Menjadi Istri kedua atau menjadi madu dari Istri pertama sudah pasti bukan sebuah mimpi dan harapan, bahkan mungkin semua wanita menghindari pernikahan semacam itu.
Sama halnya dengan Claire yang sudah menyusun mimpi indah untuk sepanjang hidupnya, menikah dengan suami idaman dan menjadi satu-satunya Istri yang paling cintai.
Namun mimpi indah itu harus kandas karena hutang Papanya, uang miliaran yang harus didapatkan dalam dua bulan telah menjadi kan Claire korban.
Claire akhirnya menikah dengan pengusaha yang berhasil menjamin kebangkitan perusahaan papanya, Claire dinikahi hanya untuk diminta melahirkan keturunan pengusaha itu.
Segala pertentangan terus terjadi di dalam pernikahan mereka, Claire yang keras menolak hamil sedangkan jelas tujuan pernikahan mereka untuk keturunan.
Kisah yang sedikit rumit antara satu suami dan dua istri ini dialami Claire, Brian, dan Tania. Akan seperti apa akhirnya pernikahan itu, jika keturunan tak kunjung hadir.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vismimood_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jangan Pergi
Claire berpaling dan mengusap air matanya cepat, kedatangan Tania sedikit memantik rasa kesalnya karena sampai saat ini Claire enggan berhadapan dengan Tania.
"Kalian bertengkar lagi?"
"Tidak, Claire panik karena Giska tidak ada sekarang."
Tania diam menatap Claire yang begitu enggan melihat dirinya, apa kesalahan Tania sampai membuat Claire seperti itu. Merasa hening tanpa kalimat lagi Claire menoleh dan melihat keduanya yang tengah menatap dirinya, apa Claire layar bioskop yang harus jadi tontonan seperti itu.
Tanpa permisi Claire berlalu begitu saja, Claire salah mengukur jarak langkahnya hingga tak sengaja menabrak bahu Tania. Meski begitu Claire sama sekali tak perduli dan terus saja melangkah masuk, saat ini hanya Giska yang menjadi fokusnya entah kemana anak itu pergi.
"Aku salah apa Mas sama dia?"
"Sut, biarkan saja lagi pula dia bersikap seperti itu pada semuanya, bukan hanya kamu."
Tania menggeleng ia memilih pergi menyusul Claire, tidak bisa dibiarkan terus seperti ini karena mereka tinggal satu rumah pasti tidak pantas bertahan dalam keadaan seperti ini. Ketika berhasil menemukan Claire, Tania sedikit berlari untuk menghentikan langkah madunya itu, tatapan Claire seketika tajam ketika dengan sengaja Tania menghalanginya.
"Claire, kita perlu bicara."
"Tidak, lepas!"
"Paling tidak katakan salah aku apa sama kamu, kenapa kamu bersikap seperti ini?"
Claire berdecak dan membanting tangan Tania, apa Tania berniat menekan Claire sekarang tentu saja itu akan menjadi pelanggaran buat Brian. Claire menoleh ketika Brian juga menyusul dan berdiri di samping Tania, mereka memang kompak dan sekarang mereka pasti akan saling membela.
"Aku hanya ingin bebas." Ucap Claire pada Brian.
"Lakukan saja." Sahut Brian.
Claire sekilat menatap Tania dan kembali pergi, niat Tania untuk menahannya harus gagal karena Brian yang menghalanginya. Hanya seperti itu saja percakapan mereka, Tania sama sekali tidak bisa terima, kenapa Brian tidak membantu memperbaiki semuanya.
"Claire, berhenti!" Titah Tania yang sama sekali tidak digubris Claire.
"Biarkan saja."
"Biarkan kamu bilang, Mas kamu betah ada dalam situasi seperti ini. Kamu suka dengan sikap Claire yang seperti itu, mengabaikan semuanya, menganggap semua tidak ada dan itu sangat salah Mas."
Tak ada jawaban, Tania menggeleng dan kembali pergi menyusul Claire, nyaris saja Tania terlambat karena Claire ada di gerbang sana. Tania berlari dan menepis tangan Claire yang hendak membuka gerbangnya, kini dua pasang mata itu saling bertatap, tidak ada ketenangan dari keduanya saat ini.
"Aku tidak bisa Claire, hidup dalam keadaan seperti ini aku tidak bisa. Berhenti bersikap seperti ini, kita kenal Claire dan kita satu rumah sekarang."
"Mba pikir aku perduli?"
"Claire aku tahu semua dimulai dengan tidak baik, tapi bukan berarti kita harus menjalaninya dengan tidak baik juga. Claire kita bisa perbaiki jalannya ayo sama-sama."
"Kamu mau semua membaik seperti harapan kamu, bebaskan aku Mba. Bebaskan aku dari pernikahan ini, rumah tangga semacam ini tidak layak dipertahankan."
