Alaric Sagara, tiba tiba hidup nya berubah setelah istri yang di cintainya pergi untuk selama lamanya karena malahirkan bayi mereka ke dunia.
Kepergian sang istri menyisakan trauma mendalam di diri Aric, pria yang semula hangat telah berubah menjadi dingin melebihi dingin nya salju di kutub utara..
Faza Aqila, sepupu mendiang sang istri sekaligus teman semasa kuliah Aric dulu kini statusnya berubah menjadi istri Aric setelah 3tahun pria itu menduda. Faza telah diam diam menaruh cinta pada Aric sejak mereka masih sama sama duduk di bangku kuliah.
Bagaimana kehidupan pernikahan mereka dan akankah Faza mampu membuka hati Aric kembali...
Happy Reading 💜
Enjoy ✨
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ratu_halu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ep 18
Kelas melukis untuk pemula pun di mulai. Ada sekitar 25 peserta dengan usia yang beragam. Mulai dari anak-anak hingga dewasa, semuanya boleh mengikuti kelas lukis ini. Dan nanti akan ada hadiah untuk karya terbaik, yaitu lukisan nya akan di pajang di galery selama tujuh hari berturut-turut.
Faza membebaskan mereka untuk menggambar apapun sesuai imajinasi. Namun jika baru pertama kali mengikuti kelas ini, biasanya Faza memberikan macam-macam gambar sebagai contoh..
Raka duduk di kursi kedua dari depan, yang langsung bisa melihat Faza yang duduk menghadap para peserta. Pria itu sangat serius melukis namun juga sesekali mencuri pandang pada Faza yang juga sedang hanyut dalam kegiatan lukisnya..
"Cantik." Gumam Rakana sambil senyum tipis.
Sementara Raka yang asik sesekali mencuri pandang, justru pikiran Faza saat ini sedang terbagi. Foto-foto Aric dengan wanita yang entah siapa membuat Faza jadi berpikir macam-macam.
Jujur saja, Faza tak mau bertanya pada Aric. Faza ingin Aric menjelaskan dengan kesadaran nya sendiri. Jika memang Aric memiliki wanita spesial lain di luar sana, Faza akan berbesar hati mengalah.
"Perasaan aku pernah melihat wanita yang bersama Mas Aric.. Tapi dimana, ya.." tanya Faza dalam hati..
Sementara itu di kantor, Aric jadi uring-uringan karena pekerjaan nya yang menumpuk tapi di sisi lain dia ingin pergi menemui Faza. Saking rindunya Aric sampai tidak bisa konsentrasi dalam bekerja.
"Dita, tolong cek jadwal saya siang sampai sore ini." Kata Aric dalam panggilan interkom nya dengan sang sekretaris.
"Siang ini ada jadwal pertemuan dengan Tuan Billy dari perusahaan Byl.Corp Tuan. Setelah itu di sore hari nya anda ada rapat dengan staf keuangan perusahaan kita "
"Yasudah." Aric memutus panggilan interkom dengan lesu.
Aric mengambil ponsel nya yang ada di atas meja. Sekali tekan, aric langsung terhubung dengan seseorang yang amat dia rindukan..
"Halo, sayang.." kata Aric dengan suara mesra. Aric seperti tengah kasmaran. Jantungnya tak henti henti berdebar dengan ritme yang tak biasa.
"Halo, mas. Ada apa ?" tanya Faza sambil berbisik.
"Ada apa dengan suaramu, kamu sakit ?" tanya Aric dengan tampang serius. Aric khawatir.
"Aku sedang sibuk, mas. Nanti aku hubungi lagi, ya. Bye." Kata Faza yang langsung mematikan telepon secara sepihak..
"Halo, sayang.. Halo...?!"
Aric tercenung sambil menatap layar ponsel yang mulai meredup..
"Sibuk katanya, huh! Aku pun sibuk, tapi aku sempatkan untuk menelepon.. Aku saja bisa, kenapa dia tidak..." Aric mengomel karena kesal. Dia sedang rindu tapi Faza malah cuek.
Siang hari nya, Aric bersama Zaki pergi untuk meeting di luar.
"Ada apa dengan wajah mu, Bos ? Kau sepertinya tidak bersemangat ?" tanya Zaki sambil menyetir sementara Bosnya duduk di kursi belakang. Zaki bukanlah bawahan biasa, dia adalah orang kepercayaan Aric. Dan mereka sudah berteman sejak mereka sama-sama duduk di bangku sekolah dasar hingga masa SMA sebab rumah Aric dan Zaki berada di komplek yang sama. Keduanya berpisah saat Zaki harus pindah ke luar kota dan berkuliah di kota tersebut. Namun pertemanan mereka tetap mereka jaga dengan baik hingga saat ini.
Zaki satu-satu nya orang yang tau semua tentang Aric. Tentang Aric yang sudah menikah lagi bahkan tentang perubahan sikap Aric yang menjadi dingin tak tersentuh.
Untuk soal pekerjaan, keduanya bekerja secara profesional. Namun jika sedang berdua seperti dalam perjalanan meeting kali ini, mereka akan sama-sama terbuka untuk sekedar sharing masalah pribadi.
Panggilan Bos yang Zaki sematkan di depan nama Aric pun itu inisiatif dia sendiri. Awalnya Aric merasa risih, tapi lama-kelamaan jadi terbiasa juga.
