bagaimana jika seorang CEO menikah kontrak dengan agen pembunuh bayaran
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bertemu bianka
Andika, Amira, Renata, dan lima bodyguard tiba di Bandara Changi, Singapura. Semua tampak berkelas dengan setelan formal hitam—kecuali satu orang: Amira. Meski mengenakan dress putih elegan, heels mahal, dan tas branded, sikapnya tetap… norak.
"Bu, bu, liat deh! Ini bandara gede banget ya! Ih, eskalatornya licin, saya hampir nyusruk," celetuk Amira sambil cekikikan, membuat Renata menutup wajahnya malu.
"Amira, jaga sikap," desis Andika, wajahnya mengeras.
"Aku udah berusaha, Mas. Tapi jiwaku... rakyat jelata," jawab Amira, nyengir tanpa dosa.
“Sudah biarkan saja dika, mungkin masa keil dia kurang bahagia” ucap renata
Bodyguard mereka pura-pura tidak melihat, seolah sudah kebal terhadap kelakuan si 'nyonya kontrak' ini.
Begitu keluar dari bandara, Amira langsung menunjuk ke arah patung Merlion, ikon Singapura.
"Bu, Mas! Aku mau ke situ! Itu pantung singa masuk angin muntah terus dia tuh keluar air, kalau singa muntahnya air bu!" serunya heboh.
"Itu patung kebanggan orang singapura mira,masa patung kebangaan masuk angin" Ucap Renta geleng-geleng kepala
"Dari dulu aku mau dekat dengan dia, aku mau kerokin dia kasihan dia muntah terus, ga ada yang negrokin, sekalian aku mau foto aku mau unjukin sama anakanak ojol kalau aku bisa ke singapura!" jawab Amira polos, membuat salah satu bodyguard nyaris tersedak tawa.
“Ga ada acara ngerokin patung tangkep polisi susah lu, disini bukan indonesia gau bisa keluar masukin lu penjara, foto aja, 5 menit ga boleh lebih” Ucap andika
Dengan langkah heboh, Amira berlari kecil menuju Merlion, sementara rombongan lain mengikutinya dengan malu-malu.
Setelah puas foto-foto norak di depan patung singa, mereka menuju apartemen mewah tempat Viona sudah menunggu. Renata, penuh rasa waspada, segera menemui mertuanya.
Di sebuah gedung mewah berlapis kaca di jantung kota Singapura, VV Grup menjulang megah, memancarkan aura eksklusif. Lantai marmer mengilap memantulkan cahaya lampu kristal yang bergantung di langit-langit tinggi. Aroma bunga lili segar menguar samar dari sudut ruangan. Di tengah ruang pertemuan yang luas dan minimalis itu, Viona duduk di balik meja kayu mahoni besar, dikelilingi panel dinding berlapis emas lembut. Kursinya tinggi, berlapis beludru biru tua. Viona, dengan rambut peraknya yang disanggul rapi, tampak anggun dalam balutan setelan krem. Tatapannya tajam menyapu Renata sebelum bibir tuanya melengkung membentuk senyum tipis penuh wibawa.
"Kamu terlihat cantik sekali, Mira," ucap Viona.
"Jangan memuji aku terus, Oma. Nanti aku terbang dan tidak bisa turun lagi. Oma juga masih terlihat cantik banget. Semoga Oma selalu sehat dan panjang umur," sahut Amira riang.
Andika, Amira, dan Renata duduk menghadap Viona dengan ekspresi tegang.
"Aku akan berikan dulu setengah perusahaanku kepadamu. Sisanya akan aku serahkan setelah kamu memiliki anak. Kepemilikan perusahaan nantinya atas nama anakmu, Andika," ucap Viona tenang.
"Kenapa bisa begitu, Bu?" tanya Renata, berusaha terdengar santai.
"Jangan kira aku tidak tahu. Aku tahu semuanya," jawab Viona tegas.
Deg! Hati Renata berdegup kencang. Ia takut Viona mengetahui bahwa Amira sebenarnya hanya menantu kontrak. Wajah Andika pun tampak sedikit cemas, sedangkan Amira malah lebih sibuk mengagumi interior kantor yang menurutnya luar biasa.
"Aku tahu Andika dulu bertunangan dengan Bianka. Tiba-tiba saja pasangannya berganti menjadi Amira. Kalian pasti belum lama saling mengenal. Karena itu, aku ragu kalian serius berumah tangga," lanjut Viona.
"Agar kalian lebih serius, aku tambahkan satu syarat lagi."
Ada sedikit kelegaan dalam hati Renata. Ternyata Viona belum mengetahui bahwa Amira hanyalah menantu kontrak.
Yang panik tentu saja Andika. Menikahi Amira secara kontrak saja sudah membuatnya migrain setiap hari, apalagi kalau harus punya anak. Ia mulai bergidik ngeri. Dalam pikirannya berkecamuk dilema: di satu sisi ia masih mencintai Bianka, di sisi lain ia harus melindungi ibunya dengan memenuhi syarat warisan dari Viona.
