NovelToon NovelToon
Gara-gara Buket Bunga

Gara-gara Buket Bunga

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Seiring Waktu
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: hermawati

Disarankan membaca Harumi dan After office terlebih dahulu, agar paham alur dan tokoh cerita.


Buket bunga yang tak sengaja Ari tangkap di pernikahan Mia, dia berikan begitu saja pada perempuan ber-dress batik tak jauh darinya. Hal kecil itu tak menyangka akan berpengaruh pada hidupnya tiga tahun kemudian.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon hermawati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ini Yang Namanya Ciuman

Sandi sengaja berlama-lama menyelesaikan ritual mandi menjelang tidur. Dia menyempatkan diri untuk luluran, hal yang biasa dilakukan ketika akhir pekan. Sandi ingin agar Ari menyerah. Malam ini dia hanya ingin mengistirahatkan pikirannya.

Waktu mandi yang hanya memakan waktu lima sampai tujuh menit, kini sudah menginjak menit ke lima belas. Untungnya kosannya dilengkapi dengan water heater, sehingga dia tak merasa kedinginan.

Dan pada menit ke dua puluh, Sandi baru keluar dari kamar mandi. Lengkap dengan baju tidur hadiah dari Ana, mantan rekan kerjanya di pabrik. Katanya sebagai kenang-kenangan.

Saat hendak menyalakan pengering rambut, ponsel yang sedang isi daya. Menyala, tertera nama Ari di layar. Sandi berdecak kesal, setelah apa yang dia dengar dari Jaka, Indah dan Mia. Sandi sepertinya harus menjaga jarak, mumpung rasa sukanya belum berubah menjadi cinta mendalam.

Panggilan mati, berganti dengan pesan yang bisa dilihat itu dari Ari. Sandi urung mengeringkan rambut, dia membuka ponsel tanpa membuka pesan. Dari notifikasi, dia melihat kalimat awal yang dikirim oleh Ari.

"Kamu mau turun sendiri atau mau aku datangi dan kemudian kamu aku seret ke tempat aku." Ari juga menuliskan emoticon marah.

Karena pesan bukan hanya satu yang dikirim, ada banyak panggilan tak terjawab. Tapi Sandi memilih abai dan lebih memilih menyalakan pengering rambut.

Panggilan masuk dan pesan yang Ari kirimkan, benar-benar Sandi abaikan. Dia hanya meliriknya sekilas.

Menit-menit berlalu, rambutnya telah kering. Sandi mematikan hair dryer, dan bersamaan itu pula. Pintu kamarnya diketuk.

"Sopo seh? Ganggu ae." Gerutunya. Walau begitu, Sandi tetap melangkah kearah pintu kamarnya.

Seharusnya, Sandi mengintip dari jendela siapa yang mengetuk. Dia jadi menyesal. Karena sekarang Sandi mendapati Ari berdiri sambil menempelkan ponsel ke telinganya sendiri.

"Kamu sengaja nggak angkat panggilan aku?" Tanya Ari. Wajah yang biasanya ramah, kini berubah drastis. Tak ada senyuman, hanya wajah merah padam.

"Aku baru selesai mandi dan keringin rambut." Sandi beralasan.

Ari melirik ke arah kabinet di mana ponsel milik Sandi berada, bersebelahan dengan alat pengering rambut. Dia membuang napasnya kasar dan berkacak pinggang, usai sebelumnya memasukkan ponsel ke saku celana pendeknya. "Mau bicara di sini atau ikut aku?" Tanya nya, mencoba bersabar.

"Nggak ada yang perlu diomongin, mas! Kan aku bilang, aku mau istirahat di kamar sendiri. Hari ini aku capek banget." Jawab Sandi, meskipun sedikit takut dengan ekspresi lelaki yang berdiri di depannya. "Lagian ini, kos khusus perempuan. Kamu ngapain kesini? Entar kena grebek sama pemilik kosan loh! Mau kamu diarak sama warga?" Dia sengaja menakuti.

"Aku yang punya, suka-suka aku dong!" sahut Ari santai. "Jadi mau bicara di sini dan mengundang perhatian para penghuni lain, atau ikut aku sekarang?" Sekali lagi Ari masih berusaha bersabar.

Sandi terkejut tapi matanya melirik ke arah tetangga seberangnya, gorden terlihat bergerak artinya mereka sedang melihat ke arah dia dan Ari. "Aku ikut kamu, tapi kita ngobrol di luar. Setelah itu aku balik ke kamar."

Ari menggeleng tak setuju, "kamu nginep di rumah aku."

"Mana boleh begitu."

"Aku pacar kamu."

"Pacar pura-pura, kalau kamu lupa." Kata Sandi pelan.

Ari mulai hilang kesabaran, dia merangsek masuk. "Mana baju yang akan kamu pakai besok? Aku bawain." Dia menunjuk ke arah lemari.

Sandi melebarkan matanya tak percaya, dia tak menyangka Ari seberani itu. "Mas, jangan gini. Aku nggak enak sama yang lain."

