Ellena dijual ibu tirinya kepada seseorang sebagai pengantin yang diperkenalkan di muka umum, agar istri sah tetap aman.
Namun, di hari pengantin ia diculik sesuai dugaan pria itu, dan disanalah awal penderitaannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kinamira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18
"Hmp! Cuma punya kemampuan seperti itu berani melawanku," ucap Felix dengan senyum sinis setelah berhasil mengalahkan musuh yang mengejarnya.
Felix mengusap tangannya yang terdapat beberapa percikan darah dengan sapu tangannya. Setelah merasa cukup bersih, ia melempar kain itu ke arah mayat musuhnya.
"Tuan." Anak buah Felix datang menghampiri.
"Semua berhasil dikalahkan," sahutnya.
Felix mengangguk bangga. "Bagus, kumpulkan orang-orang lemah itu, potong tangan mereka dan kirim ke Tuannya, setelah itu seperti biasa bakar mereka! Jangan tinggalkan jejak sedikitpun!" ucapnya dengan tegas.
"Baik Tuan!"
Setelah menyampaikan perintahnya. Felix mengitari taman itu, hingga ia menemukan Ellena yang diam meringkuk dengan wajah syok dan penuh rasa takut.
Pria itu berjalan menghampiri. Setelah berada di depan, ia berjongkok melihat jelas wajah pucat Ellena.
"Sudah ku bilang kan, aku akan melindungi mu," ucap Felix dengan tenang, tanpa rasa kasihan atau bersalah sedikitpun.
Bibir Ellena bergetar, air matanya berjatuhan. Ia menatap Felix dengan begitu memohon. "Lepaskan aku, aku ingin kehidupanku yang dulu, duniamu terlalu kejam."
Felix menghela nafas pelan. "Tidak bisa. Istriku harus tetap aman."
Air mata Ellena semakin jatuh melewati pipinya. "Kamu bisa melindunginya kan? Tidak perlu memperkenalkan di muka umum, dan aku tidak perlu terlibat di hubungan kalian," ucapnya melemas, terus memohon.
Felix mengangguk. "Kamu benar, aku masih melindunginya, dan supaya tetap aman tidak perlu dipublikasikan, itu sangat benar .... Tapi, seperti yang tadi siang terjadi, musuh menyerang tanpa aba-aba. Dan celah sedikit saja bisa saja mereka tau siapa istriku, itu sebabnya kamu harus tetap di sini."
Bibir Ellena bergetar, ia menunduk, merasa tak mampu membujuk Felix. Wanita itu menumpahkan air matanya, di depan Felix yang diam memperhatikan.
"Hal seperti ini akan sering terjadi, dan kamu harus terus siap!" ucap Felix dengan tegas.
Felix kemudian bangkit dari duduknya, dan menarik tangan Ellena untuk bangkit. Namun, lutut Ellena terlalu lemas membuatnya kembali terjatuh.
Felix mengerutkan keningnya kesal. "Hey, ayo berdiri, kau jangan buat drama seperti itu! Kau itu baik-baik saja!"
Namun, efek lelah dan emosi yang campur aduk. Bukannya bangun, Ellena malah terbaring tidak sadarkan diri di atas tanah.
"Eh," Felix mundur beberapa langkah terkejut. "Aish, wanita ini merepotkan sekali!" gerutu Felix berkacak pinggang menatap Ellena dengan tatapan jengkel dan malas.
"Hey kalian angkat dia!" Serunya memberikan perintah.
Ia menatap Ellena sekilas lagi, sebelum berbalik dan meninggalkannya pergi, mempercayakan pada bawahannya untuk membawanya.
"Dasar merepotkan, dia hanya tau menangis dan berteriak," gerutu Felix dalam setiap langkahnya pergi.
Sementara itu Maxim yang baru saja tiba di negara tersebut. Saat berada di dalam mobil yang datang menjemput, ia menerima panggilan dari sosok yang diminta bantuan.
"Ya halo Tuan Silas," sahut Maxim dengan ramah dan formalitas tanpa menurunkan suara kewibawaannya yang menandakan ia tidak akan tunduk begitu saja.
[Ya Tuan Mr. X, saya sudah mengirim pasukan melawan Tuan Felix seperti yang anda minta.] Sahut seseorang dibalik sana.
Maxim mengulum senyum tipis, dengan sorot mata yang menampakkan keangkuhan. "Terima kasih Tuan Silas, jasamu ini pasti aku akan balas."
