Embun Nadhira Putri, 28 tahun, terjebak antara tuntutan pekerjaan dan desakan keluarganya untuk segera menikah. Ketika akhirnya mencoba aplikasi kencan, sebuah kesalahan kecil mengubah arah hidupnya—ia salah menyimpan nomor pria yang ia kenal.
Pesan yang seharusnya untuk orang lain justru terkirim kepada Langit Mahendra Atmaja, pria matang dan dewasa yang tidak pernah ia pikirkan akan ia temui. Yang awalnya salah nomor berubah menjadi percakapan hangat, lalu perlahan menjadi sesuatu yang jauh lebih berarti.
Di tengah tekanan keluarga terutama sang Mama, rutinitas yang melelahkan, dan rasa takut membuka hati, Embun menemukan seseorang yang hadir tanpa diminta.
Dan Langit menemukan seseorang yang membuatnya ingin tinggal lebih lama.
Terkadang takdir tidak datang mengetuk.
Kadang ia tersesat.
Kadang ia salah alamat.
Dan kali ini…
takdir menemukan Langit.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lacataya_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26 – Suara Langit
Ruangan interview yang tadinya dipenuhi suara ketikan panik dan desahan frustrasi kini berubah menjadi lautan hening yang nyaris menekan dada. Semua orang berdiri—termasuk tiga interviewer—sementara Embun tetap duduk di kursinya, dengan laptop menyala di pangkuan dan cahaya kebiruan Blue Star masih berdenyut pelan di layar, seperti jantung digital yang belum berhenti sepenuhnya.
Langit berdiri paling depan. Tinggi, tegap, rahangnya mengeras, sorot matanya tajam seperti pisau yang baru diasah. Meski tidak berteriak, kehadirannya saja sudah cukup membuat atmosfer ruangan melipat diri.
Dan ketika ia membuka mulut, suara rendahnya memotong udara seperti garis tegas di kanvas kosong.
“Siapa,” suaranya datar namun sangat berat, “yang menjalankan simulasi ini?”
Tidak ada yang menjawab. Tidak ada yang bergerak. Bahkan napas pun seakan menahan diri.
Hingga akhirnya Embun mengangkat wajah perlahan. Tatapannya tenang, hampir tidak terpengaruh. Ia menutup sedikit layar laptopnya, lalu menjawab dengan nada lembut— namun setiap katanya mengandung keberanian yang membuat semua orang terpaku.
“Saya, Pak.”
Dua kata yang sederhana. Namun ruangan itu seakan bergemuruh diam-diam.
Langit menatapnya dalam. Tidak percaya. Tidak marah. Lebih seperti… menganalisis.
“Kamu yang menjalankan ini?” ulang Langit, suaranya turun setengah oktaf, tidak mengancam, tetapi sangat menuntut kejelasan.
Embun mengangguk kecil. Terlihat Anggun, percaya diri, Dan sangat… tenang.
“Sebenarnya saya tidak berniat menggunakan cara seperti ini,” ucapnya, suaranya lembut namun jelas, seperti seseorang yang sedang menjelaskan sesuatu yang sudah ia pikirkan matang-matang.
“Tapi Bapak itu terlalu meremehkan kemampuan saya. Dan saya tidak bisa menerima ucapan bahwa perempuan adalah ‘wanita manja’ yang tidak bisa masuk dunia IT.” Lanjutnya sembari menatap Ferdi.
Ferdi menunduk seketika. Rahangnya tampak mengencang. Pipi memerah karena malu dan tersinggung dalam satu waktu.
Embun melanjutkan dengan elegansi yang hampir mematikan:
“Kalau Bapak tidak percaya, Bapak bisa cek CCTV. Saya menjalankan semuanya dari laptop saya sendiri. Tidak ada manipulasi dari luar.”
Suara kecil dari panel AC terdengar lebih keras daripada biasanya—menandakan betapa semua orang menahan diri agar tidak bersuara.
Langit perlahan mengalihkan tatapan dari Embun ke Ferdi. Tatapan itu… bukan marah. Bukan kecewa. Lebih seperti seseorang yang baru menyadari bahwa ada kesalahan keputusan yang perlu diperbaiki.
Ferdi menunduk lebih dalam. Tidak berani bicara.
