NovelToon NovelToon
Bukit Takdir

Bukit Takdir

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Berbaikan / Cinta Beda Dunia / Kehidupan di Kantor / Misteri Kasus yang Tak Terpecahkan / Trauma masa lalu / Cinta Karena Taruhan
Popularitas:1.7k
Nilai: 5
Nama Author: PGR

Kadang, hidup tak memberi pilihan. Ia hanya menaruhmu di satu persimpangan, lalu membiarkan waktu yang menyeretmu ke arah yang tak kau minta. Johan Suhadi adalah lelaki yang kehilangan arah setelah maut merenggut tunangannya. Tapi duka itu bukan akhir—melainkan pintu gerbang menuju rahasia besar yang selama ini terkubur di balik hutan lebat Bukit Barisan. Sebuah video tua. Sepucuk surat yang terlambat dibuka. Dan janji lama yang menuntut ditepati. Dalam pelariannya dari masa lalu, Johan justru menemukan jalannya. Ia membuka aib para pejabat, mengusik mafia yang berlindung di balik jubah kekuasaan, dan menciptakan gelombang kejujuran yang tak bisa dibendung. Bersama sahabat sejatinya dan seorang wanita yang diam-diam menyembuhkan luka jiwanya, Johan menghadapi dunia—bukan untuk menang, tapi untuk benar.

Dari Padang hingga Paris. Dari luka hingga cinta. Dari hidup hingga kematian.
Bukit Takdir bukan kisah tentang menjadi kuat,
tapi tentang memilih benar meski harus hancur.

Karena

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PGR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

"Retak, Namun Tak Hancur"

Jumat, pukul tiga sore.

Kalmi duduk sendiri di sudut ruang administrasi rumah sakit, di atas kursi plastik yang dingin dan lusuh. Ia menandatangani formulir terakhir—selembar kertas yang menandai akhir dari tiga minggu penuh luka, jarum suntik, dan bau antiseptik. Dokter telah mengizinkannya pulang. Tubuhnya boleh lelah, tetapi pikirannya masih terjaga penuh.

Desi, yang selama ini setia menemaninya, hari ini tak bisa hadir. Cuti kerjanya habis. Dunia nyata menuntutnya kembali.

Tiba-tiba, dering ponsel memecah keheningan. Layar menampilkan nama yang begitu akrab: Johan.

“Halo, Jo. Di mana lu sekarang?” tanya Kalmi, suaranya datar, tapi ada senyum yang sempat terbit di ujung bibir.

“Masih cari pengacara, Mi. Bukti yang kita punya harus digunakan sebaik mungkin. Kalau pengacaranya tepat, kita bisa bikin mereka semua masuk bui,” suara Johan di seberang terdengar mantap, seolah tak ada yang tak mungkin bagi mereka.

Lalu, suara itu berubah lebih serius.

“Oh ya, Mi. Lu merasa ada yang ngawasin lu di rumah sakit nggak? Gua sama Liana kemarin diserang orang aneh di makam Broto. Dia nyari SD card itu. Padahal, cuma kita-kita yang tahu soal ini.”

Kalmi membeku sejenak. Dunia di sekitarnya melambat. Suara-suara petugas rumah sakit pun seakan menjauh.

“Apa? Gimana bisa bocor? Bukannya cuma kita bertiga yang tahu?” Kalmi bergumam lirih, namun nadanya tajam. “Nanti gua coba liat-liat lagi. Kalau ada yang jadi mata-mata, gua pastiin dia nyesel. Tapi SD card-nya aman, kan?”

“Aman, Mi,” Johan terkekeh pelan. “Liana yang jaga. Orangnya dia bikin pingsan.”

“Haha... bidadari galak dari Bukit Barisan dilawan, ya? Salah besar tuh orang,” tawa Kalmi akhirnya pecah. Meski dalam dadanya masih tertinggal cemas.

“Iya, Mi. Eh, gua denger besok lu udah boleh pulang, ya? Gua kesana jam dua.”