[Ini hanya bantuan sederhana Tuan. Tapi, ya, beberapa orangku meninggal, beberapa masih selamat. Saya harap mendapatkan imbalan yang sesuai. Tidak merepotkan Tuan Mr, X yang terhormat, tapi juga tidak merendahkan saya.]
Maxim menyinggung senyumnya. "Aku mengerti Tuan Silas. Anda tenang saja. Senjata yang anda inginkan, tiga puluh buah akan segera ku kirimkan."
Perjanjian yang sebelumnya mereka sepakati, sebelum bantuan kejahatan itu terjadi. Maxim akan menepati, tepatnya harus ditepati untuk menghindari permusuhan.
Meski orang yang dimintanya hanyalah rekan kerja biasa, namun yang namanya manusia, bisa saja berubah jadi musuh.
Panggilan itu berakhir dengan ucapan terimakasih yang formal. Maxim menatap keluar jendela dengan sorot tatapan dingin. Dengan informasi dari rekannya tersebut, hanya dalam hitungan menit ia akan segera menemukan posisi Felix.
"Felix Willson aku tidak akan membiarkanmu bersenang-senang. Aku belum puas menyiksa istrimu!" batinnya disertai senyum seringaian yang siapapun melihatnya pasti akan merasakan ngeri.
***
Kembali pada Felix, pria itu meski terluka memilih pulang ke hotel yang disewanya. Terbiasa dengan rasa sakit, membuatnya cukup mengabaikan luka, dan merasa cukup anak buahnya yang mengobati.
"Ya ampun, kamu terluka begini lagi," ucap Lovie mengusap pundak Felix dengan lembut.
"Aku tidak apa sayang. Ini hanya luka kecil. Tidak perlu khawatir," tutur Felix mengusap lembut puncak kepala Lovie.
"Kamu ini selalu saja bilang luka kecil," ucap Lovie memayunkan bibirnya menarik dan menggenggam tangan Felix.
Seseorang datang menghampiri. "Tuan, maaf mengganggu," ucapnya membungkuk kecil sebagai tanda hormat.
Felix menjawab dengan deheman ringan meminta pria itu mengatakan apa yang ingin dikatakan.
"Bagaimana dengan Ellena, Tuan? Apa kita panggilkan dokter?" tanyanya bermaksud izin.
"Tidak perlu, kecuali dia tidak bangun dalam enam jam, panggil dokter," jawab Felix cepat.
Orang itu mengangguk patuh. "Baik Tuan. Kalau begitu saya undur diri," ucapnya.
Setelah orang itu selesai mengobrol, Lovie mengguncang pelan lengan Felix, membuat Felix kembali menatapnya dengan tatapan lembut dan hangat.
"Sayang, Ellena cantik dan manis, kamu peduli padanya benar-benar karena dia pengganti aku kan? Bukan karena menyukainya?" tanya Lovie dengan tatapan melemas.
"Eh, sayang, kenapa berpikir begitu? Aku hanya mencintaimu. Hanya dirimu," ucap Felix tanpa ragu, memberikan senyuman manis menyakinkan.
"Aku malah jengkel dengannya. Dia terlalu lemah, kalau dia terus pingsan menghadapi bahaya, itu sangat merepotkan. Kalau bukan karenamu, sudah ku tinggalkan di sana," kata Felix mengeluhkan bagaimana ia menghadapi Ellena.
Wajah yang tampak jengkel, membuat Lovie terkekeh. Ia melingkarkan tangannya dengan mesra di leher Felix. "Hm, aku percaya. Tuan Willson ini akan setia padaku," ucapnya sembari tersenyum dan mengedipkan matanya genit, membuat Felix menggeram gemas.
"Keluar!" perintah Felix pada sosok yang tengah mengobati luka di punggungnya.
"Ini belum selesai Tuan."
Felix langsung menoleh memberikan lirikan tajamnya, membuat pria menciut, tanpa membantah segera keluar dari sana.
Felix kembali tersenyum manis. Tangannya mengusap lembut pinggang ramping Lovie. "Aku menginginkanmu!" bisiknya.
Lovie tersenyum. "Tapi, di sini ada Ellena," ucapnya sembari menunjuk Ellena dengan tatapan, di mana Ellena sedang berbaring tak sadarkan diri di sofa.
"Abaikan saja dia," ucap Felix tanpa menunggu lagi, segera memberikan ciuman di bibir Lovie.
Tanpa peduli keberadaan Ellena, tanpa takut Ellena sadar dan melihat mereka. Keduanya bercinta dengan liar.