Mengisahkan mengenai Debby Arina Suteja yang jatuh cinta pada pria yang sudah beristri, Hendro Ryu Handoyo karena Hendro tak pernah jujur pada Debby mengenai statusnya yang sudah punya istri dan anak. Debby terpukul sekali dengan kenyataan bahwa Hendro sudah menikah dan saat itulah ia bertemu dengan Agus Setiaji seorang brondong tampan yang menawan hati. Kepada siapakah hati Debby akan berlabuh?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Serena Muna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Salam Terakhir
Fathia menyunggingkan senyum kemenangan saat mengetahui Naura dipecat dari pekerjaannya. Hatinya dipenuhi kegembiraan melihat penderitaan sepupunya itu. Tak puas hanya sampai di situ, Fathia memutuskan untuk mendatangi Naura di rumah sakit, tempat Naura masih dalam masa pemulihan setelah insiden kebakaran.
Dengan langkah ringan dan wajah penuh kepuasan, Fathia masuk ke ruangan Naura. Ia melihat Naura terbaring lemah di ranjang, di sampingnya ada Haryati yang sedang menyuapi Marcella.
"Wah, wah, Naura. Cepat sekali kamu dipecat? Padahal baru saja bekerja," sindir Fathia dengan nada mengejek, matanya memancarkan kepuasan.
Naura terkejut melihat kehadiran Fathia. Hatinya kembali terasa perih mendengar ejekan sepupunya itu. "Untuk apa kamu di sini, Fathia?" tanyanya dengan suara lemah.
"Tentu saja untuk melihat kondisimu. Dan juga untuk mengucapkan selamat atas... keberhasilanmu menjadi pengangguran lagi," jawab Fathia, tertawa pelan. "Memang pantas kamu dan keluargamu menderita. Kamu itu biang masalah."
Haryati yang mendengar ejekan Fathia sudah tidak bisa menahan amarahnya lagi. Ia berdiri, menatap Fathia dengan geram. "Fathia! Jaga ucapanmu! Apa kamu tidak punya hati? Anakku sedang sakit, dan kamu malah mengejeknya?!"
Fathia hanya mengangkat bahu acuh tak acuh. "Memangnya kenapa? Ini kan memang kenyataan. Dia pantas mendapatkannya."
"Kamu itu iblis! Kamu yang menyebarkan fitnah! Kamu yang membakar toko itu kan?!" teriak Haryati, suaranya meninggi. Ia tidak peduli lagi dengan keadaan di rumah sakit. Kemarahannya sudah di ubun-ubun.
"Diam kamu, nenek tua! Aku tidak melakukan apa-apa! Dia sendiri yang ceroboh!" balas Fathia tak kalah sengit, membuat suasana di ruangan itu menjadi sangat ribut. Marcella yang berada di gendongan Haryati mulai menangis ketakutan mendengar pertengkaran itu.
Suster yang berjaga di lantai itu segera datang setelah mendengar keributan. Dengan nada tegas, suster itu memandang Haryati dan Fathia secara bergantian.
"Maaf, Ibu-ibu. Mohon jangan ribut di sini. Ini rumah sakit. Pasien lain butuh ketenangan," ujar suster itu, sorot matanya menunjukkan ketidaksenangan.
Haryati yang masih gemetar karena amarah berusaha menahan diri. Sementara Fathia hanya menyeringai puas melihat Naura dan Haryati terpojok. Ia kemudian melenggang pergi dari ruangan itu dengan senyum kemenangan.
Naura hanya bisa menatap Fathia dengan tatapan terluka dan kecewa. Ia tidak menyangka sepupunya itu begitu tega. Di tengah kondisi fisiknya yang belum sepenuhnya pulih, ia harus menghadapi ejekan dan fitnah keji dari orang terdekatnya. Haryati kembali duduk di samping Naura, mengusap punggung putrinya, mencoba menenangkan. Ia berjanji dalam hati, ia tidak akan tinggal diam melihat putrinya terus disakiti.
****
Malam itu, di kamar rumah sakit yang sunyi, Reksa menggenggam erat tangan Nirmala. Alat-alat medis terus berbunyi, namun nadanya semakin melambat, menandakan perjuangan Nirmala yang kian memudar. Reksa terus membisikkan kata-kata cinta dan perpisahan, air mata membasahi pipinya yang keriput. Ia berharap Hendro, putra semata wayangnya, akan datang di detik-detik terakhir ibunya. Namun, yang dinanti tak kunjung tiba.
Nirmala membuka matanya sedikit, menatap Reksa dengan tatapan penuh kasih dan juga kesedihan. Ia mencoba tersenyum lemah, seolah menyampaikan maaf dan salam perpisahan. Perlahan, napasnya semakin melemah, hingga akhirnya Nirmala mengembuskan napas terakhirnya, meninggalkan Reksa dalam duka yang mendalam. Wajahnya yang damai menyiratkan kelegaan dari penderitaan yang selama ini ia tanggung.
