. Anggap aja kamu peluk boneka malam tadi. Aku ini kan imut seperti boneka.”
“Sam ...!”
“Hahaha.”
Saking malunya, Kirana hanya bisa memalingkan wajah, pipinya merona merah jelas. Samudera bangun dari kasur sambil meregangkan badan.
“Udah ah, aku mandi dulu,” ucap Samudera sambil mengambil handuk.
Kirana masih memeluk bantal dengan muka merah, berusaha menenangkan detak jantungnya yang kacau balau.
Beberapa menit kemudian, suara shower terdengar. Kirana masih duduk di kasur sambil mengelus wajahnya.
“Kenapa sih aku bisa? Astaga … memeluk dia duluan pula.”
Ia menatap telapak tangannya, seolah itu benda kriminal. “Tangan, kenapa kalian bergerak sendiri semalam?!”
Baru ia menghela napas panjang, pintu kamar mandi terbuka. Dan Kirana langsung terpaku.
Sam keluar hanya memakai handuk kecil, yang panjangnya cuma sampai setengah paha. Rambutnya basah menetes. Bahunya lebar. Otot dadanya jelas. Perutnya … well, Kirana cepat-cepat memalingkan muka sebelum matanya menggelinding tanpa izin.
“Sam!” serunya spontan sambil menutup mata dengan tangan. “Ya Tuhan!”
Sam meliriknya santai. “Kenapa?”
“Kamu … apa kamu nggak bisa pakai handuk yang lebih besar?!”
Sam mengangkat alis. “Kenapa emangnya?”
“Kamu … kamu nggak malu?!”
Sam hanya tertawa rendah, suara yang entah kenapa membuat jantung Kirana semakin menggila. Lalu tanpa peringatan, Sam mendekati Kirana.
Kirana mundur, tapi Sam naik ke ranjang dengan satu lutut, mencondongkan tubuh hingga mengukungnya di antara kedua lengannya.
“A-Apa yang kamu lakukan?!” Kirana reflek menutup mata lagi.
Sam berbicara pelan, dekat sekali. “Kenapa emangnya? Aku ini suami kamu, loh .…”
Kirana memejamkan mata makin kuat. Mereka terlalu dekat. Karena dia bisa merasakan kehangatan tubuh Sam. Ia bisa mencium aroma sabun yang entah kenapa wangi banget pagi ini.
Sam tersenyum melihat Kirana yang langsung memerah. Ia menurunkan wajah sedikit, tidak menyentuh, hanya mendekat cukup untuk membuat Kirana lupa cara bernapas.
“Rugi loh menutup mata,” goda Sam pelan. “Badan aku sebagus ini dan yang bisa lihat cuma kamu.”
“Sam …,” ucap Kirana pelan hampir tidak terdengar. “Ja-jangan gila … aku mau mandi. Menjauhlah.”
Sam semakin tergoda karena melihat Kirana menahan napas. Ia tertawa pelan.
“Wajahmu memerah,” bisiknya, “pasti sebenarnya kamu suka, kan?”
Kirana langsung membuka mata, hanya untuk menatap dada Sam yang terlalu dekat. Ia langsung menutup mata lagi.
“Samudera!!”
Sam akhirnya mundur sambil tertawa lebar. “Haha, udah-udah. Sini, lewat.”
Begitu Sam turun dari ranjang, Kirana langsung berdiri cepat hampir terpeleset karena gugup dan berlari kecil menuju kamar mandi sambil menutup wajah.
Sebelum menutup pintu, ia masih sempat berteriak, "Sam, jangan lupa pakai baju yang benar!" Pintu tertutup keras.
Sam berdiri di depan pintu, masih berkacak pinggang dengan handuk kecilnya. Ia tersenyum tipis.
“Muka dia merah banget …,” gumam Samudera. “Gemes amat sih.”
Ia berjalan ke lemari, mengambil pakaian yang sudah disiapkan, tapi berhenti sebentar sambil mengusap rambut.
“Hari ini bakalan rame .…”
Ia menatap pintu kamar mandi yang tertutup rapat. "Dan aku penasaran banget sebenarnya dia mau ngomong apa.”
Kirana di dalam kamar mandi bersandar pada pintu, menutup wajah, dan air panas yang mengalir dari shower tidak cukup untuk meredakan deg-degan yang meledak-ledak.
“Astaga … astaga … astaga …,” gumam Kirana. “Kenapa dia harus sedekat ini?”
Ia memukul dadanya pelan. “Kenapa jantungku begini sih?!
Namun bayangan Samudera setengah basah, dengan handuk kecil, dengan senyum nakalnya jelas-jelas tidak membantu. Bahkan
Kirana menutup dengan kedua tangan. “Aku harus waras. Aku harus waras. A-aku tak boleh suka dengannya."
jatuh cinta .wa ea aa
ditunggu lanjutannya
mami pikirannya udah menjurus kesana🤭