Di tahun 2036, dua agen elit Harzenia Intelligent Association (HIA), Victor dan Sania, mendapatkan tugas khusus yang tak biasa: mudik ke kampung halaman Victor. Awalnya terdengar seperti liburan biasa, namun perjalanan ini penuh kejutan, ketegangan emosional, dan dinamika hubungan yang rumit
Sejak Kekaisaran jatuh hanya mereka God's Knight yang tersisa
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Emperor Zufra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 18:ini semua jelas sekarang
Aliansi perlahan dibangun kembali, rakyat Harzenia mulai menata kehidupan pasca perang Orson, dan nama Victor serta Sania disebut dalam tiap monumen sebagai pahlawan. Namun, tidak ada yang benar-benar tahu apa yang mereka alami di dalam perut kapal raksasa itu, hanya mereka berdua dan para God's Knight yang masih hidup dalam cerita itu.
Pihak Eropa juga menjatuhkan sanksi kepada FAU karna sudah mendalangi Blokade, yang ternyata diinisiasi oleh pihak Kekaisaran abyss untuk melemahkan militer Eropa agar mudah untuk di kuasai oleh mereka.
Kembali ke Victor di Distrik Nerya, Victor duduk di beranda rumah tua di Distrik Nerya, pinggiran kota Harzenia memandangi langit yang mulai memerah saat senja turun. Angin musim gugur membawa aroma dedaunan kering dan roti panggang dari dapur milik keluarga sebelah.
Ia menghirup udara pelan, matanya menatap jauh ke arah barat, ke tempat di mana matahari tenggelam di balik pegunungan. Di tangan kirinya, secangkir teh hangat mulai mendingin.
“Masih belum terbiasa hidup damai tanpa bunyi tembakan dan sirene?” Suara lembut itu datang dari balik pintu. Sania berdiri di sana, dengan pakaian sederhana dan rambut yang terurai santai.
Victor Tersenyum. “Aku lebih terbiasa dengan dengkuranmu jam tiga pagi.”
Sania duduk di sebelahnya. Diam. Mereka membiarkan keheningan mengalun sebentar.
“Kau tahu,” ucap Victor akhirnya, “aku kadang bertanya... apakah kau benar-benar akan menembakku waktu itu. Saat kau bersama Pluto.”
Sania terdiam sejenak. Matanya menatap ke depan, tidak langsung menjawab.
“Tidak. Tapi aku juga tidak tahu harus memilih siapa waktu itu. Aku hanya tahu, hatiku tidak pernah tenang saat tidak ada kau di sisiku.”
Victor menoleh, menatap Sania dalam-dalam. “Kau selalu seperti kabut. Sulit ditebak. Kadang hangat, kadang dingin.”
Sania menunduk, seakan menyimpan banyak hal yang ingin dikatakan, tapi tak bisa diungkapkan begitu saja.
“Aku tidak akan bilang maaf,” katanya. “Tapi aku akan bilang satu hal: aku tidak pernah benar-benar bisa benci padamu, bahkan ketika aku merasa dunia memaksaku untuk itu.”
Victor tertawa pelan. “Kau tahu... waktu kita pertama kali bertemu, aku pikir kau hanya gadis pemarah yang tak bisa berhenti mengomel.”
“Dan aku pikir kau hanya pemuda menyebalkan dengan rambut merah terlalu mencolok,” balas Sania.
“Sekarang aku tahu,” lanjut Victor, menatap matanya, “kalau aku tidak pernah ingin ada di sisi siapa pun selain kau.”
Sania menatap mata Victor. Lama. Tak ada kata. Hanya angin senja yang menyapu pelan wajah mereka.
“Victor...”
“Hmm?”
“Perasaanku selama ini ternyata salah aku tidak sakit atau apa saat berada di dekat mu, ternyata Aku sebenarnya.....mencintaimu.”
Mata Victor melembut. Ia tak langsung menjawab hanya memegang tangan Sania, menggenggamnya erat.
“Aku juga.”
Mereka duduk berdampingan dalam diam yang hangat. Tidak ada ciuman dramatis. Tidak ada pelukan meledak-ledak. Hanya dua manusia yang pernah tersesat di antara konflik, akhirnya menemukan rumah dalam satu sama lain.
Di kejauhan, lonceng kecil gereja tua berdentang. Hari mulai berganti.
Sania bersandar pelan di bahu Victor. “Jangan pergi lagi tanpa bilang, ya?”
“Kalau kau ikut, aku akan ke mana pun.”
Satu bulan telah berlalu sejak kehancuran Exekutor II, Pulau Orson kini hanya tinggal reruntuhan. Bangkai logam kapal induk masih mengambang di perairan pesisir, dan langit yang dulu merah oleh cahaya pertempuran, kini kembali biru… tenang. Tapi ketenangan itu bukan berarti damai—banyak luka belum sembuh.
