Rangga, seorang pria biasa yang berjuang dengan kemiskinan dan pekerjaan serabutan, menemukan secercah harapan di dunia virtual Zero Point Survival. Di balik kemampuannya sebagai sniper yang tak terduga, ia bercita-cita meraih hadiah fantastis dari turnamen online, sebuah kesempatan untuk mengubah nasibnya. Namun, yang paling tak terduga adalah kedekatannya dengan Teteh Bandung. Aisha, seorang selebgram dan live streamer cantik dari Bandung, yang perlahan mulai melihat lebih dari sekadar skill bermain game.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yudhi Angga, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 6: Panggilan Turnamen
Beberapa hari setelah kemenangan pertamanya, rutinitas Rangga berubah drastis. Setelah menyelesaikan pekerjaannya di kafe, ia akan langsung pulang ke kosan, melahap makan malam seadanya, dan segera masuk ke dalam Synapse VR. Dunia nyata yang melelahkan terasa pudar, tergantikan oleh ketegangan dan adrenalin Zero Point Survival. Ia terus mengasah perannya sebagai Support, belajar setiap sudut map, dan memahami pergerakan tim. Ia tidak lagi canggung; ia mulai merasa seperti bagian dari mesin yang terlatih.
Suatu malam, setelah menyelesaikan satu match yang cukup panjang dan intens, Ren sedang berada di lobi digital, mengamati daftar teman online-nya. Tiba-tiba, sebuah notifikasi obrolan muncul di sudut pandangannya. Itu dari Aisha.
"Hei, Ren! Bagaimana kabarmu? Mau main lagi malam ini?" tulisnya.
Ren tersenyum tipis. Jantungnya berdegup sedikit lebih cepat. Sebuah undangan langsung dari Aisha. "Tentu, Teteh Aisha! Aku siap," balasnya cepat.
"Bagus. Aku punya ide. Bagaimana kalau kita coba sesuatu yang berbeda?" pesan Aisha selanjutnya. "Kamu sudah lumayan di Support. Tapi game ini kompleks. Aku ingin kamu mencoba peran lain, Ren. Pernah terpikir untuk jadi Sniper?"
Ren membaca pesan itu, alisnya sedikit terangkat. Sniper? Peran yang membutuhkan akurasi tinggi dan kesabaran ekstrem, jauh berbeda dari Support yang bergerak cepat di garis belakang. Ia teringat Dio yang dengan mudahnya menjatuhkan musuh dari jarak jauh. Itu terlihat sangat sulit.
"Uhm... aku... tidak yakin, Teteh Aisha," balas Ren jujur. "Aku tidak begitu jago menembak dari jauh."
"Itu sebabnya kamu harus coba, Ren. Di Zero Point Survival, pemain yang serbaguna jauh lebih berharga," balas Aisha. "Jangan khawatir, aku akan membimbingmu. Aku punya beberapa taktik khusus untuk sniper. Bagaimana? Tertarik?"
Rangga berpikir sejenak. Ia tahu ini kesempatan. Aisha, seorang pemain berpengalaman, bahkan streamer populer, bersedia melatihnya secara pribadi. Ini adalah sesuatu yang tidak akan ia dapatkan di dunia nyatanya.
"Baik, Teteh Aisha! Aku akan coba," jawab Ren, sedikit gugup namun juga bersemangat.
Mereka segera masuk ke match berikutnya. Aisha sengaja memilih map dengan area terbuka luas dan banyak titik high ground yang cocok untuk sniper. Kali ini, tim mereka berbeda. Hanya Aisha dan Ren yang bermain berdua untuk latihan.
"Oke, Ren. Senapan sniper pertama yang kamu temukan, itu milikmu," kata Aisha. "Fokus pada bidikan, kendalikan napasmu. Di Synapse VR, setiap sentakan napasmu saat menahan tembakan akan memengaruhi akurasi bidikanmu. Jangan terburu-buru. Kesabaran itu kunci."
