Di dermaga Pantai Marina, cinta abadi Aira dan Raka menjadi warisan keluarga yang tak ternilai. Namun, ketika Ocean Lux Resorts mengancam mengubah dermaga itu menjadi resort mewah, Laut dan generasi baru, Ombak, Gelombang, Pasang, berjuang mati-matian. Kotak misterius Aira dan Raka mengungkap peta rahasia dan nama “Dian,” sosok dari masa lalu yang bisa menyelamatkan atau menghancurkan. Di tengah badai, tembakan, dan pengkhianatan, mereka berlomba melawan waktu untuk menyelamatkan dermaga cinta leluhur mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ahmad Vicky Nihalani Bisri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CH - 18 : Warna-Warni Persiapan
Langit Semarang pagi itu terlihat cerah, dengan awan putih yang berarak lembut di atas kota. Aira dan Raka sedang sibuk di sebuah taman kecil di daerah Gedong Songo, tempat yang mereka pilih untuk acara pernikahan mereka.
Taman itu dikelilingi oleh pohon-pohon pinus yang tinggi, dengan gazebo sederhana di tengahnya yang didekorasi dengan bunga-bunga melati dan kamboja sesuai keinginan Aira.
Mereka datang pagi ini untuk bertemu dengan penyelenggara acara, seorang wanita ramah bernama Bu Wulan, yang akan membantu mereka mengatur semua detail pernikahan.
Aira mengenakan dress sederhana berwarna krem dengan cardigan tipis, rambutnya dibiarkan tergerai dengan jepit kecil di samping, sementara Raka mengenakan kemeja lengan pendek berwarna abu-abu dan celana chino, matanya berbinar penuh semangat saat melihat taman itu.
Cincin tunangan di jari Aira berkilau lembut di bawah sinar matahari, menjadi pengingat manis dari komitmen mereka.
Suasana di antara mereka terasa penuh harapan, meskipun ada sedikit ketegangan khas persiapan pernikahan.
“Jadi, kalian mau konsep yang sederhana tapi hangat, ya? Saya sarankan kita pakai tenda transparan kecil di sekitar gazebo, biar tamu tetap nyaman kalau tiba-tiba hujan. Untuk dekorasi, kita bisa tambahkan lampu-lampu gantung biar suasananya lebih romantis pas malam,” kata Bu Wulan, menunjukkan beberapa foto referensi di tabletnya.
Aira mengangguk, matanya berbinar.
“Saya suka idenya, Bu. Lampu-lampu gantung pasti bikin suasananya lebih ajaib. Kita juga mau pakai bunga-bunga lokal, melati, kamboja, sama mungkin sedikit mawar putih. Aku… aku pengen semuanya terasa alami,” katanya, nadanya penuh antusias.
Raka tersenyum, menambahkan,
“Iya, Bu. Kita juga mau sediain makanan tradisional, mungkin nasi liwet sama lauk-pauknya, terus ada sate ayam sama tempe mendoan. Kita pengen tamu ngerasa kayak di rumah, enggak terlalu formal.” Bu Wulan mengangguk, mencatat semua keinginan mereka.
“Bagus, konsepnya udah jelas. Saya juga sarankan kalian pilih band akustik kecil buat hiburan, musiknya bisa bikin suasana lebih intimate. Untuk tamu, kalian bilang sekitar 50 orang, ya? Saya rasa taman ini pas banget,” katanya, tersenyum ramah.
Setelah diskusi panjang, Aira dan Raka merasa lega dengan rencana yang mulai terbentuk.
Mereka berjalan-jalan sebentar di sekitar taman, tangan mereka bergandengan erat, membayangkan hari pernikahan mereka yang akan segera tiba.
“Raka… aku ngerasa ini kayak mimpi. Kita beneran bakal nikah di sini,” kata Aira, suaranya lembut tapi penuh kebahagiaan.
Raka tersenyum, memeluk pundak Aira.
“Aku juga, Aira. Aku… aku enggak sabar buat jadi suamimu. Aku pengen kita mulai hidup baru bareng, bikin kenangan baru di setiap langkah kita,” katanya, nadanya penuh kasih.
Mereka duduk di bawah pohon pinus besar, menikmati angin sejuk sambil mengobrol tentang detail kecil lainnya, warna tema yang mereka pilih (biru laut dan putih), gaun yang Aira inginkan (sederhana dengan aksen renda), dan bahkan kue pernikahan yang mereka inginkan (kue tradisional dengan lapisan klepon).
Setiap keputusan yang mereka buat terasa seperti menambahkan warna pada kanvas impian mereka, dan Aira merasa ada kebahagiaan yang meluap di hatinya.
Tapi di tengah persiapan yang penuh warna itu, Aira tiba-tiba merasa ada sedikit kekhawatiran yang muncul.
“Raka… aku tahu ini mungkin kedengeran aneh, tapi… aku takut kalau kita terlalu sibuk sama persiapan ini, kita malah lupa nikmatin momen kita berdua. Aku… aku enggak mau kita kehilangan apa yang kita punya sekarang,” katanya, suaranya pelan.
Raka menatap Aira, matanya penuh pengertian. Dia meraih tangan Aira, mencium punggung tangannya dengan lembut.
“Aira, aku janji kita enggak bakal kehilangan apa yang kita punya. Persiapan ini emang sibuk, tapi aku mau kita nikmatin setiap langkahnya bareng. Kita bisa luangin waktu buat berdua, kayak sekarang, kita piknik bareng, ceritain apa yang ada di pikiran kita. Aku… aku enggak mau kamu ngerasa tertekan sama semua ini,” katanya, nadanya penuh kelembutan.
Aira tersenyum, merasa lega dengan kata-kata Raka.