"Bagaimana, Andika? Apakah kamu setuju?" tanya Viona.
"Kami akan segera memproduksinya, Oma," jawab Amira cepat.
Andika menatap Amira tajam, nyaris mendelik.
"Syukurlah kalau kalian setuju. Sepertinya kamu lebih agresif, Amira," ucap Viona sambil terkekeh kecil.
Suasana mendadak hening. Masing-masing tenggelam dalam pikirannya.
Viona mengerutkan dahi. "Aku dengar ada serangan?"
"Mereka bilang disuruh oleh Alessandro," jawab Renata hati-hati.
Brakk!Viona menggebrak meja dengan keras.
"Bajingan Alessandro! Mengajakku berperang lagi rupanya. Dia kira aku takut? Baiklah, aku akan lebih berhati-hati," geram Viona, nadanya penuh amarah.
Setelah lebih dari satu jam berbincang serius, membicarakan warisan, keamanan, dan rencana ke depan, akhirnya pertemuan itu diakhiri. Mereka pun bersiap untuk kembali.
"Bu, sebaiknya Ibu bertemu dengan Dr. Alicia. Ibu harus periksa jantung," ucap Andika.
"Ok lah, mumpung ada di sini," jawab Renata.
Mereka pun bergegas menuju Rumah Sakit Mount Elizabeth.
Selama perjalanan, Amira tampak kelelahan. Ia memang tidak kuat berlama-lama di ruangan ber-AC. Jika tidak ada yang mengajaknya mengobrol, Amira pasti akan tertidur, apalagi di dalam mobil yang dingin.
Sesampainya di rumah sakit, Renata tersenyum menyapa dokter muda yang menjemput mereka di lobi.
"Apa kabar, Dr. Alicia?" sapa Renata ramah.
"Baik, Mah. Mamah bagaimana kabarnya?" balas Alicia akrab. Jelas sekali hubungan mereka sudah dekat.
"Loh, Amira! Kamu ada di sini juga?" seru Alicia terkejut melihat Amira.
"Loh, kok Bu Dokter juga ada di sini?" balas Amira polos.
"Aku memang bertugas di sini. Ke Indonesia hanya kalau ada seminar, atau kalau ada pasien sulit seperti Pak Budi," jelas Alicia sambil tersenyum.
"Kalian saling kenal?" tanya Andika heran.
"Oh, Amira ini luar biasa, lo. Dia rela bekerja keras demi membiayai pengobatan ayah ,Hebat sekali," puji Alicia tulus. "Ngomong-ngomong, kenapa Amira bisa bersama kalian?"
"Aku ini istrinya Mas Andika," jawab Amira percaya diri sambil tersenyum lebar.
Sejenak, raut wajah Alicia berubah. Ada kilatan kecewa yang cepat ia sembunyikan.
"Yah, Andika sudah menikah... tertutup sudah peluangku," batin Alicia getir.
"Waw, kejutan sekali, Dika! Bagaimana dengan Bianka?" tanya Alicia, mencoba tetap santai.
"Ah, dia sudah hilang ditelan laut," jawab Renata enteng, membuat suasana sedikit canggung.
Anehnya, Amira merasa nyaman saat berada dekat dengan Alicia. Ada ketulusan dalam sikap dokter muda itu yang membuat Amira tanpa sadar merasa hangat dan diterima.
....
Pulang dari rumah sakit renata mengajak belanja dulu Orchard Road
Amira berjingkrak-jingkrak dengan penuh kegembiraan, gerakannya cepat dan ceria, seakan dunia ini miliknya. Renata menatapnya dengan tatapan yang penuh kekesalan, tak habis pikir dengan sikap Amira yang terkadang berlebihan. "Kadang kamu seperti anak kecil, Mira," gumamnya pelan sambil menggelengkan kepala.
Andika pikirannya masih berkecamuk dengan pilihan yang diberikan oleh viona neneknya. “masa iya gua harus punya anak dari amira” ucapnya dalam hati
Andika, yang berdiri di samping mereka, tiba-tiba merasa tubuhnya menegang. Jantungnya berdebar kencang, seolah ada sesuatu yang mengganggu ketenangannya. Matanya menangkap sosok yang tak asing lagi di kejauhan, dan hatinya terasa seperti disayat.
Seorang wanita cantik berjalan dengan anggun, mengenakan gaun sederhana yang tetap memancarkan kemewahan. Setiap langkahnya menarik perhatian, wajahnya yang cantik memancarkan pesona yang membuat Andika seolah membeku.
"Bianka," gumam Andika dengan suara yang hampir tak terdengar, merasa seakan kembali terperangkap dalam kenangan yang tak bisa ia lupakan.
tapi kenapa yah oma viona selalu menuduh allesandro setiap ada masalah perusahaan? dan bagaimana nasib andika selanjutnya
seru nih amira hajar terus