Kalimat Claire sedikit membuat perasaan Tania tersinggung, apa Claire pikir Tania suka dengan keadaan ini. Jika harus jujur tentu saja pernikahan mereka sangat melukai perasaan Tania, tapi kenapa Claire tidak bisa memahami itu.
Claire tersenyum acuh, menjadi munafik sepertinya mudah tapi Claire tidak bisa. Berpura-pura seakan semuanya baik padahal teramat buruk itu terlalu sulit untuk Claire, Claire tidak bisa hidup dalam sandiwara seperti itu.
"Sudahlah Mba, kalau aku tidak bisa lepas dari pernikahan ini. Jangan sekali-sekali mengatur aku, biarkan aku dengan keinginan ku sendiri selagi aku ada bersama kalian, stop menyetir hidup ku setelah pernikahan yang kalian inginkan ini terjadi!" Tutur Claire yang akhirnya berhasil membuka gerbang.
"Aku yang akan pergi, Claire!" Tegas Tania.
Claire urung mengayunkan kakinya, kalimat Tania berhasil menahannya untuk kesekian kali. Claire menoleh dan mendapati mata Tania yang sudah memerah dan berembun, apa lagi sekarang, Tania akan membuat Claire semakin terjebak.
"Biarkan aku yang pergi, aku janji aku tidak akan ada lagi di antara kalian. Berikan aku waktu untuk selesaikan semuanya, pernikahan aku dan Mas Brian akan aku selesaikan secepatnya."
"Jangan berani kamu lakukan itu!" Tegas Brian yang kembali mengacau.
Claire menggeleng dan akhirnya berlalu keluar, Lagi Brian menghalangi Tania yang ingin menyusul Claire. Tania sedikit kesal dengan itu namun wajah Brian tampak lebih kesal dari Tania, Brian menyentuh kedua pundak Tania dan menatap dalam matanya.
"Kamu tidak akan melakukan itu, katakan!"
"Aku harus melakukan itu Mas."
"Siapa yang mengizinkan kamu melakukan itu, bahkan mengatakannya saja seharusnya jangan kamu lakukan!"
Tania menunduk, tentu saja Tania juga tidak ingin semua itu. Tapi jika memang dengan itu bisa membuat Claire lebih menerima pernikahannya, sudah seharusnya Tania yang mengalah karena Tania juga tidak akan mau jika harus diposisi Claire.
Keduanya tidak tahu jika Claire tidak benar-benar pergi, Claire ada di balik gerbang hitam yang tinggi itu. Claire mendengarkan perbincangan suami istri di dalam sana, bagaimana bisa Claire percaya jika Tania mau melakukan itu demi dirinya, entah berapa lama dan betapa besar cinta mereka untuk satu sama lain.
"Apa pun alasannya, jangan pernah pergi."
"Aku hanya akan menyulitkan kamu mendapatkan apa yang kamu mau."
"Aku bisa cari cara lain, diamlah dan tetap bersama ku!"
Begitu saja Brian mendekap tubuh istri tercintanya itu, jangankan untuk ditinggal selamanya, hanya ditinggal beberapa hari seperti sebelumnya pun sudah nyaris membuat Brian linglung. Tania tidak boleh meninggalkannya dengan alasan apa pun, bagaimana pun keberadaan Claire tidak boleh merubah hubungannya dengan Tania, bukankah Claire yang hanya hadir untuk sementara.
"Mas-"
"Sekali pun kamu pergi, tidak akan bisa merubah keadaan. Kamu tahu tujuan aku menikahi Claire buat apa, dan kamu tahu sampai kapan pernikahan ini akan ada."
Di sana Claire tersenyum pilu, semenyedihkan itu hidupnya, setidak berarti itu perasaan Claire dimata mereka semua. Memang jahat mereka semua, sudah seharusnya Claire menghindari ini dari sekarang.
"Aku akan buat kamu membenci ku Mba, bahkan kalian berdua." Gumam Claire.
*
Dirga memasuki ruangannya setelah selesai meeting, perasaannya sangat bahagia karena sekarang perusahaannya semakin berkembang. Dirga memang pintar dalam bisnis, entah kenapa kemarin Dirga sampai gagal dan kehilangan semuanya.
"Permisi, Pak."
"Iya, silahkan."
Dirga mempersilahkan sekretarisnya itu untuk masuk, melihat kekhawatiran di wajahnya sedikit membuat Dirga heran. Pasalnya sejak tadi wanita itu tampak baik-baik saja, tidak ada masalah juga sewaktu pertemuan tadi.
"Maaf Pak, saya ke sini mau-"
Kalimat itu menggantung, sepertinya ia begitu berat untuk mengatakan kalimatnya dengan utuh. Tapi mau bagaimana ia sudah memulai dan jelas harus mengakhiri, Dirga mengangguk menunggu kelanjutannya.
"Maaf Pak, tapi saya harus berhenti bekerja."
"Jangan bercanda kamu." Sahut Dirga masih dengan senyuman.
