dendam adalah hidupnya. Melindungi adalah tugasnya. Tapi saat hati mulai jatuh pada wanita yang seharusnya hanya ia jaga, Alejandro terjebak antara cinta... dan balas dendam yang belum usai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rii Rya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
eps 18. TIDAK MUNGKIN!
~~jangan lupa tinggalkan komentar dan dukungannya ya 💜
-----------------------
Suara gemericik air dari kamar mandi perlahan mereda, menyisakan kesunyian yang menggantung di udara. Alana melangkah keluar, tubuhnya dibalut piyama panjang dan wajahnya tampak pucat pasi. Setetes darah kembali menetes dari hidungnya, membasahi kulit wajah yang sudah lelah menahan rasa sakit selama berbulan-bulan.
Ia mendongak menatap langit-langit kamar bernuansa merah muda itu, seolah sedang mencari kekuatan dari langit untuk tetap bertahan. Dengan tangan gemetar, ia menghapus darah itu lalu berjalan tergesa menuju laci nakas di samping tempat tidur.
Tangannya menyusuri bagian paling bawah, menarik keluar sebuah botol kecil berisi obat. Dengan panik, ia membuka tutupnya. Suara langkah kaki yang mendekat membuat jantungnya melonjak. Itu pasti Sean.
Seketika, Alana menyembunyikan kembali botol tersebut ke dalam laci, tanpa menyadari bahwa satu butir pil berwarna merah jatuh ke atas karpet bludru putih.
Darah masih mengalir dari hidungnya. Tanpa pikir panjang, ia kembali masuk ke kamar mandi, berusaha menenangkan dirinya, membasuh dengan aliran air di westafel sebelum Sean membuka pintu.
Tombol pintu berputar. Pria itu masuk dengan langkah ringan dan langsung duduk di tepi ranjang. Setelah melepaskan jasnya dan melonggarkan dasi, mata cokelatnya menyapu ruangan. Pandangannya tertuju pada benda kecil mencolok di atas karpet.
Dahi Sean berkerut dalam. Ia memungut benda itu dan mengamati dengan saksama. "Pil apa ini?" gumamnya, nyaris tak terdengar.
Namun sebelum pikirannya bisa menyelam lebih dalam, Alana keluar dari kamar mandi. Sean cepat-cepat menyimpan pil itu ke dalam saku celananya.
Ia tersenyum lebar, membuka kedua tangannya. "Ke sini. Aku butuh pelukan."
Alana mendekat dan duduk di pangkuannya. Ia memeluk Sean erat, seolah tak ingin melepasnya. Sean membelai surai hitam istrinya yang panjang dengan lembut.
"Maafkan aku… belakangan ini aku terlalu sibuk, harus lembur setiap malam," ucap Sean dengan nada bersalah.
Namun sebelum Alana sempat menjawab, Sean menyela, memegang beberapa helai rambut yang menempel di tangannya.
"Sejak kapan rambutmu rontok seperti ini?" tanyanya, nada suaranya berubah.
Alana tertunduk, gelisah. "Mungkin karena aku mengganti sampo," ujarnya cepat, tanpa menatap mata Sean.
Sean memandangi wajah istrinya dengan curiga. Tapi Alana berdiri, berusaha mengalihkan perhatian. "Kau pasti lapar. Ayo kita turun makan malam."
Tanpa menunggu jawaban, ia melangkah keluar lebih dulu. Sean hanya diam menatap punggung wanita yang sangat dicintainya itu.
"Ada yang ia sembunyikan dariku…" pikirnya.
Sean mengeluarkan pil tadi dari saku, lalu menyimpannya di dalam kantong rahasia di lemari.
Keesokan harinya…
Di atas meja, Sean meninggalkan secarik kertas.
"Selamat pagi, sayang. Maaf aku harus pergi pagi-pagi sekali. Aku mencintaimu."
Di samping surat itu, sebuah paper bag berisi lima botol sampo dan vitamin rambut. Alana membuka isinya dan menatap dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
Butir bening jatuh membasahi pipi. Ia memeluk surat itu erat dan menangis sambil menutup mulut. Isaknya tertahan, seakan ingin menjerit.
"Mengapa harus aku?"
Ia jatuh terduduk di lantai, tubuhnya gemetar. Di balik segala tawa dan kebahagiaan, ia menyimpan rahasia yang akan menghancurkan dua pria paling berharga dalam hidupnya.
Sean, suaminya yang selalu mencintainya tanpa syarat. Dan Ryuga, anak lelaki yang tumbuh dengan semangat dan harapan.