"Faza. Tadi aku menghubunginya, tapi dia justru buru-buru mematikan telepon dan berkata sibuk."
Jawaban Aric membuat Zaki kaget, bukan hanya kali ini, tapi kemarin pun sama. Ketika Aric tiba-tiba meminta nya menyiapkan uang dengan nominal yang sangat besar hingga mengurus lukisan yang belum sempat Zaki tanyakan kelanjutan nya.
"Ma...maksudnya, Faza istri mu ?"
Aric mendelik, "Tentu saja. Kau pikir ada berapa Faza dalam hidup ku ?!"
Zaki mengusap tengkuknya, bingung.
"Seperti nya ada kemajuan nih, bukan nya kau bilang akan menceraikan Faza karena dia sudah membuat Alena celaka ?!"
Terakhir kali Aric bercerita bahwa Faza telah membuat Alena celaka dan disitu Aric marah besar bahkan meminta Zaki untuk mengurus perceraian. Namun zaki tak langsung melakukan perintah itu, sebab Zaki bisa melihat Aric hanya terbawa emosi. Keinginan itu muncul bukan murni atas kesadaran nya.
"Siapa yang berkata seperti itu ?" Aric tak mau mengaku, mendengar kata cerai saja membuat Aric merinding sebadan-badan. Sungguh itu akan menjadi mimpi buruknya sepanjang hidup jika sampai terjadi. "Kejadian itu hanya kesalahpahaman. Faza tidak mencelakai Alena. Alena jatuh sendiri dari tangga. Aku sudah melihat langsung rekaman Cctvnya." Aric menjelaskan agar Zaki tak lagi salah paham dan menganggap Faza buruk seperti dalam cerita nya waktu itu.
"Bukankah perusahaan Tuan Billy melewati galery Faza ?"
"Ya, sebentar lagi kita akan melewatinya. Apa kau mau aku berhenti disana sebentar ?" tanya Zaki yang langsung di setujui Aric
"Tapi bukankah jam segini seharusnya Faza ada di rumah ?" tanya Zaki yang sedikit banyak sudah tahu keseharian Faza dari cerita Aric.
"Ya kau benar. Pasti hanis menjemput Alena pulang sekolah Faza tak kemana-mana lagi seperti biasa."
Hening untuk sesaat hingga Zaki menghentikan kendaraannya secara mendadak tepat di sebrang galery milik Faza.
"Astaga! Kenapa berhenti mendadak ? Kau ingin membunuhku, ha ?!" Jelas Aric marah, karena kepalanya sampai membentur jok bagian belakang yang di duduki Zaki. Untunglah saat itu keadaan jalanan lengang, tak ada kendaraan yang berada tepat di belakang mobil yang di kendarai Zaki.
"Bos.. Bukankah itu istri mu ?!" Tunjuk Aric sambil melihat ke arah sebrang. Aric pun sontak menoleh mencari objek yang Zaki maksud.
Benar, sosok Faza terlihat dengan jelas oleh mata kepala Aric. Namun yang jadi pertanyaan, kenapa Galery terlihat sangat ramai.
"Sepertinya ada acara besar disana, bos.."
Aric tak menjawab, namun membenarkan dalam hatinya. Tapi kenapa Faza tidak memberitahunya, pantas saja saat di telepon tadi wanita itu mengaku sibuk..
"Bos, apa anda kenal dengan laki laki yang sejak tadi terlihat mencuri pandang pada istri mu ?" Tanya Zaki sembari menoleh ke kursi belakang. Zaki menelan ludah nya ketika melihat ekspresi Aric yang langsung berubah total. Jelas ada cemburu disana..
"Kita lanjutkan perjalanan atau..."
"Lanjutkan!" Kata Aric memotong ucapan Zaki, sambil menyandarkan punggung di kursi dengan tangan yang terlipat di dada.
Tanpa Zaki tau, ada gemuruh hebat di dada Aric. Yang lebih sulit dari menahan Rindu adalah menahan rasa Cemburu. Jika saja mereka sedang tidak dalam perjalanan penting, mungkin Aric sudah turun dari mobil dan menarik Faza menjauh dari pria itu.
Zaki tak lagi bicara, dia pun kembali melajukan kendaraan roda empat itu ke tempat tujuan mereka.
Hari menjelang sore, Faza sudah berada di rumah mertua nya lagi. Saat ini Faza sedang berada di taman belakang bersama Mama Dian serta Alena.
"Faza, apa kamu sedang menunggu panggilan atau pesan ? Dari tadi mama perhatikan kamu bolak-balik mengecek handphone.. ?" tanya Mama Dian yang duduk di kursi taman bersama Faza, sementara Alena sedang bermain masak-masakan menggunakan tanah dan rumput tak jauh dari pengawasan keduanya..
"Ah, nggak kok, mah.." jawab Faza salah tingkah,
"Kenapa nggak kamu coba hubungi lebih dulu, siapa yang tau kalau ternyata kalian sedang sama-sama menunggu.. Menahan rindu itu tidak mudah, Faza. Kalian perlu menahan rasa sakit."
"Maksud mama..?"
"Kamu pasti tau maksud mama.. Sudah sana, Telepon suami mu. Katakan kalau kamu rindu." Mama Dian tersenyum lalu beranjak dari duduknya meninggalkan Faza.
Faza bergeming, menatap Mama Dian yang kini sudah berpindah berada di samping Alena.
"Aku memang rindu, tapi..... Malu"