Embun kembali mengangkat wajahnya ke arah Langit.
“Kalau Bapak ingin membantu,” ucapnya, nada suaranya tenang namun mengandung sisa tantangan yang dibentuk dari harga dirinya yang sempat diinjak, “Silakan. Serangan ini diset hanya bertahan satu jam. Sekarang tersisa sekitar dua puluh menit sebelum virus Blue Star menghilang.”
Langit sempat memejamkan mata sejenak—napasnya mengalir perlahan. Ada sesuatu yang bergerak di balik ketenangannya. Sebuah rasa yang sangat jarang ia rasakan: rasa tertantang.
Hanya dengan satu langkah panjang, ia berada di sebelah laptop Ferdi.
“Geser.” Suara itu pelan, namun cukup untuk membuat Ferdi langsung bergeser tanpa protes.
Langit duduk. Jari-jarinya langsung menyentuh keyboard. Gerakannya cepat namun sangat presisi, seperti seseorang yang sudah hidup bertahun-tahun di dalam struktur logika dan sistem pertahanan digital.
Proyektor menampilkan kembali denyut Blue Star. Warna biru berpilin-pilin seperti nebula.
BLUE STAR — 78%
BLUE STAR — Adaptive Branching
BLUE STAR — Core Intercepting Node 4
Langit membaca dengan kecepatan luar biasa. Reno berdiri di belakangnya, ikut menganalisis.
Papi Arga? Wajah Papi Arga tampak takjub, Papi Arga yang memandang Embun dengan mata yang menyala bangga seperti menemukan berlian langka.
‘Bibit unggul… ini anak luar biasa,’ pikirnya, tidak bisa menyembunyikan senyum kecil yang muncul di sudut bibirnya.
Langit mengetik— cepat, cekatan, hampir membentuk simfoni digital.
Tiba-tiba layar berkedip. Grafik CPU turun. Log stabil. Proyektor berhenti berdenyut. Lalu muncul teks putih tegas:
SERVER BACK TO NORMAL
SECURE CORE RESTORED
SIMULATION CONTAINED
Seluruh ruangan menghela napas panjang tanpa sadar. Seolah mereka baru saja muncul ke permukaan setelah sekian menit menahan napas di bawah air.
Langit menarik kursi sedikit ke belakang, melepaskan napas pelan. Dan saat itu, Embun bersuara. Nada lembut, namun berisi sesuatu yang membuat bulu kuduk berdiri.
“Sepertinya Bapak pernah mengerjakan serangan virus Dark Strom, ya?”
Seluruh kepala menoleh ke Embun. Tapi Embun melanjutkan—tenang, datar, namun mematikan:
“Karena Blue Star saya ini dibuat dari data struktur virus Dark Strom. Dan serangan yang saya jalankan barusan… hanya separuh dari virus aslinya.”
Keheningan langsung terasa. Keras. Tajam. Dan mengguncang.
Pak Sofyan menutup mulutnya. Ardan terpaku. Ferdi terduduk hampir kehilangan napas.
Dan Langit… Langit menatap Embun seperti baru melihat fenomena alam yang tidak bisa dijelaskan.
Dark Strom. Virus yang pernah membuat pasar saham Indonesia anjlok dalam sehari, virus yang hanya segelintir ahli yang mampu menanganinya. Virus yang pernah ia hadapi bertahun-tahun lalu—dengan susah payah.
Dan seorang gadis… seorang pelamar kerja… membuat replikanya. Sungguh ia tidak dapat percaya. Seberapa jenius perempuan yang berada di hadapannya ini.
Langit menutup mulut dengan punggung tangan, lalu menatap Embun lebih lama daripada seharusnya.
Ada cahaya kekaguman. Ada rasa hormat. Ada tarik magnet yang tidak ia pahami.
Dan lalu— suara.
Saat Embun berkata kalimat terakhirnya, nada lembutnya, ritme pernapasannya, getaran halus dalam vokalnya— Langit membeku.
Itu suara itu. Itu suara yang semalam menembus headset-nya. Itu suara yang membuatnya tidak bisa tidur. Itu suara yang terus terngiang hingga pagi.
Miss.