"Kamu yang mulai duluan, sayang ..."

Sandi baru sadar, sepertinya dia salah menilai lelaki itu. Tak ingin menimbulkan kegaduhan, pada akhirnya Sandi mengalah. Dia membuka lemari, mengambil satu stel pakaian kerja serta dalaman. Lalu memasukkannya ke dalam paper bag, tak lupa ponsel dan barang printilan lainnya.

***

Rumah yang dimaksud oleh Ari adalah sebelah gedung kosan, hanya berbatas tembok tinggi.

Rumah berpagar putih dengan carport yang berisi satu mobil dan dua motor berbeda jenis. Serta taman kecil yang terdapat air mancur kecil di sana.

Rumah satu lantai itu, tidak terlalu banyak perabot. Bahkan ruang tamu masih kosong, hanya ada satu sofa panjang di ruang keluarga.

"Aku tidur di mana, mas?" Tanya Sandi, dia menahan mulutnya agar tak kelepasan menguap.

Ari melangkah ke arah pintu berwarna cokelat dan membukanya. Di dalam hanya ada ranjang ukuran besar. "Aku belum beliin banyak perabot, karena aku baru sekitar dua bulan tinggal di rumah ini."

"Aku tidur di sini, gitu?" Tanya Sandi memastikan, karena dia mencium aroma maskulin begitu memasuki kamar. Terdapat lemari besar dekat pintu, yang sepertinya menuju kamar mandi.

"Hmmm ..."

"Kamu?"

"Di sini juga, dan nggak usah protes. Ini bukan kali pertama kita tidur di tempat yang sama."

"Tapi waktu di rumah bambu kita tidur di kamar masing-masing. Kita nggak pernah satu kasur." Sandi membantah.

"Ya udah mulai sekarang kita tidur di sini."

"Mas ..." Sandi memberikan tatapan keberatan.

Ari menggeleng, "aku pacar kamu."

"Tapi kita cuma pura-pura pacaran." Sandi mengingatkan. "Kita tidak boleh melewati batas, apa kamu lupa kesepakatan kita?"

Ari mengambil alih Paper bag yang dipegang Sandi, dan meletakkannya di dalam lemarinya. "Mau ngobrol di sini atau di depan?" Maksud Ari adalah sofa ruang keluarga.

"Ngobrol apaan sih, mas? Kayaknya nggak ada yang perlu kita omongin lagi deh." Sandi benar-benar merasa keberatan.

"Ya udah, aku bersih-bersih dulu. Terserah kamu mau tunggu aku di mana." Ari hendak melangkah ke arah pintu samping lemari, namun langkahnya terhenti. Dia ingat sesuatu, "aku ambil ponsel kamu, agar kamu tidak kemana-mana." Dia mengambil alih ponsel yang sedang dipegang Sandi.

Yang bersangkutan hanya bisa melongo melihat kelakuan pemilik rumah. Sandi menatap tak percaya sosok lelaki yang kini memasuki pintu kamar mandi. Seingatnya Ari bukan tipe pemaksa, pun soal cerita Mia beberapa jam lalu. Sepertinya nanti dia harus mengkonfirmasi langsung atas perubahan sikap pada Ari.

Apa mungkin kepala Ari terbentur sesuatu?

Sandi memutuskan menuju sofa ruang keluarga, lalu merebahkan tubuhnya. Terjebak macet ada saat dirinya berangkat ke rumah Mia, membuat pinggangnya pegal. Hanya karena penasaran dengan masa lalu Ari, dia rela menembus kemacetan ibu kota pada jam pulang kerja.

"Apa kamu mau minum susu hangat?" Tanya Ari yang baru saja keluar dari kamar dan melangkah menuju dapur bersih.

"Nggak usah, langsung aja. Kamu mau obrolin soal apa? Karena jujur aku udah ngantuk banget dan besok aku harus berangkat pagi-pagi sekali untuk lembur pagi." Sandi menolak.

Walau ditolak, Ari tetap membuatkan dan membawanya usai memanaskannya sebentar. Ini bertujuan agar tidur lebih nyenyak.

Mau tak mau, Sandi menerima segelas susu hangat yang dibuatkan untuknya. Tak lupa mengucapkan terima kasih, karena telah perhatian padanya. "Jadi apa yang ingin kamu bicarakan?" Tanyanya seraya meletakan gelas kosong di meja depan sofa.

Ari duduk tepat bersebelahan dengan Sandi, lengan keduanya bahkan saling bersentuhan. Ari mengambil tangan Sandi dan mengecupnya lembut. "Aku mau kamu keluar dari kosan itu."

"Hah? Mana bisa begitu. Bahkan kemarin aku baru bayar untuk satu bulan kedepan. Kalau aku keluar dari sana, terus menurut kamu aku tinggal di mana? Di Jakarta, selain rekan kerja aku nggak punya teman."

