Langit di seluruh dunia kini hanyalah kanvas retakan. Malam tanpa bintang. Dua puluh tahun yang lalu, peradaban manusia berubah selamanya. Sebuah lubang dari retakan dimensi yang menganga seperti luka di angkasa, memuntahkan makhluk-makhluk dari mimpi buruk.
Mereka datang dari dunia lain, tanpa nama dan tanpa belas kasihan. Mereka menghancurkan gedung pencakar langit, meratakan jalan, dan menyebarkan kepanikan di mana-mana. Separuh populasi musnah, dan peradaban manusia berada di ambang kehancuran total.
Namun, di tengah-tengah keputusasaan itu, harapan muncul. Beberapa manusia, entah bagaimana, mulai bangkit dengan kekuatan luar biasa.Mereka menjadi Pemburu. Dengan kekuatan yang setara dewa, mereka berjuang, jatuh, dan bangkit kembali.
Namun, di balik layar, rumor mulai beredar. Retakan-retakan kecil yang seharusnya stabil mulai menunjukkan tanda-tanda kegelisahan. Seolah-olah mereka adalah mata-mata dari sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang sedang menunggu di sisi lain.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon FA Moghago, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18: Kebangkitan Sang Harapan
Pertempuran di Afrika semakin memanas. Ribuan monster telah tumbang, namun perjalanan menuju retakan dimensi masih terasa sangat jauh. Dari kejauhan, retakan dimensi yang menganga di langit tampak begitu besar, menjulang tinggi dengan aura kebiruan yang pekat.
Tiba-tiba, empat monster raksasa dengan tinggi yang mencapai awan muncul dan berjalan ke arah para pemburu. Setiap langkah mereka membuat tanah bergetar hebat. Semua pemburu yang melihatnya terkejut, baru pertama kalinya mereka melihat monster sebesar dan setinggi itu.
Melihat pemandangan itu, Kaelen Reed tersenyum penuh semangat. "Woah, benar-benar monster yang besar! Sepertinya pertempuran ini menjadi lebih menarik," ucapnya.
Saintess Amara memejamkan mata, berdoa dengan khidmat. "Oh dewiku, selamatkanlah dunia ini dari ambang kehancuran dan amukan para monster," bisiknya. Sesaat kemudian, bola kaca di tangannya bercahaya, mengeluarkan aura putih kuat yang memberikan pelindung berbentuk angin kepada setiap pemburu di medan tempur. Pelindung itu mampu menahan serangan monster.
Valerius Thorne membuka matanya lebar-lebar dan menatap tajam ke arah monster-monster raksasa itu. Ekspresinya serius, menyadari ancaman yang jauh lebih besar kini datang. Para pemburu terus bergerak maju, membasmi setiap monster yang menghalangi jalan mereka.
Di balik layar, jutaan pasang mata di seluruh dunia menatap televisi dan gawai mereka dengan napas tertahan. Keheningan menyelimuti setiap rumah, setiap bar, setiap ruang publik. Kehadiran empat monster raksasa yang tingginya menembus awan itu membuat semua orang membeku. Mereka menyaksikan bagaimana raksasa itu bergerak, dan betapa kecilnya para Pemburu di hadapan mereka. Rasa takut mencekam, dan harapan yang sempat tumbuh kini terasa seperti ilusi yang siap hancur.
"Itu... itu monster?" bisik seorang warga sipil, suaranya bergetar.
Namun, di tengah keraguan itu, sebuah keajaiban terjadi.
Saat salah satu raksasa mendekat, Valerius Thorne tiba-tiba menghilang dari pandangan. Dalam sekejap mata, ia sudah berada di hadapan monster itu, melayang di udara. Monster raksasa itu melayangkan pukulan dari balik awan, menghempaskan angin yang begitu kuat hingga pepohonan tumbang. Dengan tenang, Valerius mencabut pedang merahnya, melakukan tebasan cepat dan kuat dengan aura merah pekat. Tebasan itu membelah udara, dan dalam sekejap, tubuh raksasa itu terpotong menjadi dua. Monster itu roboh dengan suara menggelegar, mengguncang tanah di sekitarnya.
Semua Pemburu di medan perang terkesima. Semangat mereka kembali bergejolak, melihat kekuatan Valerius yang tak tertandingi.
