Aira, seorang wanita yang lembut namun kuat, mulai merasakan kelelahan emosional dalam hubungannya dengan Delon. Hubungan yang dulu penuh harapan kini berubah menjadi toxic, penuh pertengkaran dan manipulasi. Merasa terjebak dalam lingkaran yang menyakitkan, Aira akhirnya memutuskan untuk keluar dari lingkungan percintaan yang menghancurkannya. Dalam perjalanannya mencari kebahagiaan, Aira belajar mengenal dirinya sendiri, menyembuhkan luka, dan menemukan bahwa cinta sejati bermula dari mencintai diri sendiri.
Disaat menyembuhkan luka, ia tidak sengaja mengenal Abraham.
Apakah Aira akan mencari kebahagiaannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Grand opening
Malam yang ditunggu akhirnya tiba. Lampu-lampu kecil di sepanjang atap kafe menyala temaram, menciptakan nuansa hangat dan elegan.
Aroma kopi dan bunga segar memenuhi udara. Kafe itu kini berdiri dengan wajah baru, lebih hidup, lebih bersinar, seperti jiwanya yang telah dibangun kembali oleh Aira dari reruntuhan luka.
Abraham berdiri di depan cermin, merapikan jas hitamnya.
Ia terlihat rapi namun tetap santai, seperti biasa. Tapi malam ini, ada sesuatu yang berbeda di matanya, sebuah antisipasi yang tak bisa disembunyikan.
Ia mengambil ponselnya dan keluar, melangkah menuju apartemen Aira untuk menjemputnya.
Sesampainya di sana, pintu terbuka perlahan. Aira berdiri di ambang pintu, mengenakan gaun putih sederhana dengan potongan lembut yang jatuh anggun di tubuhnya.
Rambutnya dibiarkan terurai, dan senyum kecil menghiasi wajahnya. Tidak mencolok, tapi memukau dalam keheningan.
Abraham terdiam beberapa detik, menatap Aira seolah baru melihatnya untuk pertama kali.
“Kamu... cantik malam ini,” ucapnya pelan, tulus, nyaris berbisik.
Aira menunduk sedikit, malu-malu. “Terima kasih... Pak Abraham malam ini juga.”
Mereka saling bertukar senyum, lalu berjalan bersama menuju mobil.
Kafe mulai ramai ketika mereka tiba. Karyawan-karyawan Abraham sudah berkumpul, beberapa mitra bisnis, kenalan lama, bahkan pelanggan setia dari masa lalu ikut hadir.
Suasana penuh kegembiraan, gelas-gelas beradu, dan tawa ringan terdengar di udara.
Namun di antara kerumunan itu, tampak satu sosok berdiri lebih kaku dari yang lain—Delon.
Abraham memang sengaja mengundangnya, bukan sebagai provokasi, tapi sebagai bentuk pengawasan.
Ia ingin Delon tahu, Aira tidak lagi sendirian. Bahwa malam ini bukan tentang masa lalu, tapi tentang langkah baru yang tak bisa dihancurkan.
Delon berdiri di pojok ruangan, menatap Aira dari jauh.
Matanya menyimpan rasa tidak suka, namun juga tak bisa mengabaikan kenyataan Aira berdiri kuat. Bersinar. Dan tidak goyah meski dirinya hadir di sana.
Aira sadar akan kehadirannya, tapi memilih tidak menoleh.
Ia tetap tersenyum, menyambut tamu-tamu lain dengan sopan.
Malam ini adalah tentang kafe, tentang dirinya, bukan tentang Delon.
Abraham berdiri di samping Aira saat sesi sambutan dimulai.
Ia berbicara singkat namun bermakna, memperkenalkan kafe baru, dan memberikan penghargaan khusus kepada Aira.
“Orang yang berdiri di samping saya ini,” katanya sambil menoleh ke arah Aira, “bukan hanya seorang desainer hebat. Tapi seseorang yang membuktikan bahwa keberanian tidak selalu berbentuk suara keras.
Kadang, keberanian adalah kesabaran. Keteguhan. Dan tetap berdiri meski dunia berusaha menjatuhkan mu.”
Tepuk tangan bergema. Aira tersenyum, matanya berkaca-kaca.
