“Di balik seragam putih abu-abu, Nayla menyimpan rahasia kelam.”
Di usia yang seharusnya penuh tawa dan mimpi, Nayla justru harus berjuang melawan pahitnya kenyataan. Ibu yang sakit, ayah yang terjerat alkohol dan kekerasan, serta adik-adik yang menangis kelaparan membuatnya mengambil keputusan terberat dalam hidup: menukar masa remajanya dengan dunia malam.
Siang hari, ia hanyalah siswi SMA biasa. tersenyum, bercanda, belajar di kelas. Namun ketika malam tiba, ia berubah menjadi sosok lain, menutup luka dengan senyum palsu demi sesuap nasi dan segenggam harapan bagi keluarganya.
Sampai kapan Nayla mampu menyembunyikan luka itu? Dan adakah cahaya yang bisa menuntunnya keluar dari gelap yang menelannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qwan in, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
06
Langkah kaki Nayla terdengar berat saat menyusuri lorong rumah sakit RSUD Citra Bakti. Bau obat, desinfektan, dan suara sepatu dokter yang berkelebat di lantai keramik dingin menambah sesak di dadanya. Di tangannya tergenggam kertas rujukan dari puskesmas yang tadi ia sodorkan ke bagian informasi. Petugas mengarahkannya ke ruang perawatan kelas 3 lantai dua.
Tangannya sempat gemetar saat membuka pintu ruang 206.
Dan di sana, di balik tirai tipis putih, terbaring tubuh ibunya. Wajah Ibu tampak lebih pucat dari semalam, dengan selang infus di tangan dan alat tensi otomatis yang terpasang di lengan. Napasnya naik turun pelan, tapi mata itu. mata yang selalu menenangkan Nayla. terpejam.
“Ibu…” bisik Nayla, menggenggam tangan ibunya perlahan.
Perawat yang baru selesai mencatat di papan kaki ranjang menoleh dan tersenyum kecil. “Kamu anaknya Bu Sulastri?”
Nayla mengangguk cepat.
“Iya, saya Nayla. Gimana kondisi Ibu?”
“Sebentar ya, Dokter Rania tadi habis visit. Saya panggilkan dia.”
Beberapa menit kemudian, seorang wanita muda dengan jas putih datang. Wajahnya serius namun hangat, membawa clipboard dan stetoskop di lehernya.
“Kamu Nayla, ya?” tanyanya.
“Iya, Dok.”
Dokter Rania menarik kursi, lalu duduk di samping ranjang. Suaranya tenang, tapi jelas.
“Ibu kamu mengalami hipertensi berat. Tekanan darahnya sempat sangat tinggi. hampir 200/120. Selain itu, hasil pemeriksaan menunjukkan adanya komplikasi. Ada kemungkinan gangguan pada ginjal dan jantung ringan. Ini bukan kondisi yang bisa dianggap enteng.”
Nayla terdiam. Hatinya seperti dicabik.
“Kami akan lakukan observasi ketat dua sampai tiga hari ke depan. Kami butuh kamu bantu menyiapkan dokumen. Kartu identitas, KK, surat tidak mampu kalau memang dibutuhkan. Karena kalau tidak, sebagian biaya akan ditanggung keluarga.”
Dokter Rania meletakkan tangannya di bahu Nayla. “Tapi tenang, kami akan bantu semampunya. Yang penting kamu tetap semangat. Ibumu butuh dukungan.”
Nayla mengangguk cepat, mencoba kuat. Tapi dadanya nyeri. Air matanya jatuh juga, meski buru-buru ia hapus.
“Saya akan urus semuanya, Dok. Asal Ibu bisa sembuh.”
...
Nayla duduk sendiri di bangku panjang lorong rumah sakit. Cahaya matahari sore menyelinap masuk dari jendela kaca besar. Di pangkuannya, tas kecil terbuka. berisi roti sisa dari pagi dan botol air mineral.
Ponselnya bergetar. Sebuah notifikasi masuk.
Elang
“Nay, kamu kenapa gak masuk sekolah? kamu gak apa-apa, kan?”
Nayla menatap layar itu lama.
Ia tahu Elang tulus. Ia tahu Elang peduli. Tapi sekarang, dunia tempat Elang berdiri terasa terlalu jauh darinya. Dunia yang bersih, teratur, penuh masa depan. sementara dirinya tenggelam dalam lumpur masalah yang tak pernah selesai.
Jari-jarinya bergerak. Tapi bukan untuk membalas Elang.
Melainkan untuk membuka kontak lain. Satu nama yang sempat ia blokir, tapi kini kembali ia cari.
Mira.
Tenggorokannya tercekat saat mengetik pesan pendek.
“Mir. soal tawaran kamu itu… Aku, mau.”
Pesan terkirim.
Beberapa detik sunyi. Lalu, tanda centang ganda berubah biru.