Victor duduk sendiri di sebuah taman di Distrik Endro, Harzenia. Suaranya hening, hanya terdengar suara angin yang menerpa daun dan langkah kaki pejalan kota. Ia mengenakan jaket HIA lamanya, yang sudah lusuh dan sobek di bagian kanan lengan. Tatapannya kosong menatap langit.
"Hai..." sebuah suara menghentikan lamunannya.
Victor menoleh perlahan. Di sana, berdiri Sania, mengenakan pakaian biasa. Bukan seragam, bukan armor, hanya pakaian warga biasa: jaket krem dan celana hitam. Rambutnya digerai—berbeda dari biasanya.
Victor terdiam sejenak. "Kau… datang juga," gumamnya.
Sania duduk di sampingnya. Jarak mereka cukup dekat untuk membuat Victor sedikit tegang, tapi ia tak bergerak menjauh.
"Tempat ini… tenang, ya, Sayang" ucap Sania.
"Sudah waktunya tenang. Kita terlalu lama hidup dalam suara ledakan," jawab Victor.
Sania tertawa kecil. Tapi tawanya itu menggantung, seolah ada beban yang belum selesai diucapkan.
"Aku... belum sempat bilang terima kasih," ucap Sania.
Victor menghela napas. "Kau nggak perlu bilang itu."
"Tapi aku mau. Kalau kau nggak selamatkan aku waktu itu... aku nggak akan bisa duduk di sini."
Victor mengalihkan pandangannya ke langit.
"Aku… juga minta maaf, Vic," ucap Sania tiba-tiba.
"Untuk apa?"
"Untuk semua... keputusan yang aku ambil. Waktu di Exekutor. Waktu aku hampir—"
"Kau tidak perlu menjelaskan lagi. Aku ngerti."
"Tapi aku nggak ngerti, Vic," potong Sania. "Aku masih sering nanya ke diri sendiri... kenapa aku tetap kembali ke tempatmu berdiri waktu itu. Kenapa aku nggak ikut meledak bersama Pluto dan Zufra."
Victor menunduk. "Karena kau bukan seperti mereka. Karena meskipun kau bilang kau ateis, kau masih punya hati yang tahu... mana yang benar dan salah."
Sania tertawa kecil lagi, tapi kali ini nadanya getir. "Kau masih aneh. Selalu percaya hal-hal begitu."
Victor tersenyum, samar.
Lalu, hening kembali menyelimuti mereka berdua.
Setelah beberapa menit, Sania berbisik, hampir tak terdengar, "Kau tahu... waktu aku tahu kau Muslim... aku kaget."
Victor hanya menoleh sedikit.
"Aku pikir kau akan menjauh setelah tahu aku nggak percaya Tuhan."
"Aku justru nggak bisa berhenti peduli," jawab Victor cepat, hampir seperti refleks.
Sania menatapnya, serius. "Kenapa?"
Victor terdiam, lama. Lalu menjawab pelan:
"Karena aku sayang sama kamu, aku ingin sekali menjadi pasanganmu."
Sunyi, Sania membeku, Matanya membesar. Jantungnya berdegup cepat. Ia mencoba berkata sesuatu, tapi suaranya tercekat.
Victor buru-buru menunduk. "Tapi aku nggak pernah berharap lebih. Aku tahu kita... berbeda Dan mungkin itu batas yang nggak bisa kita lewati."
Sania menatap Victor lama Lalu ia berdiri, mengambil napas panjang, dan berkata, "Kalau kita memang nggak bisa lewati batas itu... apa salahnya kita jalan beriringan sampai batas itu?"
Victor mendongak. Pandangan mereka bertemu, Sania tersenyum.
"Aku nggak janji apa-apa. Tapi kalau kau nggak keberatan... aku mau terus di sampingmu. Setidaknya, sampai kau bosan."
Victor tertawa pelan. Matanya berkaca-kaca.
"Baiklah. Tapi jangan pernah bilang 'bosan'. Aku bisa ngelawan 100 robot tapi kalah kalau kau pergi."
Sania tertawa, lalu mendorong bahu Victor pelan. Angin sore menyapa mereka, membungkus kehangatan kecil dalam langit yang akhirnya damai. Dua sosok yang penuh luka, perlahan belajar tertawa lagi, dan mungkin—untuk pertama kalinya—mereka tidak merasa sendirian
Tiga minggu setelah pertemuan mereka di taman kini Victor kembali aktif sebagai agen HIA, tapi sekarang ia lebih sering berada di pusat data dan observasi, bukan di garis depan. Ia mulai lebih diam, lebih jarang menyela, dan lebih banyak menatap layar—seolah mencari sesuatu yang tak bisa ditemukan di radar manapun.