Ari mengecup tangan itu lagi. "Aku akan kembalikan uang sewa kamar kamu, sekarang. Atau kamu mau aku kembalikan dua kali lipat?"

"Kamu ngusir aku? Apa aku buat salah sama kamu?" Sandi mulai gusar.

Ari masih memegang tangan Sandi dan terus mengecupnya berkali-kali. "Aku minta kamu tinggal di rumah ini."

Sandi melebarkan matanya, dia menoleh dan menatap lelaki disebelahnya dengan tatapan tak percaya. "Mas, kita ini cuma pacar pura-pura. Kita cuma saling bantu sembuhkan luka patah hati, kenapa mesti sampai tinggal satu atap? Apa kamu selalu seperti ini, dengan cewek-cewek yang dekat dengan kamu?"

Ari menggeleng, "nggak."

"Kamu sering bantu Mbak Mia dan sahabatnya, kan? Mungkin juga anak kos sebelah."

"Sesama manusia harus saling bantu, hanya sebatas itu."

"Ya udah kamu bantu aku sekenanya aja, nggak usah sampai suruh aku keluar dari kosan." Kata Sandi. "Kalau kamu khawatir soal tetangga kos yang mungkin judes sama aku, biarin aja. Toh aku jarang di kosan. Aku cuma numpang buat tidur doang! jadi nggak usah berlebihan."

"Aku jelas khawatir lah, kamu baru dengar omongan kayak gitu. Kamu udah nggak mau angkat telepon dan balas pesan aku. Maka dari itu aku nggak mau tiba-tiba kamu jauhi lagi. Kamu kan hobi menghindar dari aku. Dan itu aku nggak suka. Aku benci kamu abaikan." Ari tak mau kalah.

"Apa kamu bersikap sama seperti ini pada mereka?" Tanya Sandi. Yang dimaksud di sini adalah Mia dan para sahabatnya, serta anak-anak kos yang pernah dekat dengan Ari.

"Nggak, aku hanya bantu secara finansial dan menemani mereka kalau lagi sedih."

"Terus kenapa kalau ke aku, kamu berlebihan gini? Sampai minta tinggal satu atap segala."

"Karena kamu pacar aku."

"Pacar pura-pura doang, mas Ari!!! Jangan kelewat serius."

"Ya udah nggak usah pura-pura,"

"Maksud kamu?" Sandi benar-benar tak percaya.

"Kita pacaran beneran." Sahut Ari.

"Nggak salah kamu ngajak modelan cewek kayak aku, buat pacaran?" Sandi tak habis pikir. "Ini namanya kamu menurunkan standar cewek idaman." Dia jadi ingat pada Rumi, yang memiliki paras cantik dan tubuh seksi.

"Menurunkan standar gimana? Memangnya kamu tau, cewek idaman aku kayak apa?" Tanya Ari. Kini dia duduk menghadap ke arah perempuan yang kini diakuinya sebagai pacar.

"Mbak Rumi itu mantan calon istri kamu, kan? Beliau cantik, tinggi, putih, badan bagus. Terusss ..." Belum sempat Sandi menyelesaikan kalimatnya, sesuatu yang basah dan kenyal menempel di pipinya.

Cup ... "Bawell ... Dan nggak usah sebut nama dia lagi, aku lagi usaha move on." Ari mengecup pipinya.

Sandi mendelik dan reflek memegangi pipinya. Dia menoleh, "kamu apa-apaan sih, Kenapa cium aku?"

"Kamu bilang mau bantu aku move on, tapi kenapa kamu malah singgung mantan? Aku udah mau lupa soal dia." Ari berdecak. "Yang barusan aku lakukan itu bukan cium," dia tak sependapat. Ari memegang kedua rahang Sandi dan memiringkan kepalanya. Lalu menempelkan bibir keduanya. Menyesapnya pelan sambil memejamkan mata. Dalam hati dia bertanya, "kapan terakhir kali aku berciuman?" Meski belum ada balasan, Ari terus menerus menggerakkan bibirnya dan kemudian memainkan lidah. Merasa cukup Ari melepaskan tautan itu, tapi tidak dengan kedua tangannya yang masih bertengger di tempatnya. "Ini yang namanya ciuman, pacarku sayang ..." Ujarnya dengan suara serak. Dia mengecup lembut kening Sandi.

1
bunny kookie
top deh pokoknya 👍🏻💜💜
bunny kookie: bagus banget loh padahal kak,sat set loh cerita nya gk menye2 ,,
😭😭 apa yg sempat baca di paijo gk ikut kemari ya,ikut syedihh aku 😭😭😭
nabila anjani: Ka up lagi dong
total 3 replies
nabila anjani
Kak up lagi dong
Mareeta: udah aku up lagi ya
total 1 replies
bunny kookie
up lagi gak kak 😂
Mareeta: aku usahakan pagi ya kak
total 1 replies
bunny kookie
lanjut kak ☺
bunny kookie
nyampek sini aku kak thor ☺
Mareeta: terima kasih 😍 aku ingat dirimu pembaca setia karyaku
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!