Ren menemukan senapan sniper pertamanya. Beratnya terasa jauh lebih signifikan daripada pistol atau senapan serbu biasa. Ia mengangkatnya, mengarahkan ke depan. Visirnya menampilkan pemandangan yang diperbesar, begitu jelas hingga ia bisa melihat detail dedaunan di kejauhan. Ia mencoba menahan napas, persis seperti yang Aisha katakan. Otot-ototnya menegang.
Suara daun kering terinjak di bawah kakinya terdengar setiap kali ia melangkah. Mereka bergerak perlahan, Aisha memimpin jalan dan Ren menjaga jarak di belakang, mencari posisi menembak.
"Di sana, Ren! Di puncak bukit itu, ada satu pemain sendirian," Aisha memberi instruksi.
Ren segera mengangkat senapan sniper-nya. Ia mencoba membidik, tapi tangannya gemetar. Lingkaran bidikan di visirnya bergerak-gerak tak karuan. Ia menarik napas dalam-dalam, menahannya. Perlahan, lingkaran itu sedikit lebih stabil. Ia menarik pelatuk.
DORRR! Suara tembakan sniper itu menggelegar, jauh lebih keras dan menggetarkan daripada tembakan pistol. Hentakan balik (recoil) senapan terasa kuat di bahunya, mendorongnya mundur sejenak. Kabel-kabel di kostumnya menegang, mensimulasikan dampak itu dengan presisi.
"Meleset!" Aisha menghela napas. "Tidak apa-apa. Coba lagi. Fokus."
Ren mencoba lagi, dan lagi. Ia gagal beberapa kali, pelurunya selalu meleset tipis. Namun, anehnya, ia tidak merasa frustrasi seperti saat ia bekerja di kafe. Ada semacam fokus baru yang muncul. Ia menarik napas, membuangnya perlahan, dan menahan napas lagi. Sensasi recoil yang menekan bahunya, berat senapan di tangannya, pandangan yang diperbesar melalui visir—semua itu terasa begitu alami.
"Oke, Ren, ada dua musuh di balik pohon tumbang itu. Cobalah tembak yang di kanan," Aisha kembali memberi instruksi.
Ren mengarahkan senapannya. Jari-jemarinya terasa lebih tenang kini. Ia menahan napas, pandangannya terkunci pada target. Ia melihat musuh itu bergerak sedikit. Tanpa berpikir, instingnya mengambil alih. Ia menembak.
DORRR!
Seketika, sebuah teks besar berwarna merah darah muncul melayang di langit virtual, begitu nyata hingga rasanya bisa disentuh. "PLAYER DOWN! REN HAS ELIMINATED 'DARKKNIGHT45'!"
Di sudut kanan atas pandangannya, angka "PLAYERS REMAINING: 423" berkedip.
"Satu tumbang!" teriak Aisha, suaranya terkejut. "Ren! Itu... itu headshot! Tepat sasaran!"
Jantung Ren berdegup kencang, tapi bukan karena takut, melainkan karena keterkejutan dan euforia. Ia berhasil. Tembakan pertamanya mengenai sasaran, dan itu headshot!
"Wow! Itu... itu bagus sekali, Ren!" Aisha berkata, kini dengan nada kagum. "Coba lagi! Ada satu lagi di sana!"
Ren membidik lagi. Kali ini, ia lebih percaya diri. Ia mengikuti nalurinya. Berat senapan, posisi tubuhnya, kontrol napas—semuanya terasa seimbang. Ia menembak.
DORRR!
Lagi, teks besar berwarna merah itu muncul di langit. "PLAYER DOWN! REN HAS ELIMINATED 'SHADOWHUNTER77'!"
Dan angka di sudut pandangannya kembali berkedip: "PLAYERS REMAINING: 422".
"DUA TUMBANG! LAGI HEADSHOT! REN, LO GILA?!" Aisha berteriak, suaranya dipenuhi keterkejutan dan kekaguman yang jelas. "Aku tidak pernah melihat newbie secepat ini menguasai sniper! Kamu... kamu punya bakat, Ren!"