Tak mau kalah, Kaelen Reed melayang ke udara, mengeluarkan aura petir kuning yang merambat ke tombak petirnya. Dengan satu lemparan kuat, tombak Kaelen melesat bagai kilat, menghasilkan suara ledakan petir yang memekakkan telinga. Tombak itu menembus tubuh monster kedua, menciptakan lubang besar yang membuat raksasa itu tumbang.
Giliran Ethan Blackwood tiba. Ia melompat ke arah monster ketiga, memanifestasikan aura kuat yang membentuk tubuh spiritual raksasa di belakangnya. Dengan palu besar di tangannya, ia menghantam monster itu dari atas hingga membentur tanah dan menciptakan gemuruh. Tanah di sekelilingnya ratusan meter retak dan terangkat.
Monster keempat yang masih tersisa bergerak cepat, mengayunkan tinjunya ke arah Ethan. Namun, sebelum pukulan itu sampai, Saintess Amara dari jauh mengeluarkan rantai putih dengan aura emas yang melesat dari balik dimensi, mengikat tangan monster itu dengan kuat. Dalam sekejap, Valerius sudah berada di depan monster itu, melancarkan tebasan cepat ke leher raksasa hingga kepalanya terjatuh.
Melihat empat orang terkuat di dunia beraksi, seluruh Pemburu dan warga sipil yang menyaksikan di balik layar pun bersorak. Harapan yang sempat pudar kini kembali menyala terang. Kekuatan mereka adalah jaminan bahwa dunia masih memiliki kesempatan untuk bertahan.
Setelah mengalahkan empat raksasa, Saintess Amara bergegas terbang mendekati Valerius Thorne, Kaelen Reed, dan Ethan Blackwood. Dari atas, pandangan mereka jatuh pada sebuah pemandangan yang tak masuk akal: sebuah gunung batu raksasa telah ditebas dengan sangat rapi, seolah-olah dipotong dengan pisau panas. Di puncaknya, duduk seekor monster dengan tubuh kekar berwarna biru yang memancarkan aura pekat. Monster itu, yang tingginya setara manusia, memiliki dua tombak dari tulang yang mencuat dari punggungnya.
"Wow, auranya kuat sekali!" seru Kaelen, senyum semangatnya terukir lebar. Mata Kaelen berbinar, bukan karena ketakutan, melainkan karena kegembiraan. "Sepertinya itu bos monster dari retakan dimensi ini!"
Valerius menatap monster itu dengan tatapan serius dan penuh perhitungan, tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Kaelen lalu berbalik, aura petir kuning mulai menggelegak dari tubuhnya, bersiap untuk bertarung. "Kalian mundurlah, ini bagianku!" teriaknya penuh percaya diri. "Sudah lama aku tidak melihat monster sekuat ini!"
"Kaelen, sebaiknya kita bertarung bersama," ucap Saintess Amara, suaranya dipenuhi kekhawatiran yang nyata. "Kita tidak tahu seberapa kuat monster itu."
Kaelen tersenyum, mencoba menenangkan Saintess. "Tidak perlu khawatir, Saintess. Aku bisa merasakan aura monster itu tidak jauh berbeda dengan kita. Benar 'kan, Valerius?"
Valerius, yang sejak tadi hanya diam, berbalik mundur. "Berhati-hatilah," ucapnya singkat, suaranya mengandung bobot yang berat. Ethan dan Saintess Amara juga mengikuti, meninggalkan Kaelen seorang diri. Saintess Amara terus menatap ke belakang, wajahnya menampakkan ketakutan yang mendalam, sementara Kaelen berdiri menantang, siap menghadapi musuh terkuat yang pernah ia temui.
Kaelen sudah siap, aura petir kuningnya menyala, dan tombaknya diangkat tinggi. Namun, tiba-tiba, dua monster raksasa lain melesat dari retakan dimensi, berlari lurus ke arahnya. Kaelen sedikit terkejut.
Tiba-tiba, Valerius Thorne muncul di hadapan Kaelen. Dengan gerakan secepat kilat, Valerius menebaskan pedangnya beberapa kali. Udara di sekitarnya retak bagai cermin yang pecah, dan kedua monster raksasa itu terpotong menjadi dua dalam sekejap, roboh dengan suara memekakkan telinga.