Malam itu, tak ada kata-kata yang perlu diucapkan lagi. Kafe berdiri teguh. Aira tak lagi sembunyi. Dan Delon? Ia hanya bagian dari masa lalu yang mulai kehilangan kekuatannya.
Di tengah riuhnya pembukaan, Delon berdiri membeku.
Matanya tak bisa lepas dari sosok pria yang berdiri di samping Aira saat sambutan tadi.
Rasa tidak percaya menyusup pelan saat ia mendengar seseorang memanggil pria itu dengan nama Abraham.
Matanya melebar. Itu pimpinannya. Lelaki yang selama ini ia hormati… ternyata adalah orang yang selama ini berada di sisi Aira.
Wajah Delon mengeras. Tangannya mengepal. Dengan langkah cepat dan penuh amarah, ia mendekati Aira yang tengah berbicara dengan salah satu tamu.
Tanpa banyak kata, Delon langsung menarik tangan Aira dengan kasar, membuatnya terkejut.
“Delon, apa—”
“Ayo ikut aku,” ucap Delon dingin, menyeret Aira keluar dari area utama kafe, ke sudut teras yang lebih sepi.
Setibanya di sana, Delon melepaskan tangannya, matanya penuh kebencian.
“Jadi ini yang kamu lakukan, ya? Mendekati Abraham? Mendekati atasan aku demi apa? Jabatan? Perlindungan? Hah?”
Aira terbelalak, napasnya tercekat. “Kamu salah paham. Aku tidak seperti itu, Delon. Aku tidak pernah—”
“Menjijikkan, Aira.” Suara Delon tajam. “Kamu selalu bersikap seolah kamu lebih baik dari orang lain, padahal kamu sama saja."
Aira mencoba mundur, berusaha menjaga jarak. “Kamu nggak tahu apa-apa soal aku.”
Tiba-tiba, tamparan keras mendarat di pipi Aira, membuatnya terhuyung. Matanya berkaca-kaca, tapi ia tidak menangis. Ia hanya berdiri diam, memegangi pipinya, masih berusaha menahan guncangan di dalam dirinya.
Namun sebelum Delon sempat mengatakan apa pun lagi—
“HEY!” suara keras memotong udara.
Abraham, yang melihat kejadian itu dari dalam, langsung berjalan cepat dan dengan tepat sasaran membalas tamparan itu.
Telapak tangannya menghantam wajah Delon dengan keras, hingga pria itu terhuyung ke belakang.
Semua mata di kafe langsung tertuju ke arah mereka.
Wajah Abraham gelap, penuh amarah yang tak biasa ia tunjukkan.
“Jangan pernah sentuh dia lagi. Sekali lagi kamu menyentuh Aira atau mengganggunya—aku pastikan kamu tidak hanya kehilangan pekerjaan, tapi juga kehilangan harga diri.”
Delon tampak kaget dan panik, terutama karena kini semua orang menatapnya.
Ia mencoba membuka mulut, tapi tak satu kata pun keluar.
Abraham menoleh ke arah satpam. “Usir lelaki ini sekarang juga. Saya tidak ingin melihat wajahnya lagi di tempat saya, kapan pun.”
Tanpa banyak bicara, dua orang satpam menghampiri Delon dan membawanya keluar. Kali ini, tidak ada perlawanan. Wajah Delon penuh rasa malu dan ketakutan.
Aira masih berdiri di tempat, menunduk. Abraham segera menghampirinya, menatap wajahnya dengan penuh perhatian.
Ia mengangkat dagunya perlahan, melihat pipi Aira yang memerah.
“Aku minta maaf. Aku seharusnya nggak membiarkan dia dekat lagi denganmu,” ucap Abraham pelan.
Aira menggeleng, suaranya nyaris tak terdengar.
“Bukan salahmu…”
Abraham mengambil napas panjang, lalu menuntun Aira kembali masuk ke dalam.
Meski malam itu sempat ternoda, semua orang yang melihat tahu: Aira bukan lagi wanita yang bisa diinjak. Dan Abraham—adalah orang yang akan selalu berdiri di sisinya.
Setelah Delon diusir dari kafe, suasana perlahan kembali tenang.