"Saya serius Pak, saya harus kembali ke Kampung besok."
"Tidak bisa seperti itu dong, seenak sekali kamu."
Mira menunduk, lalu harus bagaimana lagi jika memang itu kebenarannya. Mira harus kembali karena akan menikah disana, sebenarnya Mira juga enggan meninggalkan pekerjaannya saat ini.
Dirga menghembuskan nafasnya tenang, ia sempat meneguk minum di gelasnya hingga akhirnya bertanya alasannya. Tentu saja Mira juga mengatakan semuanya dengan gamblang, pernikahannya yang mendadak diadakan karena permintaan pihak lelakinya.
"Dia bisa menjamin hidup mu?"
"Sesuai janjinya, seharusnya bisa Pak."
"Setelah keluar, kamu tidak akan bisa kembali."
"Saya tahu Pak."
Dirga kembali diam melihat sejauh mana keseriusan Mira untuk meninggalkan pekerjaannya, sepertinya memang itu sudah harus dilakukan. Lalu apa yang bisa Dirga perbuatan sekarang, mengingat pernikahan putrinya pun terjadi secara tiba-tiba dan tidak bisa dihindari.
"Baiklah, tapi sebelum kamu pergi tolong urus semuanya terlebih dahulu. Sisa pekerjaan kamu, pengunduran diri kamu, dan juga informasi untuk seorang yang akan menjadi pengganti mu di sini."
"Baik Pak, saya akan lakukan dengan baik. Terimakasih untuk pengertiannya, saya permisi dulu."
Dirga mengangguk dan membiarkan Mira pergi, seharusnya tidak terlalu sulit untuk bisa mendapatkan pengganti Mira. Dirga tidak mungkin mengerjakan semuanya sendiri, tentu itu akan sangat merepotkan dirinya.
Dengan semangat Mira mengerjakan tugasnya di Kantor, ini memang mendadak tapi untunglah semua masih bisa dalam kendalinya. Mira juga sudah menuliskan pembukaan lowongan untuk Perusahaan Dirga dengan kriteria tercantum sempurna, Mira tidak mau membuat bosnya itu kerepotan sendiri nantinya.
"Mira, kamu serius?" Tanya Via yang tak lain adalah teman dekatnya di Kantor.
"Iya Vi, mau bagaimana lagi kan?"
"Ah terus nanti aku sama siapa kalau kamu gak ada, kenapa sih harus mendadak seperti ini."
Mira tersenyum haru ketika Via justru memeluknya, mereka sudah bersama sejak lama jadi tentu akan sedikit sulit jika harus berpisah. Via tidak akan ada teman lagi, jujur saja seisi Kantor hanya Mira yang bisa cocok berteman dengan dirinya.
"Nanti akan ada Sekretaris baru, kamu bisa dekati dia ya."
"Ah dia pasti akan jauh berbeda sama kamu."
"Belum juga bertemu, aku sudah tuliskan kriteria calon karyawannya. Salah satunya itu harus baik dan tidak pilih-pilih teman."
"Memangnya bisa?"
Mira sedikit terkekeh mendengar pertanyaan Via, tentu saja tidak mungkin untuk apa juga menuliskan semacam itu. Via mendengus kesal seraya duduk di hadapan Mira, sekretaris barunya nanti pasti berbeda dengan Mira dan itu adalah keyakinan Via.
"Vi, kalau kamu punya rekomendasi teman kamu ya bisa aja kan. Kamu pertemukan dia sama Pak Dirga, siapa tahu saja cocok dan bisa langsung diterima tanpa syarat yang berat."
"Memang boleh ya?"
"Coba saja dulu, besok suruh datang kalau memang ada. Aku yakin Pak Dirga juga tidak akan terlalu pilih-pilih, dia juga pasti butuh cepat orang barunya."
Via tampak menimang ucapan Mira, memang ada satu temannya yang sedang mencari pekerjaan, hanya saja dia bukan lulusan sarjana. Dibandingkan dengan Mira jelas saja jauh berbeda, bagaimana bisa semudah itu Dirga menerima temannya tersebut.
"Vi, bagaimana?"
"Nanti aku coba deh."
"Jangan nanti dong, kalau memang ada aku akan tahan dulu untuk orang luar. Kamu harus gerak cepat kalau mau jadi pemenang."
"Entahlah, nanti aku temui dia sepulang kerja."
Via hanya menghembuskan nafasnya pasrah, biarkan saja kalau memang Via tidak bisa bekerja dengan temannya itu. Asalkan orang asingnya nanti bisa sebaik Mira, Via tidak masalah meski itu bukan temannya sendiri.
Mira hanya menggeleng saja melihat respon Via, seperti itulah dia selalu mengalah sebelum berperang. Nyalinya terlalu kecil untuk bisa bersaing, padahal segala sesuatu ada jalannya jika mau mencoba tak akan menutup kemungkinan untuk berhasil.