"Bagaimana jika sean tahu… bahwa aku tidak akan lama lagi?"
Hatinya remuk. Alana tahu waktunya tak banyak. Kanker otak bersarang di kepalanya, dan ia memilih menyembunyikannya demi melindungi mereka dari luka.
Beberapa hari kemudian...
"Ambillah. Kau bisa pakai itu sekarang," ujar Sean, menyerahkan kotak hitam kecil pada Alejandro.
"Itu alat bantu dengar berteknologi tinggi. Bisa menangkap suara dari jarak ratusan meter. Kita butuh kepekaan penuh untuk misi kali ini."
Alejandro menerima alat itu dan mengangguk. "Terima kasih, tuan."
Sean berdiri di hadapan mereka semua. Elena, Ryuga, Kinara, dan Alejandro. Wajahnya serius.
"Target kita malam ini adalah ruang rahasia bawah tanah di istana. Aku tidak akan membawa black panther dalam misi kali ini, Kita harus menyusup diam-diam dan menyalin data dari server utama. Hanya satu orang yang bisa membuka akses, yaitu Presiden Wigantara."
Semua terdiam. Misi ini bukan hanya berbahaya, tapi bisa menjadi jalan satu arah.
"Kinara dan Ryuga akan mengawasi perimeter luar. Aku, Elena, dan Alejandro akan masuk ke dalam. Kita punya waktu 30 menit."
Elena menatap Sean. "Dan kalau ayahku datang lebih cepat?"
Sean menjawab lirih, "Maka kita tidak akan punya pilihan selain menghadapi dia secara langsung."
Mereka bergerak malam itu, menyusup ke koridor rahasia di balik perpustakaan istana yang tersembunyi di bawah tanah. Suasana mencekam. Setiap langkah terdengar seperti denting jam kematian.
Alejandro menyusup lebih dulu, memasang alat pemindai retina palsu. Sean memegang kendali komunikasi, memberi instruksi cepat.
Namun tiba-tiba... klik.
Seseorang mengaktifkan alarm darurat.
"Ryuga, status perimeter?" teriak Sean melalui alat komunikasi.
"Dua penjaga bersenjata datang dari barat!" suara Ryuga terdengar tegang.
Tembakan pertama menghantam dinding marmer di dekat Elena. Gadis itu terjatuh, lututnya terluka.
Alejandro menarik tubuh Elena dan menembakkan peluru pembungkam ke arah penjaga. Satu tumbang. Kinara muncul dari balik pilar, melemparkan gas tidur yang membuat sisa penjaga limbung dan jatuh.
"Cepat!" seru Sean.
Mereka berhasil masuk ke dalam ruang utama. Alejandro mengaktifkan alat bantu dengarnya dan menangkap suara dari balik pintu baja.
"Presiden akan datang dalam lima menit," bisiknya.
Sean bergegas menyelesaikan proses pemindahan data. Detik demi detik terasa seperti siksaan.
Lalu… ting!
"Data berhasil diunduh."
Mereka bergerak keluar, napas terengah-engah. Saat mereka nyaris mencapai pintu keluar, terdengar suara keras di belakang.
"Tuan Rajendra… kau pikir bisa kabur begitu saja?"
Itu suara Presiden Wigantara. Di tangannya tergenggam pistol.
Semua terdiam. Elena maju ke depan.
"Jangan sakiti mereka, Ayah!"
Presiden memandang anak perempuannya itu dengan mata marah, namun ada air yang menggantung di pelupuknya.
Sean perlahan mengangkat tangannya.
"Aku bukan musuhmu, Tuan Presiden. Aku hanya ingin tahu kebenaran yang selama ini disembunyikan."
Sebuah tembakan terdengar. Ryuga melompat dan menahan tubuh Elena.
Namun peluru tak menghantam siapa-siapa.
Selang beberapa detik kemudian...
Suara ledakan menggema keras, mengguncang ruangan dan membuat tubuh mereka terpental. Asap tebal mengepul, luka-luka mulai terlihat di sekujur tubuh mereka.
Dan dari balik kabut itu dan muncullah Arthur.
Dengan langkah angkuh, ia berjalan mendekat, diiringi barisan pasukannya. Para penjaga lain langsung sigap, bangkit meski terseok, mengarahkan senjata api ke arah pria yang kini menyeringai puas itu.
Tawa Arthur menggema, mencabik-cabik keheningan yang mencekam. Pandangannya tertuju pada Elena.