Dan Mira membalas dengan cepat:
“Aku udah duga kamu bakal balik. Jam 8 malam, kita ketemu di tempat biasa. Klien kali ini penting. Jangan telat. Dan jangan salah kostum.”
Nayla menatap layar ponsel itu. Dunia malam kembali menyapanya dengan tangan dingin dan senyum palsu.
Ia menggenggam ujung jaket tipisnya erat-erat.
Hatinya menjerit. Tapi kepalanya terlalu penuh dengan angka dan tagihan.
Enam ratus ribu kontrakan. Uang obat Ibu. Biaya sekolah Dio dan Lili.
Dan yang ia punya hanyalah tubuhnya.
...
Malam itu, udara begitu panas dan berat. Di dalam kontrakan kecil yang hanya memiliki satu lampu temaram, Nayla duduk di sisi ranjang, menatap kedua adiknya yang telah terlelap. Lili mendengkur halus, memeluk boneka lusuhnya. Dio sesekali menggeliat kecil, tapi wajahnya damai.
Nayla mengelus rambut mereka satu per satu, menahan napas.
"Maafkan mbak." bisiknya lirih, lebih kepada dirinya sendiri.
Lalu, dengan langkah pelan agar tidak membangunkan siapa pun, ia mengenakan sepatu flat dan meraih tas kecilnya. Pintu kontrakan ditutup perlahan. Dunia luar langsung menyergapnya dengan suara malam yang asing. deru kendaraan, dengung lampu jalan, dan suara-suara samar dari kehidupan yang tak pernah tidur.
Dia menatap ke langit. Tak ada bintang.
...
Hotel bintang lima itu berdiri megah di pusat kota, menjulang tinggi dengan lampu-lampu kekuningan dan dinding kaca yang memantulkan dunia metropolis. Di dalamnya, kehidupan berjalan berbeda. Lobi berkilauan, musik klasik mengalun, dan pelayan berseragam rapi berlalu-lalang dengan senyum profesional.
Nayla berdiri di depan lift, mengenakan gaun hitam tipis dengan belahan dada dan punggung terbuka. Gaun itu terlalu dewasa untuk usianya, terlalu transparan untuk siapa pun yang belum siap menghadapi tatapan dunia.
Ia tidak tahu siapa yang memesannya, hanya diberi nomor kamar.101.
Setibanya di depan pintu, jantungnya berdetak tak karuan. Tangan kanannya terangkat, mengetuk pelan.
Tok… tok…
Tak ada suara dari dalam. Tapi pintunya tidak terkunci.
Dengan ragu, ia mendorong daun pintu perlahan.
Nayla berdiri kaku di ambang pintu, napasnya tercekat. Tatapan Elvino yang tajam membuat tubuhnya bergetar, seolah segala rahasia yang ingin ia sembunyikan telah terbongkar begitu saja.
“Tak kusangka,” ucap Elvino pelan, suaranya berat.
“Gadis sepertimu… memilih jalan ini.”
Nayla hanya menunduk, jari-jarinya mencengkam erat tepi gaun hitam yang ia kenakan. Lidahnya kelu. Tidak ada alasan yang bisa ia ucapkan untuk menutupi kenyataan pahit di hadapan pria itu.
Elvino melangkah mendekat, gerakannya tenang namun penuh wibawa. jemarinya menyentuh pipi gadis itu. Sentuhan dingin itu membuat bulu kuduk Nayla meremang, seolah ia sedang terjerat dalam sesuatu yang tak bisa ia kendalikan.
“Kau… lebih cantik dari terakhir kali kita bertemu.” bisiknya, menatapnya dalam-dalam.
Nayla ingin mundur, ingin berteriak, tapi tubuhnya justru terpaku. Saat Elvino meraih bahunya dan menariknya ke arah ranjang, hatinya menjerit. Suasana kamar hotel yang mewah itu seakan berubah menjadi penjara tanpa pintu keluar.
Ciuman pertama yang menimpa bibirnya terasa asing, lembut sejenak, lalu berubah menjadi sesuatu yang penuh paksaan. Napas Nayla terenggah, tangannya sempat mendorong, namun tenaga Elvino jauh lebih kuat.
“Tidak…” bisiknya lirih, terhenti di antara desah tangis dan rasa takut.
Namun malam itu, suara kecilnya tenggelam dalam ambisi dan nafsu pria itu. Kamar bernuansa emas dan satin putih menjadi saksi bisu ketika Nayla menyerahkan dirinya pada keadaan. Sebuah keputusan yang tak lahir dari keinginan, melainkan dari kebutuhan yang mencekik.
Dan di ujung malam, hanya keheningan yang tersisa. Bukan sekadar rasa lelah di tubuh, tapi juga luka yang menggores jiwanya. luka yang ia tahu tak akan pernah benar-benar sembuh, meski uang berjumlah besar kini berada di tangannya.
kasian Nayla hancur N merasa bersalah bngt pastinya ..ibunya mninggal karna tau kerjaan nayla😭