Sania, di sisi lain, memilih mundur sementara. Ia belum menerima misi baru. Belum ingin. Baginya, dunia sedang sunyi, dan ia ingin belajar mencintai kesunyian itu—bukan karena ia lemah, tapi karena ia sudah terlalu lama berisik walaupun Mereka tidak selalu bersama. Tapi… selalu berdekatan.
“Victor,” panggil Sania saat mereka berdua duduk di ruang briefing yang kosong, suatu sore yang kelabu.
“Hm?”
“Kau tahu… waktu aku masih kecil, aku selalu ingin jadi pahlawan. Tapi aku nggak tahu bedanya jadi pahlawan... atau cuma jadi alat.”
Victor menoleh. “Dan sekarang?”
Sania tersenyum tipis. “Aku tahu. Pahlawan itu bukan soal siapa yang disorot… tapi siapa yang tetap tinggal meski semua sorotan mati.”
Victor menyimpan senyum kecil itu di hati. “Kau masih mau jadi pahlawan?”
“Aku cuma mau... jadi orang baik. Setidaknya cukup baik... buat berdiri di sampingmu.”
Kata-kata itu membuat jantung Victor berdegup pelan. Ia menatap ke arah luar jendela kaca. Langit Harzenia mulai disapu senja keemasan.
“Kadang… aku masih nanya ke diri sendiri,” ujar Victor pelan. “Apa aku pantas ada di dekatmu?”
“Kenapa tidak?”
“Karena aku menyimpan banyak hal. Tentang keluargaku. Tentang keyakinanku. Tentang semua luka yang aku pendam. Aku pikir, itu akan membuatmu menjauh.”
Sania menatapnya. Lama. Lalu berkata, “Tapi justru karena itu... aku tahu kau manusia.”
Mereka terdiam.
Tak ada pelukan. Tak ada ciuman. Hanya sepasang manusia yang duduk dalam diam, tapi dalam diam itu, ada banyak hal yang dipahami tanpa kata.
Malam itu, mereka pulang ke tempat masing-masing. Tapi sebelum Victor melangkah keluar dari pusat markas HIA, suara lembut Sania memanggilnya.
“Vic.”
Ia menoleh.
Sania berdiri di bawah cahaya redup lorong. Matanya berbinar. Lalu ia tersenyum kecil dan berkata:
“Jangan menungguku terlalu lama.”
Victor tersenyum balik. “Aku akan menunggumu, bahkan jika kau datang saat bumi sudah tua.”
Sania berjalan pergi, dan malam menelan siluetnya. Tapi Victor tahu, langkah-langkah itu… akan kembali ke arahnya.
Musim semi tiba di Distrik Nerya, pinggiran kota Harzenia yang tenang, jauh dari hiruk pikuk markas militer, jauh pula dari bayang-bayang peperangan. Di sanalah, di sebuah taman kecil penuh bunga lavender, Victor duduk diam di bangku kayu, memandangi langit biru muda yang bersih tanpa drone.
Sudah dua bulan sejak terakhir kali ia dan Sania berbicara lama.
Tak ada misi. Tak ada laporan. Hanya jeda. Tapi justru dalam jeda itu… perasaan tumbuh, seperti rumput liar di antara puing bangunan.
Langkah kaki mendekat dari belakang. Pelan. Tidak tergesa.
Victor tidak perlu menoleh. Ia tahu suara sepatu itu.
“Sudah lama?” tanya Sania sambil duduk di sampingnya.
“Nggak juga. Tapi, lama nggak lihat kamu pakai jaket ungu itu.”
“Favoritku,” jawab Sania singkat.
Mereka duduk bersama, mata ke depan, angin pelan meniup helai rambut Sania yang kini lebih panjang.
“Aku…,” ujar Victor. Tapi suaranya menggantung.
Sania menoleh. “Kau mau bilang sesuatu?”
Victor menarik napas. Tapi dia justru tertawa kecil. “Lucu ya. Aku ini jago soal strategi, sabotase, perang jaringan. Tapi kalau harus ngomong soal perasaan… gagal total.”
Sania tertawa Tapi tawanya mengandung sesuatu yang lebih berat.
“Victor,” katanya pelan.
“Hm?”
“Aku tahu, dari awal… kita beda.”
Victor menoleh cepat.
“Bukan cuma soal profesi… atau masa lalu… tapi soal siapa kita di dalam. Kau percaya Tuhan. Aku tidak. Kau punya iman, aku punya luka. Kau... menahan perasaanmu. Dan aku… kabur dari perasaanku.”
Victor menunduk.
“Tapi…,” lanjut Sania.
Dia berdiri perlahan, lalu berdiri di hadapan Victor. Mata mereka bertemu. Tidak ada api, tidak ada dentuman. Hanya dua manusia yang akhirnya berhenti berlari dari dirinya sendiri.