Napaknya menahan napas, pikirannya berputar cepat. Tidak mungkin, tidak mungkin sesederhana itu dan tidak mungkin kebetulan.
Namun suaranya… sama persis.
Dan Embun, yang sejak awal berusaha menjaga ketenangannya di tengah badai digital yang ia ciptakan sendiri, tiba-tiba merasakan sesuatu yang jauh lebih mengusik daripada tatapan tajam para petinggi Atmaja Group.
Sensasi itu datang bukan dari layar, bukan dari Blue Star yang masih berdenyut biru pelan di sudut penglihatannya, melainkan dari suara rendah seorang pria—suara yang memecah hening ruangan dengan satu kata sederhana yang keluar dari mulut Langit: “Geser.”
Satu kata. Sangat pendek. Namun gaungnya menjalar turun melalui tulang punggungnya seperti arus listrik yang samar tapi terasa nyata.
Ada sesuatu pada nada bariton suara itu… cara resonansinya menyapu udara… cara instruksi itu diucapkan tanpa perlu meninggikan suara, tapi tetap terdengar begitu tegas, begitu pasti, begitu… familiar—seakan suaranya pernah menyentuh telinga Embun ketika ruangan jauh lebih sepi, ketika dunia jauh lebih kecil, ketika yang menghubungkan mereka hanyalah gelombang suara yang dipisahkan ponsel di tangan masing-masing.
Jantung Embun berhenti seolah lupa cara berdetak. Bukan karena takut, bukan karena canggung, melainkan karena otaknya memutar kembali rekaman suara seseorang yang semalam menemaninya berbicara hampir dua jam, seseorang yang ia panggil Mister, seseorang yang membuatnya tertawa, mengeluh, berpikir, bahkan… merasa lebih tenang dari yang seharusnya.
Embun sepertinya lupa kalau ia pernah bertemu dengan pria itu pada saat ia liburan ke puncak bersama dengan Lona dan Bia, karena pada saat itu Langit menggunakan hodiie yang menutupi seluruh kepalanya jadi Embun tidak melihat jelas wajah Langit.
‘Tidak mungkin.’ Nama itu muncul di kepalanya dengan sangat cepat—begitu cepat hingga ia merasakannya sebelum ia benar-benar memikirkan apa pun.
‘Tidak mungkin ini Mister.’ Tidak mungkin pria dengan wibawa sebesar ini, pria yang auranya dingin tapi kuat, pria yang jelas-jelas orang penting di gedung ini—adalah orang yang semalam mendengarkan keluh kesahnya sambil berkata “pelan-pelan aja, Miss, semua nanti berjalan”.
Tidak mungkin secepat itu. Tidak mungkin sesederhana itu.
Namun rasa itu datang lagi—dorongan lembut namun kuat yang membuat Embun menoleh, walau hanya setengah detik, hanya sekelebat, hanya untuk memastikan bahwa ia tidak sedang berhalusinasi.
Dan di detik itulah mata mereka bertemu.
Hanya sepersekian detik. Begitu singkat, bahkan tidak cukup waktu bagi siapa pun untuk menyadari bahwa dua dunia yang semula terpisah mulai saling menyentuh. Namun di dalam benturan singkat itu, dunia di sekitar Embun mengecil—ruangan luas itu seolah menyempit menjadi satu garis tipis antara dirinya dan pria yang kini menjadi pusat gravitasi seluruh lantai sepuluh.
Ia belum tahu. Ia belum yakin. Ia belum berani menyimpulkan apa pun—karena kenyataan seperti itu terlalu absurd untuk langsung dipercaya.
Namun ada sesuatu yang bergetar di dalam dirinya. Sesuatu yang halus, seperti sayap kupu-kupu yang mengepak di dalam dada. Sesuatu yang kecil, nyaris tidak terlihat, nyaris tidak terdengar—tetapi cukup kuat untuk membuatnya sadar bahwa momen itu bukan kebetulan kosong.
Dan apa pun itu… hampir mustahil untuk diabaikan.
Setelah layar besar menampilkan tulisan SERVER BACK TO NORMAL,** ruangan itu kembali tenggelam dalam hening yang begitu pekat hingga terdengar seperti sebuah selimut tebal yang menutupi semua suara. Tidak ada yang berani bicara. Tidak ada yang berani bergerak.