Rasa bangga yang luar biasa meluap dalam diri Rangga. Bakat? Selama ini, ia selalu merasa tidak punya bakat apa pun. Tapi di sini, di dunia virtual ini, ia menemukan sesuatu yang ia kuasai. Ia merasakan sensasi kuat daya tarik sniper, sesuatu yang jauh lebih memuaskan daripada sekadar menjadi support.
Aisha menatapnya dengan pandangan baru. "Oke, Ren, ini mengubah segalanya," kata Aisha setelah mereka menyelesaikan match latihan itu dengan hasil yang mencengangkan dari tembakan sniper Ren. "Aku ingin berbicara serius denganmu."
Ren menatapnya, penasaran, jantungnya masih berdebar.
"Timku saat ini sedang mencari anggota baru. Aku dan dua teman lamaku, Guntur dan Bara, berencana mengikuti Turnamen Online Zero Point Survival bulan depan," Aisha menjelaskan, suaranya kini terdengar lebih formal dan profesional. "Hadiahnya lumayan besar, Ren. Dan yang terpenting, ini kesempatan untuk menguji kemampuan kita melawan pemain-pemain terbaik."
Rangga, di balik helm, menahan napas. Turnamen? Sebuah kompetisi sungguhan? Selama ini, game hanyalah pelarian, cara untuk mengisi kekosongan. Tapi turnamen… itu adalah level yang berbeda. Ia teringat semua video streamer game yang ia tonton, semua turnamen besar yang ia impikan.
"Turnamen?" Ren mengulang, suaranya sedikit ragu. "Tapi... aku kan Support... dan Dio sudah jadi Sniper..."
"Dengar, Ren," Aisha menyela, senyumnya kini serius. "Dio memang Sniper hebat, tapi kemampuannya lebih ke pertempuran jarak menengah-jauh. Dia scout sniper. Kamu, Ren, kamu punya akurasi bidikan jarak jauh yang luar biasa. Aku melihatnya tadi. Itu pure talent. Kita bisa punya dua sniper di tim, atau bahkan kamu bisa jadi main sniper kita. Kita bisa sesuaikan strateginya. Kamu akan tetap punya peran support dengan healing diri sendiri, tapi tugas utamamu adalah eliminasi target penting dari jarak jauh. Ini akan memberi tim kita keunggulan tak terduga."
Jantung Rangga berdegup sangat kencang. Ini adalah tawaran yang tak terduga, sebuah pintu ke dunia yang tak pernah ia bayangkan. Ia, si Rangga yang hidupnya hanya berputar di antara kosan dan kafe, diajak ikut turnamen game profesional, bahkan diplot sebagai sniper utama?
"Aku... aku mau, Teteh Aisha!" jawab Ren tanpa ragu. Rasanya seperti ada sesuatu yang meletup di dadanya.
"Bagus! Keputusan yang tepat," Aisha tersenyum. "Kita akan berlatih intensif mulai sekarang. Fokus utamamu sebagai Sniper, tapi aku akan tetap memastikan kamu mahir dalam support diri sendiri dan memahami pergerakan tim. Aku akan mengirimkan jadwal latihan dan kita akan sering bermain bersama."
Sejak malam itu, hidup Rangga benar-benar berubah. Selain bekerja, seluruh waktunya ia curahkan untuk berlatih di Zero Point Survival. Aisha adalah mentor yang sangat baik. Ia tidak hanya mengajari Rangga tentang strategi game, tapi juga mentalitas seorang pemain profesional: kesabaran, kerja sama tim, analisis musuh, dan mengatasi tekanan. Ren dan Aisha sering berlatih berdua, melakukan simulasi pertempuran, atau mencoba taktik baru. Aisha akan selalu memberikan umpan balik yang konstruktif, membantu Ren memahami kesalahannya dan bagaimana memperbaikinya.
Rangga, si pelayan kafe yang dulu pemalu, kini menemukan dirinya dengan percaya diri berkomunikasi dengan timnya, berteriak instruksi, dan merespons situasi di dalam game dengan kecepatan kilat. Di dunia virtual, ia adalah Ren, seorang sniper berpotensi, calon peserta turnamen. Garis tipis antara dunia nyata dan virtual semakin kabur. Dan Rangga menyukainya.