"Tak kusangka kau akan terlibat sejauh ini... dalam aksi gila bodyguard rendahanmu itu, Elena," ucapnya sinis.
Ia mendekat, mengulurkan tangan seolah penuh kepastian. "Bergabunglah denganku. Kau akan jauh lebih aman di pihakku, sayang."
Alejandro mengepalkan tangan. Darahnya mendidih, namun Elena berdiri terlalu dekat. Ia harus menahan diri.
Presiden Wigantara melangkah maju, lalu... plak! sebuah tamparan mendarat di wajah Arthur. Namun bukannya marah, Arthur hanya tertawa menghina.
"Jangan gegabah, Ayah," ucapnya dingin. "Menurutmu, siapa yang kini ada di pihakmu? Aku? Atau mereka?"
Tatapan Arthur berkilat, senyumnya memuakkan. Tapi ancaman sesungguhnya datang dari Sean Rajendra, yang meski terluka, berdiri tegak.
"Serahkan dirimu, Tuan Wigantara!" ucapnya lantang. "Akui kejahatanmu di hadapan publik, atau aku sendiri yang akan membongkar semua rahasiamu."
Wigantara menoleh, matanya tertuju pada putrinya yang berdiri di samping Alejandro. Rahangnya mengeras. Nafasnya memburu.
"Pengkhianat... Kalian semua! Ternyata kau dalangnya, Tuan Rajendra!"
Lalu, matanya beralih ke Elena.
"Elena! Kau harus ikut Ayah sekarang!"
Ia mencoba menarik tangan putrinya, namun Alejandro segera berdiri di hadapan Elena, menjadi tameng bagi gadis yang selama ini tak pernah ia tinggalkan.
Sementara itu, Kinara yang bersembunyi di balik pilar besar, akhirnya muncul. Mata Arthur menyipit tajam.
"Jadi selama ini aku dibodohi oleh saudara kembarmu yang malang itu? Kinara... kau hanyalah bayangan dari wanita murahan itu! Wajahmu boleh sama, tapi kau takkan bisa menipuku!"
Bentakan Arthur menggema di udara, membuat Kinara marah dan sakit hati secara bersamaan.
Alejandro mengepal tangan lebih erat. Setiap kata Arthur menghantamnya seperti belati. Ia hampir melompat menerkam pria itu, jika saja Sean tak menahannya. Elena hanya bisa memandangi punggung Alejandro yang masih erat menggenggam tangannya.
Namun di balik genggaman itu, Alejandro masih terjebak di masa lalu. Hati yang belum sepenuhnya sembuh. Dan Elena tahu... ia tak mudah masuk ke dalam hati itu. Ada sedikit kekecewaan yang tumbuh di dalam relung hati nya, mungkin perkataan alejandro padanya beberapa hari yang lalu, hanyalah sebuah penyemangat semata...bukan karena pria itu benar-benar menyukai nya.
Tubuh gadis itu gemetar hebat. Situasi berubah genting.
Alejandro segera menarik Elena ke tempat yang lebih aman. Suara tembakan mulai terdengar dari segala arah. Anak buah Arthur dan pengawal presiden saling menyerang.
"Bertahanlah di sini. Aku akan melindungimu," ucap Alejandro, menatap wajah Elena yang pucat dan tegang.
Tanpa ragu, Alejandro berlari kembali ke medan pertempuran.
"Empat lawan lima belas? Mereka memang pecundang sejati," gumam Sean sambil menyeringai pahit.
Tembakan meletus kembali. Salah satunya mengenai lengan Alejandro. Ia terjatuh, meringis.
Arthur mendekat perlahan, menodongkan senjatanya. "Akhirnya, kau akan menyusul Kirana ke neraka, bodyguard rendahan."
Namun tiba-tiba...bug! Kinara muncul dan menendang bagian vital Arthur, lalu menyetrumnya dengan stun gun pemberian Ryuga.
Kinara mundur kebelakang saat Arthur menatapnya dengan kemarahan, ternyata senjata itu tidak mempan. Seperti ada yang salah.
Ryuga sendiri sudah menjatuhkan dua musuh dengan teknik bela diri khas yang pernah diajarkan Sean.
Sean dan Ryuga saling menatap, lalu mengangguk singkat. Saling menguatkan.
Di sisi lain, Elena mengeluarkan pistol kecil dari saku belakangnya. Ia telah menyembunyikan senjata itu selama ini, tanpa sepengetahuan Alejandro. Dengan langkah gemetar, ia berjalan maju, mendekati pusat konflik.