Reksa terisak, memeluk tubuh istrinya yang sudah tak bernyawa. "Nirmala... kenapa kamu pergi secepat ini?" bisiknya di tengah tangis. Hatinya hancur berkeping-keping. Wanita yang selama ini menjadi separuh jiwanya, belahan hatinya, kini telah tiada. Ia merasa kosong dan sendirian.
Kabar duka itu segera disampaikan kepada Hendro. Namun, putra mereka yang sedang diselimuti obsesi pada Debby, sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda kesedihan. Ia sibuk di apartemennya, menyusun rencana untuk mendapatkan Debby kembali. Ponselnya berdering, menampilkan nama ayahnya, namun ia memilih untuk tidak mengangkatnya. Ia sudah tahu ayahnya pasti akan memberitahukan tentang ibunya.
"Paling juga drama lagi," gumam Hendro acuh tak acuh, meletakkan ponselnya. Baginya, kematian ibunya hanyalah sebuah gangguan kecil dari rencana besarnya untuk Debby.
Reksa yang masih di rumah sakit, menunggu kedatangan Hendro. Ia berharap putranya itu akan datang dan memberikan penghormatan terakhir pada ibunya. Namun, Hendro tidak datang. Rasa sakit hati Reksa semakin bertambah melihat ketidakpedulian putranya.
"Dia bahkan tidak peduli pada ibunya sendiri," bisik Reksa pada dirinya sendiri, rasa kecewa yang mendalam menyelimuti hatinya. Ia tidak bisa lagi mengenali Hendro yang dulu ia besarkan dengan penuh kasih sayang. Obsesi Hendro pada Debby telah membutakannya dari segala aspek kemanusiaan dan ikatan keluarga.
Di sisi lain kota, Hendro dengan santai membolak-balik majalah, merencanakan cara agar Debby bisa kembali padanya. Ia sama sekali tidak memikirkan penderitaan ayahnya atau kepergian ibunya. Baginya, Debby adalah satu-satunya tujuan hidupnya saat ini. Ia bahkan sempat tersenyum saat membayangkan Debby akan kembali ke pelukannya. Ia tidak menyadari bahwa kepergian ibunya yang tragis itu adalah akibat langsung dari tindakan dan sikapnya yang kejam, sebuah penderitaan yang harus Nirmala tanggung hingga akhir hayatnya.
****
Debby melirik Agus yang duduk di sampingnya di dalam mobil. Jantungnya berdebar, bukan karena takut, melainkan karena sedikit ragu. Hari ini, ia akan memperkenalkan Agus kepada kedua orang tuanya, sebuah langkah besar dalam hubungan mereka. Usia mereka yang terpaut cukup jauh menjadi satu-satunya ganjalan di benak Debby. Ia khawatir orang tuanya akan berprasangka.
"Agus, kamu tidak apa-apa kan?" tanya Debby, memecah keheningan. "Kalau kamu merasa tidak nyaman, kita bisa tunda lain kali."
Agus tersenyum menenangkan. "Tidak apa-apa, Mbak Debby. Aku baik-baik saja. Aku siap bertemu orang tuamu." Ketulusan di matanya meredakan sedikit keraguan Debby. Agus memang tak pernah merasa terpaksa menjalani hubungan ini, apalagi soal pertemuan dengan orang tua Debby.
Debby menghela napas lega. Ia tahu Agus tidak akan melakukan sesuatu yang tidak ia inginkan. Alasan mengapa Debby begitu ingin segera memperkenalkan Agus pada keluarganya adalah karena tekanan yang ia rasakan. Dalam setiap pertemuan keluarga besar, pertanyaan "Kapan menikah?" selalu menghantui, diikuti bisikan "perawan tua" yang membuatnya risih.
"Aku hanya... sedikit khawatir dengan reaksi orang tuaku. Kamu tahu kan, keluargaku agak konservatif soal usia," ucap Debby jujur.
Agus menggenggam tangan Debby. "Tenang saja, Mbak Debby. Aku akan berusaha memberikan kesan terbaik. Lagipula, yang penting kan perasaan kita berdua."
Debby tersenyum, merasa sedikit lebih tenang. Ia tahu Agus adalah pria yang baik dan pengertian. Mungkin memang inilah saatnya untuk berani menghadapi segala prasangka.
Setibanya di rumah orang tua Debby, suasana hangat langsung menyambut mereka. Ayah dan Ibu Debby menyambut dengan ramah, meskipun Debby bisa melihat sedikit raut terkejut di wajah mereka saat melihat Agus.
Setelah berbincang sebentar, pertanyaan yang Debby takutkan akhirnya muncul. "Jadi, ini pacarmu, Debby? Kelihatannya masih muda sekali," ujar Ibu Debby dengan senyum tipis, namun ada nada penasaran yang tak bisa disembunyikan.
Debby mengangguk. "Iya, Bu. Namanya Agus."
Ayah Debby menatap Agus dengan tatapan menyelidik. "Kerja di mana, Nak Agus?"
Agus menjawab dengan sopan, menjelaskan pekerjaannya sebagai barista. Debby bisa merasakan ketegangan di udara, namun ia memilih untuk memegang erat tangan Agus di bawah meja, seolah memberikan dukungan.