NovelToon NovelToon
Life After Marriage: My Annoying Husband

Life After Marriage: My Annoying Husband

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Seiring Waktu / Enemy to Lovers / Cintapertama
Popularitas:46
Nilai: 5
Nama Author: Aluina_

Keira Anindya memiliki rencana hidup yang sempurna. Lulus kuliah, kerja, lalu menikah dengan pria dewasa yang matang dan berwibawa. Namun rencana itu hancur lebur saat ayahnya memaksanya menikah dengan anak rekan bisnisnya demi menyelamatkan perusahaan.
Masalahnya calon suaminya adalah Arkan Zayden. Pria seumuran yang kelakuannya minus, tengil, hobi tebar pesona, dan mulutnya setajam silet. Arkan adalah musuh bebuyutan Keira sejak SMA.

"Heh Singa Betina! Jangan geer ya. Gue nikahin lo cuma biar kartu kredit gue gak dibekukan Papa!"

"Siapa juga yang mau nikah sama Buaya Darat kayak lo!"

Pernikahan yang diawali dengan 'perang dunia' dan kontrak konyol. Namun bagaimana jika di balik sikap usil dan tengil Arkan, ternyata pria itu menyimpan rahasia manis? Akankah Keira luluh atau justru darah tingginya makin kumat?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aluina_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

17

Matahari pagi di kawasan Pondok Indah bersinar terik, tetapi tidak sepanas suasana di ruang makan kediaman Arkan dan Keira. Di atas meja makan marmer yang mewah itu tersaji pemandangan yang mengerikan bagi Arkan. Biasanya dia sarapan dengan roti bakar selai cokelat atau nasi goreng sosis. Namun pagi ini, meja itu dipenuhi dengan makanan yang didominasi warna hijau dan bau amis laut.

Ada tumis kerang, sup tiram, gulai kepala ikan, dan satu baskom besar tauge rebus yang masih mengepulkan asap. Di samping piring Arkan, berdiri sebuah gelas besar berisi cairan kental berwarna hijau lumut yang berbuih mencurigakan.

Arkan menelan ludah dengan susah payah. Jakunnya naik turun. Dia melirik Keira yang duduk di sebelahnya. Istrinya itu juga tampak pucat melihat menu sarapan yang lebih mirip menu pakan ternak sehat daripada makanan manusia.

Mama Rina berdiri di ujung meja dengan senyum lebar, memegang sendok sayur seperti memegang tongkat komando. Dia mengenakan baju olahraga ketat berwarna neon yang menyilaukan mata.

"Ayo dimakan, Sayang. Jangan cuma diliatin. Nanti keburu dingin vitaminnya hilang," perintah Mama Rina semangat.

"Ma, ini apa semua? Kita mau sarapan apa mau buka warung seafood? Pagi-pagi kok makan gulai kepala ikan? Kolesterol Papa nanti naik loh," protes Arkan mencoba mencari sekutu.

Papa Wijaya yang sedang membaca koran di ujung meja hanya berdeham pelan. "Papa dilarang makan gulai. Ini semua khusus buat kamu, Arkan. Papa cuma dapat jatah bubur havermut hambar ini."

Arkan menatap papanya dengan tatapan pengkhianat. Ternyata papanya sudah menyerah duluan.

"Ini menu program hamil super kilat racikan Mama. Tauge dan kerang itu sumber protein dan zink yang tinggi. Bagus buat kesuburan. Dan itu," Mama menunjuk gelas hijau di depan Arkan, "Itu adalah signature drink Mama. Jus Tauge Maut campur brokoli dan sedikit kiwi biar segar."

"Jus tauge?" ulang Arkan dengan nada horor. "Ma, tauge itu sayur. Sayur itu dimasak, bukan diblender. Arkan enggak mau. Baunya kayak air comberan."

"Eits, enggak boleh nolak. Mama sudah capek-capek bikinnya subuh tadi. Keira juga dapat kok. Itu yang warna merah buat Keira. Jus buah bit campur kurma muda," kata Mama Rina menunjuk gelas di depan Keira.

Keira menatap gelas merah darah di depannya. Setidaknya itu terlihat lebih manusiawi daripada cairan hijau milik Arkan.