“Makasih, Raka. Aku… aku cuma butuh denger kamu bilang gitu. Aku pengen kita nikmatin semua proses ini bareng, tanpa buru-buru,” katanya, lalu bersandar di bahu Raka, menikmati kehangatan pria itu.
Setelah dari taman, mereka memutuskan untuk pergi ke penjahit langganan Aira untuk memesan gaun pernikahan.
Penjahit itu, seorang wanita paruh baya bernama Bu Sari, menyambut mereka dengan senyum lebar.
“Aira, Raka, selamat ya atas pertunangannya! Aku seneng banget bisa bantu bikin gaun buat hari spesial kalian,” katanya, matanya berbinar.
Aira tersenyum, sedikit malu.
“Makasih, Bu Sari. Aku… aku pengen gaun yang sederhana aja, Bu. Mungkin model A-line, dengan aksen renda di bagian lengan sama pinggang. Warnanya putih gading, biar terasa hangat,” katanya, nadanya penuh harapan.
Bu Sari mengangguk, mencatat detail yang Aira inginkan.
“Bagus, Aira. Aku yakin kamu bakal cantik banget pake gaun ini. Aku juga bisa tambahin detail kecil kayak bordir bunga melati di bagian bawah gaun, biar sesuai sama tema pernikahan kalian. Raka, kamu mau pake apa? Aku bisa bantu bikin kemeja yang matching sama gaun Aira,” tanya Bu Sari, melirik Raka dengan senyum.
Raka tersenyum, mengangguk.
“Aku mau pake kemeja putih gading juga, Bu, tapi mungkin dengan vest biru laut biar matching sama tema kita. Aku… aku pengen keliatan cocok sama Aira,” katanya, nadanya sedikit malu.
Bu Sari tertawa kecil, mencatat semua pesanan mereka.
“Pasti cocok, Raka. Kalian berdua emang serasi banget. Aku bakal usahain selesai dalam sebulan, ya. Nanti kalian dateng lagi buat fitting,” katanya, tersenyum ramah.
Setelah dari penjahit, Aira dan Raka memutuskan untuk makan siang di sebuah warung kecil di pinggir kota, tempat yang menyajikan soto ayam dengan kuah bening yang harum.
Mereka duduk di meja kayu sederhana, menikmati makanan sambil mengobrol tentang rencana mereka setelah menikah.
Aira ingin mulai menulis novel baru, kali ini tentang kisah cinta yang terinspirasi dari perjalanan mereka, sementara Raka berencana membuka studio desain kecil di Semarang, tempat dia bisa bekerja sambil tetap dekat dengan Aira.
“Raka, aku pikir… setelah kita nikah, aku mau coba nulis novel yang beda dari biasanya. Aku pengen ceritain kisah kita—tentang hujan, dermaga, sama semua perjuangan yang kita lewatin bareng. Aku… aku pengen orang tahu bahwa cinta itu bisa sekuat ini,” kata Aira, matanya berbinar penuh semangat.
Raka tersenyum, tangannya memegang tangan Aira.
“Itu ide yang bagus banget, Aira. Aku yakin novel itu bakal nyentuh hati banyak orang, sama seperti kamu nyentuh hati aku. Aku… aku juga mau bantu bikin cover-nya, ya. Aku pengen kita bikin proyek bareng lagi,” katanya, nadanya penuh antusias.
Aira mengangguk, tersenyum lebar.
“Mau banget, Raka. Aku… aku suka banget kerja bareng kamu. Aku ngerasa kita saling melengkapi, aku nulis ceritanya, kamu bikin visualnya. Kita… kita bener-bener tim yang sempurna,” katanya, suaranya penuh kebahagiaan.
Sore itu, mereka pulang ke apartemen Aira, membawa semua rencana dan impian mereka dalam hati.
Aira duduk di depan laptopnya, mulai mencatat ide-ide untuk novel barunya, sementara Raka duduk di sampingnya, membuat sketsa awal untuk desain cover.
Mereka bekerja dalam diam yang nyaman, sesekali saling melirik dan tersenyum, merasa bahwa setiap langkah yang mereka ambil membawa mereka lebih dekat pada impian mereka.
Malam itu, saat hujan kecil mulai turun lagi, Aira dan Raka duduk di balkon apartemen, menikmati suara hujan sambil berpelukan.
Aira memandang langit Semarang yang basah, gelang di pergelangannya terasa hangat di kulitnya.
“Raka… aku ngerasa hidupku penuh warna sekarang. Aku… aku enggak sabar buat jadi istrimu,” katanya, suaranya lembut.
Raka tersenyum, mencium kening Aira dengan penuh kasih.
“Aku juga, Aira. Aku… aku pengen kita isi hidup kita dengan warna-warni yang lebih indah lagi, warna dari cinta kita, dari keluarga kecil kita nanti, dari semua impian yang kita wujudin bareng. Aku sayang kamu,” katanya, nadanya penuh janji.
Di bawah hujan yang lembut, Aira dan Raka saling berpelukan, merasa bahwa semua persiapan, semua warna-warni yang mereka pilih, adalah langkah menuju kebahagiaan yang lebih besar, kebahagiaan yang akan mereka lukis bersama, dengan cinta sebagai kuasnya.
padahal niatnya ya itu author bikin cerita yang bisa nyentuh, memaknai setiap paragraf, enggak sekedar cerita dan bikin plot... kamu tahu, aku bikin jalan cerita 3 hari itu menghabiskan 15 bab 🤣🤣
mampir bentar dulu yaa... lanjut nanti sekalian nunggu up 👍
jgn lupa mampir juga di 'aku akan mencintaimu suamiku' 😉