“Oke, gua tunggu. Bawa Liana juga sekalian. Biar gua hibur dia.”

“Anjir lu, Mi. Gua tutup dulu, ya. Masih banyak yang harus diurus. Bye.”

Sambungan terputus. Tapi pikirannya belum. Masih ada suara-suara dalam kepalanya yang bergema pelan.

---

Sabtu siang.

Langit cerah. Udara cukup bersahabat.

Kalmi keluar dari rumah sakit dengan langkah ringan, seperti beban perlahan ditanggalkan dari pundaknya. Di sampingnya, Desi berjalan sambil sesekali menegur manja.

“Pelan-pelan, Mi. Jangan kayak habis menang lomba lari.”

Kalmi terkekeh. “Tenang, sayang. Gua udah sehat.”

Saking semangatnya, ia malah mengangkat Desi sebentar, meski hanya dalam candaan.

Desi tertawa. Tapi ada gurat kekhawatiran yang belum benar-benar hilang dari wajahnya. “Mi, tunggu di sini ya. Gua ke toilet dulu. Nih, pegangin ponsel gua sebentar.”

Kalmi duduk di bangku parkiran. Matanya memandang langit biru. Tenang. Luas. Tak bertepi. Tapi di dadanya, ada ruang sempit yang belum tuntas terisi. Ia menarik napas panjang.

Tiba-tiba, sebuah notifikasi WhatsApp muncul di layar ponsel Desi. Refleks, Kalmi menoleh. Matanya membaca dengan perlahan, berharap itu cuma pesan biasa.

> “Tolong curi SD card kamera itu dari Johan. Mereka berhasil lolos dari pengejar kita. ✓✓”

Detik itu, dunia runtuh tanpa suara.

Pesan itu seperti petir yang membelah dadanya. Tangan Kalmi bergetar, bukan karena takut. Tapi karena tidak percaya. Desi? Pacarnya sendiri? Orang yang merawatnya siang malam selama dirawat? Mata-mata?

Ponsel itu terasa seperti batu panas di genggamannya. Ia menatap layar kosong, tapi pikirannya penuh. Tiba-tiba semua perhatian Desi, semua ketulusan, semua tawa—terasa palsu. Terasa seperti bagian dari skenario yang jauh lebih kejam.

Beberapa menit kemudian, Desi datang kembali. Senyumnya masih sama. Lembut, ceria.

“Yok, Mi. Kita makan dulu sambil nunggu Johan dan Liana.”

Kalmi hanya diam. Ia menatap wajah Desi, dalam-dalam. Bukan lagi sebagai pacar, tapi sebagai teka-teki. Sebagai pertanyaan.

Tangannya masih menggenggam ponsel Desi.

Dan di sana, dalam diamnya, Kalmi tahu:

Beberapa luka tak datang dari senjata.

Mereka datang dari kepercayaan. Dan itu jauh lebih menyakitkan.

Di luar rumah sakit, langit mulai redup.

Awan menggantung di atas kota, seperti menunggu sesuatu jatuh dari langit—entah hujan, entah takdir yang remuk.

Mobil hitam milik Johan berbelok pelan memasuki area parkir yang padat. Ia memarkirkan kendaraan dengan hati-hati, seperti menaruh beban besar yang tak terlihat. Di sampingnya, Liana masih asyik dengan ponsel barunya. Sejak kejadian di makam Broto, ia berubah menjadi gadis yang tak pernah puas mencari tahu. Google menjadi sahabat barunya—penuntun di tengah teka-teki hidup.

“Lia, yuk turun,” ujar Johan singkat, membuka pintu.

Liana menatapnya, tersenyum kecil. Ia menyimpan ponsel barunya, lalu keluar dari mobil. Langkah mereka pelan, tapi mata Johan tajam. Dari kejauhan, ia melihat Kalmi tengah bersitegang dengan Desi. Bukan percakapan biasa—lebih dari itu. Kalmi tampak mendidih dalam diam, sementara Desi gelisah, seperti seseorang yang tertangkap basah dalam kebohongannya sendiri.

