Dewi Ayu Ningrat, gadis ningrat yang jauh dari citra ningrat, kabur dari rumah setelah tahu dirinya akan dijodohkan. Ia lari ke kota, mencari kehidupan mandiri, lalu bekerja di sebuah perusahaan besar. Dewi tidak tahu, bosnya yang dingin dan nyaris tanpa ekspresi itu adalah calon suaminya sendiri, Dewa Satria Wicaksono. Dewa menyadari siapa Dewi, tapi memilih mendekatinya dengan cara diam-diam, sambil menikmati tiap momen konyol dan keberanian gadis itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
Enam bulan setelah pernikahan mereka, rumah mungil bergaya etnik yang dibangun di belakang studio Kala Kita terasa begitu damai. Tidak mewah, tapi hangat dan penuh makna. Tiap sudutnya dihias oleh kenangan: dari potongan kain tenun yang disulam sendiri oleh Dewi, hingga lukisan kayu buatan tangan Dewa.
Dan pagi itu… dimulai dengan suara keras dari kamar mandi.
“DEWA!!”
Dewa yang sedang menyiram tanaman di halaman langsung berlari ke dalam. Nafasnya memburu.
“Kenapa? Kamu kenapa?!” tanyanya panik.
Dewi berdiri di depan cermin kamar mandi, memegang sebuah alat kecil bergaris dua. Matanya membelalak, wajahnya campur aduk antara bingung, panik, dan terharu.
“Aku... terlambat dua minggu. Aku kira cuma karena stres. Tapi barusan aku... iseng...”
Ia angkat alat tes kehamilan itu.
“Dan hasilnya... garisnya dua.”
Dewa terdiam. Lalu perlahan ia melangkah mendekat.
“Dua... itu berarti...”
Dewi mengangguk pelan.
“Aku hamil.”
---
[Ruang Tengah – Beberapa Menit Kemudian]
Dewa duduk terdiam di sofa. Tangannya menggenggam alat tes itu erat.
Dewi duduk di sampingnya, masih gelisah. “Kamu... kaget ya?”
Dewa menoleh, kemudian tersenyum lebar. “Aku bahagia, Dewi. Cuma... aku takut juga.”
“Takut apa?”
“Takut aku belum siap jadi ayah. Takut aku bawa beban keluarga masa lalu ke anak kita.”
Dewi menggenggam tangannya.
“Kita mulai semuanya dari nol. Anakku... gak akan tumbuh di dalam kekuasaan atau gengsi. Tapi dalam cinta dan keberanian. Dan kamu—kamu akan jadi ayah yang hebat, Dewa.”
---
[Beberapa Hari Kemudian – Klinik Bersalin]
“Selamat ya, Bu Dewi. Usia kandungan sekitar lima minggu. Alhamdulillah, janinnya sehat,” ujar dokter sambil menunjukkan gambar USG kecil di layar.
Dewi dan Dewa menatap layar itu bersamaan. Hening.
Tapi saat suara detak jantung kecil terdengar—detak cepat seperti drum mungil—Dewi tak tahan menahan air mata.
“Denger gak, Dewa?”
“Iya...” bisik Dewa. “Itu... anak kita.”
---
[Malam Hari – Halaman Belakang Rumah]
Dewi duduk berselimut, memandangi langit yang berbintang.
Dewa duduk di sampingnya, membawakan semangkuk sup jahe hangat.
“Besok kita umumkan ke tim?” tanya Dewi pelan.
“Kamu yang tentukan. Tapi aku tahu satu hal.”
“Apa?”
“Kehidupan kita berubah sejak kamu bilang ‘aku kabur’.”
Mereka tertawa kecil.
“Tapi kali ini, Dewi Ayu Ningrat tidak perlu lari dari apa pun.”
Dewi menyenderkan kepala di pundaknya.
“Karena aku akhirnya menemukan rumahku—dalam dirimu.”
---
[Keesokan Harinya – Studio Kala Kita]
Saat rapat mingguan dimulai, Dewi berdiri di depan tim yang sudah seperti keluarga sendiri.
“Sebelum kita mulai desain koleksi baru... aku mau umumkan sesuatu.”
Semua menatap penasaran.
“Aku hamil.”
Hening sejenak.
Lalu…
“HAAAAAAHHH?!”
Disusul sorak sorai, pelukan, air mata dari Naya, dan bahkan Cika—model paling pendiam—menjerit kecil.
Naya menatap Dewi dengan mata berkaca-kaca. “Kamu bukan cuma sahabatku, Dew... tapi inspirasi hidupku.”
Dewi tersenyum. Lalu pelan berkata, “Semoga anakku nanti tumbuh bukan hanya di dunia yang indah... tapi juga dunia yang berani.”