“Aku ingin berhenti kabur,” kata Sania pelan. “Karena ketika aku jatuh… kau tetap di sana Ketika aku membelot, kau tetap mencariku. Dan ketika aku kehilangan arah… kau tidak meninggalkanku.”
Victor masih diam.
“Jadi... walau aku belum tahu tentang surga atau doa, aku tahu satu hal.” Sania mengulurkan tangannya.
“Hatiku… selalu ingin pulang. Dan tempat pulangnya… adalah kamu.”
Victor perlahan berdiri. Ia memegang tangan Sania. Tak ada pelukan. Tak ada ledakan romantis. Tapi Sania bisa merasakan getaran di tangan Victor.
“Sania…”
“Ya?”
Victor memandangnya dalam-dalam. “Aku juga mencintaimu. Dari lama. Tapi aku takut. Karena aku pikir… cinta kita nggak akan pernah punya tempat.”
Sania tersenyum. Tapi kali ini, itu bukan karena sarkasme, atau basa-basi. Tapi senyum yang... pulang.
“Kalau nggak ada tempat,” bisiknya, “kita buat sendiri tempatnya.”
Hari itu, langit tetap biru. Bunga-bunga tetap tumbuh. Dunia tetap berputar. Tapi bagi dua orang yang akhirnya saling terbuka…Hari itu adalah hari di mana mereka tidak sendiri lagi Sinar senja menyapu puing-puing langit kota Vichy. Jalanan masih sepi, sisa-sisa kehancuran terasa di udara, tapi suara burung-burung mekanik dan motor terbang yang lalu lalang perlahan menghidupkan kembali dunia yang sempat sekarat.
Di sebuah kedai kecil di pojok Distrik Endro, Victor duduk diam di kursi luar, memegang secangkir kopi Hitam klasik. Sania berdiri di depan jendela, memainkan kaca mata hitamnya sambil menatap langit jingga sambil meminum teh.
"Kau tahu," ujar Victor pelan, "kopi di sini masih terasa sama... bahkan setelah semua... meledak."
Sania melirik sambil menyeringai. "Oh? Aku pikir setelah jadi pahlawan dunia, kau bakal minum kopi dari emas."
"Kopi dari emas bikin maag."
Sania duduk di hadapannya, membanting botol jus rumput laut favoritnya ke meja.
"Masih minum itu?" tanya Victor geli.
"Masih," jawab Sania, meneguk dengan angkuh. "Cuma ini yang bisa bikin aku tenang sejak kita... hampir mati bareng."
Diam. Angin sore meniup rambut merah Victor yang mulai panjang.
"Victor..." Sania menatapnya, kali ini dengan nada serius. "Kenapa kau nggak pernah bilang soal... keyakinanmu?"
Victor mengangkat alis, lalu menghela napas.
"Aku kira... kau bakal pergi kalau tahu. Aku Muslim. Sedangkan kau... jelas tidak."
Sania terdiam sejenak. Lalu tersenyum kecil.
"Aku tahu dari dulu. Dari cara kau diam setiap aku ledek soal takdir, dari caramu doakan nyawa musuh yang kau kalahkan... Victor, aku bukan anak kemarin sore."
Victor terlihat agak kaget, namun tak menjawab. Hanya menunduk, memutar cangkir di tangannya.
Sania menyandarkan punggung, lalu menatap langit.
"Aku cuma nggak mau membencimu... karena hal yang tak kau pilih. Sama seperti aku nggak pengen dibenci... karena masa lalu keluargaku."
Diam kembali menguasai meja itu. Tapi bukan diam yang tegang. Diam yang penuh pengertian, Malam tiba, mereka berjalan menyusuri trotoar digital di bawah lampu neon bergaya retro. Tawa anak-anak di taman, suara musik dari mobil klasik elektrik, dan bau asap sate artifisial mengisi udara.
Sania melirik Victor.
"Hei... kalau dunia nggak gila... mungkin kita cuma jadi dua orang biasa yang berdebat soal anime dan roti bakar."
Victor tertawa. "Roti bakar sih jelas lebih penting."
Sania meninju pundaknya ringan.
"Victor."
"Hm?"
"Aku... senang kita masih hidup."
Victor menoleh, menatapnya lama. "Aku juga."
Mereka berhenti di tengah jembatan kota, lampu-lampu kendaraan terpantul di sungai di bawah. Saat itu, angin berembus pelan. Sania hampir berkata sesuatu, tapi hanya menghela napas dan menyandarkan kepalanya ke bahu Victor, Untuk pertama kalinya dalam waktu lama, keduanya hanya diam. Tanpa perang. Tanpa senjata. Tanpa topeng agen.
Bersambung....
.hai salam kenal/Good/
bab nya panjang sekali