“Kalmi kenapa itu?” gumam Johan, mempercepat langkah.

Lalu kalimat itu meledak di udara.

“Pesan dari siapa ini?! Ternyata kamu yang jadi cepu di antara kita!”

Suara Kalmi menggema keras, menghantam dinding-dinding parkiran rumah sakit. Nada suaranya, tajam dan menyayat. Johan terkejut. Liana refleks berhenti.

Desi berdiri kaku, wajahnya pucat. Matanya membendung tangis yang tak lagi mampu ditahan. “Aku terpaksa, Mi… Sayang… Maafkan aku…”

Kalmi tak langsung membalas. Ia hanya menatap, dalam, menusuk, seolah sedang mencari kebenaran yang tertimbun di balik mata Desi. Waktu terasa membeku.

“Aku bekerja di perusahaan Bapak Mulyono,” ucap Desi akhirnya, suara bergetar. “Dia beri aku uang banyak. Uang yang cukup… untuk pernikahan kita. Kamu selalu menunda-nunda, Mi. Katamu belum siap, belum cukup dana. Aku bosan menunggu. Aku ingin kita menikah. Aku lakukan ini demi kita. Aku tahu ini salah, tapi…”

Tangis Desi meledak. Kalimatnya patah-patah, hancur oleh rasa bersalah.

Namun Kalmi justru duduk perlahan, seperti kehilangan seluruh kekuatannya. Wajahnya kosong, seperti langit yang kehilangan bintangnya.

Orang yang ia cintai… telah menjual rahasia mereka.

Bukan karena kebencian, melainkan karena cinta yang buta arah. Dan itu jauh lebih menyakitkan.

Johan dan Liana berdiri beberapa langkah dari mereka, mendengar semuanya tanpa sengaja. Suasana terasa rapuh.

“Tenang dulu, Mi,” ucap Johan pelan. “Kita bahas ini nanti. Sekarang… kita perlu kepala dingin.”

Tapi Kalmi masih terpaku dalam luka.

“Demi uang?” ucapnya lirih. “Demi pernikahan yang bahkan belum jelas kapan akan terjadi? Kenapa, Desi… Kenapa kamu tega melakukan ini?”

Desi menggenggam tangannya sendiri, seolah mencari pegangan. “Aku takut kehilangan kamu. Takut kamu pergi karena kita tak pernah pasti. Aku mencintaimu, Mi. Tapi aku juga terlalu lemah. Maafkan aku…”

Liana melangkah maju. “Sudah, Mi. Kita harus tetap fokus. Bukti itu—SD card—masih aman, kan? Itu yang paling penting sekarang.”

Johan mengangguk. “Kita bisa selesaikan ini nanti. Tapi hari ini, kita pastikan bukti itu tak jatuh ke tangan mereka.”

Kalmi menarik napas panjang. Sorot matanya masih penuh luka, tapi ia tahu: ada hal yang lebih besar dari rasa sakitnya sendiri.

“Baik…” ucapnya pelan. “Kita selamatkan bukti itu. Lalu kita hadapi mereka… satu per satu.”

---

Malam menjelang. Di sebuah kafe kecil di sudut Kota Padang,

tiga orang duduk mengelilingi meja bundar. Johan membuka laptop, Liana mencatat strategi, Kalmi sesekali termenung. Di kursi terpisah, Desi duduk agak jauh. Keheningan menggantung, menyisakan ruang bagi pikiran masing-masing.

Hingga akhirnya, Desi berdiri.

Langkahnya pelan, matanya masih sembap, tapi kali ini ia tampak lebih tegar. Ia berdiri di hadapan mereka, terutama di hadapan Kalmi.

“Aku… sudah mengembalikan uang itu,” katanya lirih, tapi pasti. “Dan besok, aku akan bersaksi di pihak kalian. Aku juga sudah berhenti dari pekerjaanku. Semua ini… demi kamu, Mi.”