Embun masih duduk dengan laptop di pangkuannya, cahaya biru Blue Star memudar perlahan seperti bintang yang meredup di langit malam. Ferdi berdiri dengan wajah tertunduk, kedua tangannya mengepal, menahan amarah dan malu. Pak Sofyan dan Ardan tampak bingung harus bersikap bagaimana.
Lalu Langit berdiri pelan dari kursi Ferdi.
Gerakannya lambat, terkontrol— namun setiap inci tubuhnya memancarkan aura seseorang yang baru saja melihat sesuatu yang melampaui ekspektasinya. Ia menutup laptop Ferdi, lalu mengangkat wajah.
Tatapan matanya jatuh tepat pada Embun.
Dan ketika ia bicara, suaranya rendah, dalam, dan membuat semua bulu kuduk di ruangan itu seakan berdiri bersamaan.
“Nama kamu siapa?”
Embun menegakkan tubuh. Bukan karena takut, tapi karena suara itu membuat jantungnya tersentak seperti baru saja diambil dan dikembalikan ke tempatnya pada detik yang sama.
Ia menahan napas, lalu menjawab pelan tapi jelas: “Embun, Pak.”
Langit mengangguk kecil—gerakan minim, tapi sangat tegas. “Baik, Embun.”
Tidak ada nada marah. Tidak ada nada lembut. Suaranya datar, namun mengandung bobot yang sulit dijelaskan: bobot orang yang sedang memproses terlalu banyak hal sekaligus.
Langit menatap seluruh ruangan sebentar— menilai, menganalisis, memutuskan.
Lalu tatapannya kembali ke Embun. “Tutup laptop kamu.”
Tidak ada tekanan di suaranya. Namun perintah itu seperti magnet: semua orang langsung menoleh ke Embun, ingin tahu apa yang akan ia lakukan.
Embun menutup laptopnya perlahan. Klik kecil terdengar tajam di ruangan yang sunyi.
Langit melanjutkan, “Ikut saya ke ruang rapat sebentar.”
Pak Sofyan langsung memucat. Ferdi menegakkan kepala dengan kaget. Pak Ardan menatap Embun dengan mata penuh evaluasi profesional—dan sedikit kekaguman.
Embun sendiri hanya mengangguk.
Namun sebelum ia sempat berdiri, Langit kembali berbicara—lebih pelan, lebih rendah, lebih menghentak dalam cara yang tidak ia sadari.
“Bukan untuk dimarahi. Saya hanya ingin memahami apa yang barusan kamu lakukan.”
Tiga orang interviewer terbelalak kecil. Bukan untuk dimarahi? Itu… tidak biasa. Seorang CEO tidak pernah menjelaskan niatnya secara verbal seperti itu.
Tapi bagi Embun— penjelasan itu membuatnya bernapas lebih lega. Ia berdiri, mengambil laptopnya, memeluknya dengan kedua tangan, lalu menatap Langit sejenak sebelum menunduk sopan.
Namun sesuatu dalam tatapan itu— halus, singkat, tetapi cukup untuk membuat jantung keduanya berdetak tidak sinkron lagi.
Langit lalu menoleh pada Manager HR. “Pak Sofyan.”
Suara itu membuat pria itu hampir tersentak. “Y-ya, Pak?”
“Saya ingin laporan lengkap tentang proses interview hari ini. Dan…” Langit menatap Ferdi lama—lama sekali, sampai pria itu menunduk dalam lagi. “…termasuk semua komentar yang dilontarkan di ruangan ini.”
Ferdi menutup matanya. Pipi memerah. Dadanya naik turun.
Sebelum ada respons, Ardan bicara, suaranya kering: “Baik, Pak Langit. Akan kami siapkan.”
Langit mengangguk sekali. Kemudian ia bergerak menuju pintu, memberi isyarat halus agar Embun berjalan lebih dulu.
Dan ketika pintu itu terbuka untuk kedua kalinya hari itu, lorong di luar kembali hening.
Semua karyawan HR yang berkerumun spontan menegakkan tubuh, membiarkan Embun lewat di antara mereka, membawa laptop tipisnya, dengan langkah yang sedikit lebih pelan dari biasanya—karena jantungnya baru saja kehilangan ritmenya dan ia butuh waktu untuk menyesuaikan.