"KAU PEMBUNUH!" Teriaknya nyaring. "KAU MEMBUNUH SAHABATKU SATU-SATUNYA!"
Waktu seolah membeku. Semua mata tertuju padanya.
Saat Arthur berbalik. Dan DOR!
Peluru itu menembus tepat di dahinya. Arthur tumbang, tubuhnya menghantam lantai dengan keras.
Senjata terjatuh dari tangan Elena. Ia memandangi genangan darah yang perlahan menjalar... dan tubuhnya ikut ambruk.
"Elena!" Alejandro segera mendekapnya dengan lengan yang masih berdarah. Gadis itu tak sadarkan diri.
Pertempuran masih berlangsung di belakang mereka. Namun seketika, pintu baja terbuka lebar.
Sepuluh anggota pasukan penjinak bom dan tim kejaksaan masuk bersama polisi bersenjata lengkap.
"JANGAN BERGERAK! ANGKAT TANGAN KALIAN!"
Dirgantara mengangguk ke arah Sean yang tersenyum tipis.
"Dasar polisi, selalu datang paling belakangan," cibir Sean pelan, menyeka darah dari pelipisnya.
"Kalian baik-baik saja?" tanyanya pada Ryuga, Alejandro, Kinara.
"Cepat keluar! Petugas medis sudah menunggu!" titahnya.
Tanpa ragu, Ryuga mengangkat tubuh Kinara. Alejandro pun menggendong Elena yang masih tak sadarkan diri.
Namun Sean belum selesai. Ia bergegas mencari Wigantara dan menemukannya bersembunyi dalam ruangan gelap.
Tanpa basa-basi, ia menarik pria itu keluar lalu...bugh! sebuah tinju menghantam wajah Wigantara hingga terjatuh.
"Kau masih hidup karena aku membiarkanmu," desis Sean. "Sudah seharusnya kau mati bersama kebusukanmu atas apa yang kau lakukan pada kakekku, dan pada Tuan William... ayah Alejandro. Ya, aku tahu, kaulah dalangnya!"
Ia jongkok, mencengkeram keras wajah Wigantara. Napasnya memburu seperti binatang buas.
"Aku menahan diri karena Elena. Karena dia masih berharap padamu. Tapi ternyata... kau hanya sampah yang tega membiarkan putrimu tumbuh dalam kesepian!"
Namun siapa sangka, wigantara malah tertawa dan menyeringai.
Hati Sean panas dan menarik rambut Wigantara, menghantam kepalanya ke sisi lemari. Pria itu pun pingsan.
"Cukup!" seru Dirgantara yang muncul di ambang pintu. "Dia harus diadili. Jangan bertindak terlalu jauh, kau juga bisa di penjara!"
Sean menarik napas panjang, mengangguk perlahan, lalu berjalan menjauh.
Namun belum terlalu jauh, ponselnya bergetar.
Panggilan dari rumah sakit.
"Maaf, Tuan Sean. Kami sudah mencoba menghubungi Anda berkali-kali. Obat yang Anda kirimkan kemarin... itu adalah obat untuk kanker otak stadium akhir. Dosisnya tinggi, biasanya hanya diberikan pada pasien di fase kritis..."
Ponsel itu terlepas dari tangannya, jatuh menghantam lantai.
Sean membatu sejenak seakan-akan tubuhnya terkunci. Tersadar, ia mencoba berlari namun terjatuh dan bangkit lagi. Beberapa ingatan menyerbu pikirannya. Pil misterius itu. Rambut Alana yang rontok. Dan juga Wajahnya yang selalu menghindar...
Teriakan Ryuga tak dihiraukan. Sean menerobos kerumunan medis. Ia hanya punya satu tujuan, yaitu pulang ke rumah.
Mobilnya melaju kencang. Klakson dibunyikan berkali-kali, menembus malam penuh kekacauan. Ia memukul stir, hingga tangan berdarah. Matanya mulai basah.
"Tidak... ini tidak mungkin... Dokter itu pasti salah!" raungnya.
"Alana... istriku... dia sehat! Dia tidak sakit!"
"Dokter itu pasti telah melakukan kesalahan!"
Namun di dalam hatinya, ketakutan sudah mulai tumbuh. Mengoyak seluruh jiwanya.
Airmata pria itu yang sudah sangat lama tidak pernah menyapu pipinya, kini dengan lancang meluncur bebas begitu saja.
Sean terus menggeleng berusaha menepis pikiran negatif di kepalanya.
"Alana...Alana ku dia baik-baik saja... istri ku pasti baik-baik saja..."