Kalmi terdiam. Lama. Ia menatap Desi seperti membaca surat yang ditulis dengan darah dan air mata.

Kemudian, perlahan, ia berdiri.

Dipeluknya Desi tanpa kata. Pelukan yang basah oleh air mata, yang tak lagi tahu apakah itu tangis luka, tangis cinta, atau keduanya sekaligus.

“Maafkan aku… karena membentakmu kemarin,” ucap Kalmi akhirnya, suaranya serak tapi tulus.

Desi membalas pelukan itu. “Bukan kamu yang harus minta maaf… aku yang salah… aku yang egois. Tapi aku sungguh… tak bisa hidup tanpamu.”

Dan untuk sesaat, semua luka itu… menemukan tempatnya untuk sembuh.

Johan menatap mereka lalu tersenyum. “Cie… duo bucin kita balik lagi. Dunia belum kiamat, ternyata.”

Tawa kecil pecah. Tak sempurna, tapi cukup untuk memberi mereka kekuatan baru.

Besok pagi, sidang besar itu akan dimulai.

Dan malam ini, mereka masih punya waktu—untuk merencanakan, dan untuk saling menguatkan.

Liana yang duduk di samping Johan hanya tersenyum lirih. Ada haru yang merambat diam-diam di sudut matanya, melihat Kalmi dan Desi kembali berdamai. Meski luka belum sepenuhnya sembuh, tapi mereka sudah saling memeluk. Dan itu lebih dari cukup untuk disebut sebagai awal.

Namun, Johan tetap menjaga fokusnya. Baginya, esok adalah medan tempur sesungguhnya. Hari di mana kebenaran harus bersuara lebih nyaring dari segala tipu daya.

“Kita harus tetap fokus pada persiapan sidang besok,” ujarnya tenang, namun suaranya menyerupai kompas yang mengarahkan kapal agar tak menyimpang dari jalur.

Kalmi mengangguk pelan. “Ya… ini bukan lagi tentang aku dan Desi. Ini tentang mereka—yang suaranya dikubur, yang harapannya dirampas, dan yang hidupnya dipaksa tunduk dalam diam.”

Desi menunduk, namun ucapannya tegas. “Aku akan memberikan kesaksianku di pengadilan. Aku ingin menebus semua kesalahan ini, Mi. Aku siap berhenti dari pekerjaanku. Aku ingin jadi bagian dari kebenaran.”

Johan menatapnya dalam-dalam, lalu mengangguk. “Terima kasih, Desi. Kita butuh semua keberanian yang bisa kita kumpulkan. Karena yang akan kita hadapi… adalah kekuasaan yang terbiasa tidak tersentuh.”

Diskusi itu pun berlanjut. Waktu berjalan seperti aliran sungai senja—pelan tapi terus membawa mereka pada muara penentuan. Mereka membedah strategi, mempersiapkan dokumen, dan menguatkan tekad. Ketika langit mulai berubah warna menjadi ungu tua, hati mereka justru terasa lebih ringan. Kalmi, yang sebelumnya rapuh, kini kembali berdiri lebih tegak. Ia tahu, di sisinya ada orang-orang yang siap berjuang bersamanya. Termasuk Desi—yang telah memilih untuk kembali.

Saat malam mulai turun perlahan, Kalmi dan Desi berpamitan. Johan dan Liana masih tertinggal di dalam kafe kecil itu, ditemani kopi hangat dan sisa-sisa keheningan.

Liana menatap kosong ke arah pintu yang baru saja tertutup, lalu bertanya pelan, “Jo… kenapa ya Desi bisa mencintai Kalmi sampai segitunya? Sampai berani melakukan hal yang, bahkan, bertentangan dengan hati nuraninya sendiri?”