Seminggu setelah kabar kehamilan Dewi diumumkan, dunia mereka berubah. Kabar itu bocor ke media, dan kini wajah Dewi—dengan label “Desainer Muda, Ibu Masa Depan”—muncul di berbagai artikel dan unggahan media sosial.
Namun yang tidak mereka tahu… di balik layar, ada kekuatan lain yang mulai bergerak.
---
[Ruang Rapat Rahasia – Kantor Aruna Mode, Jakarta Selatan]
Seorang wanita berwajah tajam menatap layar laptop dengan sorot penuh dendam. Namanya Nadira, pemilik label fesyen pesaing Kala Kita yang pernah hampir bangkrut karena kehilangan proyek besar.
Di layar, tampak gambar Dewi dan Dewa bersama di konferensi pers beberapa bulan lalu.
“Dia pikir dengan menikah dan punya anak, dia bisa menaklukkan semuanya?” Nadira mencibir.
Seorang pria paruh baya di sampingnya, pengacara licik bernama Bram, menyodorkan berkas.
“Proposal kerja sama Kala Kita dengan pemerintah daerah untuk pelatihan UMKM perempuan. Kalau kita bisa sabotase dokumen ini… nama mereka bisa jatuh. Terutama Dewi.”
Nadira tersenyum licik. “Kita mulai dengan memotong akar sebelum pohon semakin besar.”
---
[Studio Kala Kita – Siang Hari]
Dewa sedang berdiskusi dengan tim keuangan ketika salah satu staf datang terburu-buru membawa surat dari kementerian koperasi.
“Pak Dewa… ini penting.”
Begitu dibuka, alis Dewa langsung berkerut.
Surat tersebut menyatakan bahwa proyek kerja sama pelatihan batik dengan Kala Kita dibatalkan secara sepihak. Alasannya: “indikasi pelanggaran administrasi dan ketidaksesuaian laporan dana.”
“Mustahil!” seru Naya yang ikut membaca. “Semua laporan kita diaudit dan bersih!”
Dewi, yang sedang duduk di ruang tengah, langsung bangkit.
“Kalau mereka berani memfitnah, artinya mereka tahu kita mulai tumbuh besar.”
Dewa memandang istrinya. “Tapi kamu sedang hamil, Dew…”
“Aku hamil. Bukan lumpuh,” sahut Dewi tajam namun tenang. “Dan aku tidak akan biarkan anakku lahir ke dunia yang tidak adil tanpa ibunya berani melawan.”
---
[Malam Hari – Rumah Dewi dan Dewa]
Di ruang kerja mereka yang menyatu dengan perpustakaan kecil, Dewi memandangi daftar media dan kontak komunitas sosial yang pernah mereka bantu.
“Kita akan lawan ini secara terbuka,” katanya mantap. “Kita akan buka semua data, transparan, dan minta jurnalis independen investigasi dari pihak netral.”
Dewa mengangguk. “Kamu yakin kuat?”
Dewi menatap suaminya lekat-lekat.
“Aku lebih dari kuat. Aku hamil, Dewa. Itu artinya aku sedang menciptakan kehidupan dari dalam tubuhku. Mana mungkin aku takut pada permainan kotor?”
Dewa tersenyum. Kagum. “Kamu tahu? Aku menikahi seorang pahlawan.”
Dewi terkekeh. “Pahlawan yang kalau ngidam bisa nangis cuma karena pengin semangka jam dua pagi.”
“Dan semangkanya sudah aku beli!” Dewa menunjuk ke meja dapur sambil tertawa.
---
[Beberapa Hari Kemudian – Konferensi Pers Dadakan Kala Kita]
Dewi berdiri di podium. Kali ini, perutnya sudah mulai membuncit sedikit, terlihat jelas di balik kebaya tenun putihnya.
Ia memegang dokumen asli, bukti audit yang sah, video pelatihan, dan surat dari puluhan peserta UMKM yang mendukung mereka.
“Kami bukan hanya membangun merek. Kami membangun kepercayaan,” ucap Dewi mantap.
“Dan kalau seseorang berpikir mereka bisa menjatuhkan kami hanya dengan manipulasi... maka mungkin mereka lupa bahwa kami bukan tumbuh dari uang—tapi dari luka yang kami rawat menjadi kekuatan.”
Sorak sorai dan tepuk tangan meledak.
Sementara itu, jauh di sudut ruangan, Nadira yang menyamar dengan kacamata gelap menatap Dewi penuh benci.
Ia berbisik pelan, “Belum selesai. Aku belum selesai denganmu.”
---
Bersambung