Langit berjalan setengah langkah di belakangnya, jarak aman yang terukur, namun cukup dekat untuk membuat semua orang sadar bahwa wanita itu… bukan pelamar biasa.
Papi Arga dan Reno mengikuti dari belakang.
Dan lorong itu terasa seperti koridor menuju takdir baru. Bukan hanya untuk Embun. Namun mungkin—tanpa mereka sadari—untuk Langit juga.
**
Ruang rapat kecil di lantai sepuluh sebenarnya lebih mirip kotak kaca dengan meja oval dan empat kursi empuk, biasanya dipakai untuk diskusi ringan HR. Namun ketika Embun melangkah masuk, diikuti Langit, Papi Arga, dan Reno di belakangnya, ruang itu berubah fungsi—bukan lagi sekadar tempat rapat, tetapi arena di mana masa depannya dapat ditentukan dalam hitungan menit.
Pintu tertutup pelan. Sunyi. Heningnya padat, hampir menekan dada.
Langit menarik kursi di sisi kanan meja dan duduk perlahan, sikapnya tegap dan terkendali.
Papi Arga duduk di ujung kiri, wajahnya masih menyisakan keterkejutan yang belum sempat ia samarkan. Reno mengambil posisi di samping pintu, laptop di tangan, wajahnya serius namun matanya sesekali melirik Embun dengan rasa takjub.
Embun duduk terakhir. Ia meletakkan laptopnya di atas meja—ritme gerakannya sangat hati-hati, seperti yang dilakukan seseorang yang sedang masuk ke ruang ujian akhir hidupnya.
Setelah semua duduk, ruangan kembali tenggelam dalam keheningan yang panjang.
Hingga Embun membuka suara lebih dulu. Suara lembutnya mengalir pelan, tidak bergetar, namun penuh ketulusan yang halus.
“Pertama-tama, saya ingin minta maaf, kepada Bapak Bapak sekalian.” Ia menundukkan kepala sedikit. “Saya tidak bermaksud membuat kekacauan di sistem Atmaja Group. Saya… saya benar-benar mengatur agar Blue Star hanya berjalan di lingkungan simulasi, bukan ke main server. Dan saya pastikan tidak ada data aktual yang tersentuh.”
Papi Arga bertukar pandang dengan Langit. Keduanya sama-sama terdiam, bukan karena marah, tapi karena sulit memutuskan mana yang lebih mengejutkan: keberanian gadis itu, atau kemampuan teknis yang baru saja ia tunjukkan.
Embun melanjutkan, kedua tangannya menyatu rapi di pangkuan.
“Tapi saya juga tahu…” ia menarik napas perlahan, “…bahwa gedung ini adalah gedung perusahaan IT terbesar di Indonesia. Artinya, serangan sekecil apa pun pasti terdeteksi. Saya sudah berusaha mengurung virus itu sepenuhnya—namun sistem pertahanan Atmaja memang terlalu peka untuk dilewati tanpa alarm.”
Setelah mengatakan itu, ia mengangkat wajahnya. Mata besar bening itu menatap langsung ke arah Langit.
Dan Langit… tidak berpaling. Tidak sekejap pun.
Dalam tatapan itu ada sesuatu yang sulit dimengerti—kagum, heran, curiga, dan entah apa lagi yang tidak pernah ia tampilkan pada kandidat mana pun sebelumnya.
Lalu Papi Arga membuka suara, nadanya perlahan turun dari wibawa seorang chairman menjadi nada kagum tulus seorang ayah yang melihat sesuatu yang berharga. “Kamu… bisa mengontrol virus?”
Embun menjawab dengan tenang. “Bisa, Pak. Blue Star tidak dibuat untuk merusak, hanya untuk menguji. Waktu serangannya pun bisa saya atur. Misalnya saya set hanya sepuluh menit, atau satu jam. Jika waktunya habis, virus mati total.”
Papi Arga bersandar ke kursi, menutup kedua matanya sejenak.
‘Luar biasa,’ pikirnya. ‘Anak seperti ini tidak muncul setiap tahun. Bahkan tidak setiap dekade.’