Johan menoleh pelan, mengernyit kecil. “Lah, kok mendadak nanya itu, Li? Cinta tuh… masih jadi misteri besar, bahkan buat aku sendiri. Tapi, entah kenapa, aku percaya kamu akan mengerti nanti. Ketika saatnya tiba.”

Liana tersenyum kecil, menyandarkan tubuh ke kursinya. “Mungkin kamu benar. Cinta memang seperti sungai di tengah hutan. Kadang deras, kadang tenang, tapi selalu mengalir menuju sesuatu yang lebih dalam.”

Johan mengangguk. “Cinta itu… bisa menjadikan seseorang kuat. Atau justru rapuh. Tapi yang pasti, ia selalu mengubah kita. Sama seperti janji yang pernah aku ceritakan padamu dulu.”

Liana menoleh, matanya memancarkan rasa ingin tahu yang tertahan. Tapi ia memilih diam, membiarkan pertanyaan itu mengendap dalam pikirannya.

“Mungkin aku akan paham suatu saat nanti,” katanya pelan, hampir seperti bicara pada dirinya sendiri.

Tak ada lagi kata setelah itu. Mereka hanya duduk, saling berbagi diam, membiarkan malam menyelimuti dengan pelan. Hingga akhirnya Johan berkata, “Ayo kita pulang, Li. Besok adalah hari besar. Kita harus benar-benar siap.”

Liana mengangguk. “Ya, Jo. Mari kita pastikan tak ada celah yang mereka bisa gunakan.”

Mereka pun melangkah keluar dari kafe, angin malam menyambut lembut, seolah ikut mendoakan perjuangan mereka. Di dalam mobil, diskusi kembali berlanjut. Suara mesin yang lembut menjadi latar harmoni strategi yang tersusun rapi di benak mereka.

Saat hampir tiba, Johan melirik Liana dan tersenyum—bukan sekadar senyum biasa, tapi senyum seseorang yang memercayai sesuatu dengan sepenuh hati.

“Kita sudah bekerja keras. Aku yakin, Li. Kita akan membawa terang ke tempat yang selama ini penuh bayang.”

Liana membalas senyumnya. “Ya. Kita hanya perlu percaya. Pada diri kita, dan pada kebenaran yang sedang kita perjuangkan.”

Malam itu, mereka tiba di rumah dengan hati yang tenang. Tidak karena perjalanan ini akan mudah, tapi karena mereka siap. Esok adalah hari di mana suara-suara yang dipaksa bungkam akan menemukan panggungnya. Dan mereka akan berdiri di barisan terdepan untuk memastikan suara itu didengar.

1
Like_you
/Whimper/
Like_you
/Brokenheart/
Lara12
❤️❤️
Mika
akhirnya janji dihutan dulu akhirnya terpenuhi /Chuckle/
Mika
Janji yang menyelamatkan johan/Heart/
Lara12
recommended banget sih, cerita nya penuh misteri, aku suka😆
Mika
ga sabar nunggu kelanjutannya, hehe
Pandu Gusti: Makasih ya, ditunggu ya setiap pukul 8 pagi 🙃
total 1 replies
Mika
sidang terepik yang pernah aku baca
Mika
mudah banget baikan nya/Tongue/
Mika
🤣🤣
Mika
kok yang nama nya Mulyono pada gitu ya orang nya/Curse/
Mika
jangan lapor polisi, lapor damkar aja/Smirk/
Mika
kemana ya keluarganya?/Brokenheart/
Mika
upss /Rose/
Mika
setelah searching, ternyata beneran ada tanaman mandragora, mana bentuk akar nya serem lagii/Toasted/
Mika
nangis aja Joo, ga usah ditahan/Cry/
Mika
anak mapala ternyata, mantan ku anak mapala juga/Chuckle/
Mika
kek hidup gua, ditinggal melulu/Sob/
Lara12
ditunggu updatenya nya/Grievance/
Mika: iyaa, padahal lagi seru serunya/Smirk/
total 1 replies
Lara12
waduhhhh/Cry/
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!