Para tamu masih saling berbicara, meskipun sebagian besar dari mereka mencuri pandang ke arah Aira dan Abraham, membicarakan kejadian yang baru saja terjadi.
Namun Abraham tetap tenang. Dengan senyum sopan dan sikap yang profesional, ia mulai berpamitan kepada para tamu satu per satu.
“Terima kasih sudah datang malam ini. Semoga kalian menikmati acara grand opening ini,” ucapnya hangat, meskipun pikirannya terus melayang ke Aira.
Begitu suasana mulai reda, Abraham berjalan cepat ke arah mobilnya yang terparkir tidak jauh dari pintu kafe.
Ia membuka bagasi dan mengambil kotak P3K kecil yang selalu ia simpan di sana, lalu kembali masuk.
Aira duduk sendiri di sofa kecil di sudut kafe, memandangi lantai tanpa berkata apa-apa.
Pipi kirinya masih memerah, dan matanya tampak lelah meski berusaha kuat.
Abraham menghampirinya perlahan, lalu duduk di hadapannya.
Tanpa banyak bicara, ia membuka kotak P3K dan mengeluarkan kapas serta salep pendingin.
“Boleh aku bantu?” tanyanya pelan, penuh hati-hati.
Aira hanya mengangguk, menahan emosinya agar tidak tumpah di depan orang lain.
Dengan lembut, Abraham menyentuh wajahnya, membersihkan bekas tamparan itu dengan kapas dingin.
“Sakit?” tanyanya lagi.
Aira menggeleng pelan, meski sebenarnya perih itu terasa hingga ke hati.
“Enggak... cuma kaget.”
Abraham menatapnya dengan dalam. “Kamu nggak sendiri lagi, Aira. Aku janji, mulai sekarang nggak akan ada yang menyakitimu lagi.”
Kata-kata itu terasa hangat, seperti selimut yang menutupi luka yang belum sembuh.
Aira tak menjawab, tapi sorot matanya mulai berubah, bukan hanya rasa sedih tapi juga ada rasa percaya yang perlahan tumbuh kembali.
Malam mulai larut saat mobil Abraham melaju pelan di jalanan kota.
Di dalamnya, hanya ada keheningan. Aira duduk di kursi penumpang, memandangi jalanan yang gelap dan tenang.
Tangannya menggenggam tisu dingin yang tadi digunakan Abraham untuk mengompres pipinya.
Meski perih itu masih terasa, hatinya mulai terasa sedikit lebih ringan.
Sesampainya di apartemen, Abraham membukakan pintu untuk Aira.
Ia tidak berkata apa-apa, hanya menemaninya naik ke lantai atas dan membuka pintu seperti biasa.
Mereka masuk ke dalam, dan suara lembut dari pintu yang tertutup seakan memisahkan mereka dari semua kekacauan dunia luar.
Aira duduk di sofa ruang tengah, melepaskan sepatunya dan menyandarkan kepala ke belakang. Napasnya berat.
Abraham meletakkan kotak P3K di meja dan duduk di sampingnya, kali ini dalam jarak yang lebih dekat.
“Terima kasih,” Aira berkata lirih, suaranya nyaris tak terdengar.
Abraham menoleh, menatapnya dengan tenang. “Kamu nggak perlu berterima kasih. Kamu hanya... pantas untuk dilindungi.”
Aira menatapnya sejenak. Matanya berkaca-kaca, tapi tak setetes pun jatuh.
“Aku takut. Tapi aku juga muak... muak terus merasa lemah.”
“Kamu nggak lemah, Aira,” jawab Abraham cepat.
“Kamu bahkan lebih kuat dari yang kamu pikirkan. Bertahan selama ini, menghadapi semua rasa sakit itu butuh kekuatan yang luar biasa.”
Aira menghela napas panjang, lalu bersandar pada bahu Abraham tanpa berkata apa-apa.
Abraham tak bergerak, membiarkannya bersandar dalam diam.
Di luar, angin malam berhembus lembut. Tapi di dalam apartemen itu, ada kehangatan yang baru tumbuh perlahan, hati Aira mulai percaya bahwa mungkin, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia benar-benar berada di tempat yang aman.