Reno sendiri sampai harus memegang laptopnya lebih erat. Seseorang yang bisa mengatur waktu virus? Itu luar biasa. Itu bukan skill biasa—itu kelas genius.
Langit akhirnya bersuara, suara rendahnya mengisi ruangan seperti resonansi yang tak bisa dihindari.
“Virus itu… kamu bilang replika dari Dark Strom?”
Embun mengangguk, suaranya tenang tapi jelas. “Iya, Pak. Dark Strom asli adalah virus yang menyerang struktur data kritis dan memutar ulang kernel sistem seperti rubik. Tapi versi saya… saya desain agar tidak menyentuh data aktual. Hanya simulasi. Saya ambil konsep logikanya saja, saya ciptakan ulang struktur adaptifnya, lalu saya buat versi yang bisa saya matikan kapan saja.”
Ketiganya terdiam. Bukan karena ragu—tetapi karena tidak percaya ada seseorang di ruangan itu yang berbicara begitu ringan tentang virus yang dulu membuat pasar saham Indonesia lumpuh selama 24 jam. Dan yang bicara itu seorang Wanita.
Langit mencondongkan tubuh ke depan, jemarinya saling bertaut, sorot matanya tajam namun tidak mengancam.
“Kamu juga membuat antivirusnya?”
Embun mengangguk kecil. “Tentu saja, Pak. Saya tidak mungkin membuat sesuatu tanpa membuat penangkalnya.” Senyum tipis muncul di sudut bibirnya. “Saya sudah uji berkali-kali. Antivirusnya selalu menang terhadap Blue Star, kecuali kalau saya ubah parameternya.”
Papi Arga spontan menatap Langit. Tatapan ayah-ke-anak yang jelas: ‘Rekrut dia sekarang juga.’
Langit menangkap maksud itu, lalu menoleh pada Reno yang langsung paham apa arti tatapan itu.
Setelah itu, Langit kembali menatap Embun.
Suara rendahnya lebih lembut kali ini, bukan karena sentimentil, tetapi karena kini ia berbicara bukan sebagai CEO, melainkan sebagai seseorang yang benar-benar ingin tahu.
“Embun…” Ini pertama kalinya ia menyebut namanya dengan nada yang… berbeda.
“Kenapa kamu melamar ke Atmaja Group? Dengan kemampuan seperti ini, kamu bisa kerja di perusahaan luar negeri, bahkan jadi perancang sistem keamanan kelas dunia.”
Embun terdiam sejenak. Ia menundukkan kepala sedikit, bibirnya melengkung dalam senyum tipis yang bukan bangga, bukan malu—melainkan hangat.
“Karena Mama saya, Pak.”
Ketiganya menatapnya. Embun menatap meja pelan, suaranya mengalir rendah, jujur, dan tulus.
“Saya tidak bisa meninggalkan Mama sendirian di Indonesia. Dia membesarkan saya sendiri. Saya ingin tetap dekat dengannya.” Ia mengangkat wajah. “Dan selain itu… enam tahun lalu saya sudah pernah melamar di sini.”
Papi Arga hampir tersedak udara. Langit menyipitkan mata.
“Enam tahun lalu?”
“Iya, Pak. Tapi saya tidak lolos karena waktu itu saya baru lulus kuliah dan belum punya pengalaman.”
Papi Arga memejamkan mata lama sekali, jari-jarinya mengetuk meja pelan. ‘Orang bodoh macam apa yang mewawancarai anak ini dan tidak meloloskannya? Siapa pun dia… harus ditemukan.’
Langit terlihat berpikir hal serupa. Ia menoleh pada Reno dengan tatapan pendek namun padat makna.
Reno mengangguk sedikit, seperti menerima perintah tak tertulis: Cari tahu siapa orang dungu yang menolak gadis ini enam tahun lalu.
Kemudian Langit kembali menatap Embun, suaranya lebih rendah, lebih stabil, namun ada getaran tidak terlihat di sana—sejenis ketertarikan intelektual yang jarang sekali terjadi.
“Kenapa kamu mencoba lagi tahun ini?”
Embun melihatnya tanpa berkedip.
“Karena Atmaja tetap perusahaan impian saya, Pak.” Suaranya pelan, namun penuh keyakinan. “Dan saya sudah siap kali ini.”
**
tbc