"Apa yang kau lakukan, Valerius?!" seru Kaelen, wajahnya terlihat sedikit kesal karena pertarungannya diganggu.
Valerius tidak menoleh. "Aku hanya membersihkan pengganggu," jawabnya singkat sebelum menghilang, kembali ke posisinya semula.
Kaelen mendengus, lalu kembali memfokuskan kekuatan petirnya pada tombak. Dengan raungan penuh semangat, ia melempar tombaknya ke arah monster yang duduk di atas gunung. Dalam sekejap, tombak itu melesat bagai petir. Monster itu mundur, menghindar, lalu mencabut kedua tombak tulang dari punggungnya.
Tak menunggu lama, Kaelen tiba di depan monster itu, melancarkan pukulan bertenaga petir. Pukulannya ditahan oleh kedua tombak tulang yang disilangkan monster di depannya, namun monster itu terpental jauh, menghancurkan pepohonan di jalurnya.
Kaelen mencabut tombaknya yang menancap di tanah. "Ayolah, tidak mungkin bos monster sekuat ini!" serunya, senyumnya semakin lebar.
Monster itu melompat, menebaskan kedua tombaknya dari atas. Kaelen menghindar dengan cepat, membalas dengan tusukan tombak yang mengeluarkan aura petir hingga meledak. Monster itu menghindari serangan itu dan kembali mengerang. Mereka berdua terlibat pertarungan sengit, pukulan dan tombak beradu, membuat area sekitarnya hancur akibat benturan senjata. Kecepatan mereka begitu tinggi hingga tak bisa diikuti mata pemburu lain, begitu juga dengan warga yang menonton dari balik layar.
Setelah saling terpental, Kaelen melemparkan tombaknya, menyayat kulit monster itu. Ia terbang, lalu dari auranya, ia membentuk ratusan tombak petir. "Baiklah, sepertinya pemanasan sudah selesai!" teriak Kaelen. Ia menembakkan ratusan tombak petir itu, membuat monster itu kesulitan menghindar. Monster itu berdarah, mengeluarkan aura merah darah dari tombaknya, dan membalas dengan tebasan brutal dari jarak jauh. Kaelen terus menghindar sambil menembakkan tombak petir, hingga keduanya terluka dan berdarah.
Kaelen menggunakan auranya untuk mengambil kembali tombaknya dan menerjang ke arah monster itu. Kecepatannya sangat tinggi, meninggalkan jejak petir kuning di udara. Ia melancarkan ratusan tusukan dan tebasan, membuat monster itu terluka parah. Dengan gerakan kilat, ia muncul di belakang monster itu, menusukkan tombaknya hingga menembus tubuh monster, menciptakan ledakan besar yang melubangi gunung di depannya.
Kaelen berhasil mengalahkan monster itu! Seluruh pemburu di lokasi bersorak, dan seluruh warga dunia yang menonton bersorak gembira, melihat harapan yang kembali muncul. Pertarungan di Afrika menjadi trending topik dunia, pembicaraan tentang penyelamatan dari kiamat mendominasi media. Retakan dimensi mulai menutup sedikit demi sedikit.
Kaelen kembali dengan penuh luka. Saintess Amara segera memberikan aura pengobatan, membuat luka-lukanya pulih. "Kaelen, kamu terlalu banyak bermain-main," ucap Ethan, "seharusnya kau kalahkan monster itu dengan kekuatan penuh. Kalau aku, bisa mengalahkannya dengan tiga pukulan."
"Dasar manusia palu!" balas Kaelen kesal. "Coba saja lawan sendiri! Dia kuat sekali sampai aku harus memakai manifestasi seratus tombak petirku!"
"Sudah, sudah," lerai Saintess Amara, "kita sudah berhasil. Sekarang kita kembali."
Valerius masih menatap ke arah retakan dimensi yang semakin mengecil. Namun, sebelum retakan itu tertutup sepenuhnya, ia melihat sebuah mata yang mengintip dan memandangnya, membuat aura mencekam muncul di sekitarnya. "Valerius, ada apa?" tanya Saintess Amara khawatir melihat ekspresi Valerius.
Valerius berbalik, pandangannya dingin. "Tidak ada apa-apa," jawabnya singkat. "Ayo kembali."
jangan dikasih kendor thor😁🔥