"Ayo diminum. Mama tungguin sampai habis tetes terakhir. Kalau enggak habis, Mama enggak akan pulang minggu depan. Mama bakal tinggal di sini sebulan," ancam Mama Rina dengan senyum manis yang mematikan.

Ancaman itu bagaikan vonis mati. Arkan dan Keira saling pandang. Mereka berkomunikasi lewat tatapan mata.

Minum atau kita mati bosan sebulan, isyarat mata Keira.

Gue bisa muntah, Ra. Tolongin gue, balas tatapan Arkan memelas.

Demi kebebasan. Lakukan, Keira memberi semangat.

Dengan tangan gemetar, Arkan mengangkat gelas besar itu. Dia menjepit hidungnya dengan jari telunjuk dan jempol.

"Demi masa depan bangsa," gumam Arkan dramatis.

Dia menenggak jus itu dalam sekali napas besar. Cairan kental berasa langu, pahit, dan sedikit asam itu mengalir melewati tenggorokannya. Rasanya seperti menelan rumput lapangan bola yang baru dipotong.

"Huek," Arkan hampir memuntahkannya kembali, tetapi tatapan tajam Mama Rina membuatnya menelan paksa.

"Pintar anak Mama! Habiskan!" sorak Mama Rina tepuk tangan.

Keira juga meminum jus merahnya. Rasanya manis-manis aneh, seperti tanah basah dicampur gula. Tapi dia berhasil menghabiskannya dengan elegan.

"Nah, sekarang makan kerangnya. Makan taugenya. Harus banyak," Mama Rina menyendokkan tauge menggunung ke piring Arkan.

Sarapan pagi itu berlangsung penuh siksaan. Arkan makan sambil menahan mual, sementara Keira makan sambil menahan tawa melihat wajah suaminya yang berubah warna jadi hijau.

Siksaan belum berakhir. Setelah sarapan, Mama Rina menggiring mereka ke ruang tengah yang luas. Karpet bulu sudah digulung, digantikan oleh dua matras yoga berwarna ungu dan biru.

"Sekarang waktunya olahraga. Badan sehat, jiwa kuat, benih semangat," seru Mama Rina. Beliau ternyata instruktur yoga bersertifikat di komplek perumahannya.

"Ma, Arkan baru makan. Nanti usus buntu kalau langsung olahraga," keluh Arkan sambil memegangi perutnya yang penuh tauge.

"Enggak ada alasan. Kita akan melakukan Couple Yoga atau yoga pasangan. Ini bagus untuk membangun chemistry dan keintiman suami istri. Papa yang jadi wasit," kata Mama Rina. Papa Wijaya duduk di sofa dengan wajah pasrah, siap menilai.

"Gerakan pertama. Double Tree Pose. Kalian berdiri berdampingan, pegangan pinggang, terus angkat satu kaki dan tempelkan telapak kaki kalian," instruksi Mama Rina.

Arkan dan Keira berdiri canggung. Arkan melingkarkan tangannya di pinggang ramping Keira. Keira meletakkan tangannya di bahu Arkan.

"Pegang yang kenceng, Arkan. Jangan kayak megang tahu," tegur Mama.

Arkan mempererat rangkulannya. Tubuh mereka menempel rapat. Keira bisa mencium aroma tubuh Arkan yang kini bercampur bau tauge samar-samar.

"Oke, angkat kaki luar kalian. Satu, dua, tiga," hitung Mama.

Mereka mengangkat kaki. Namun keseimbangan Arkan sangat buruk. Dia goyah ke kiri.

"Woy, woy, jatoh!" teriak Arkan panik.

Dia menarik tubuh Keira bersamanya. Mereka berdua jatuh terguling ke matras dengan posisi saling menindih. Kaki Arkan membelit kaki Keira. Tangan Keira menekan dada Arkan.

"Aduh! Pinggang gue!" teriak Arkan. Encoknya yang baru sembuh sedikit kini terasa nyeri lagi.

"Makanya fokus! Jangan lembek kakinya!" omel Keira sambil berusaha bangun.

"Bagus! Kontak fisik yang intens! Itu yang Mama cari! Lanjut gerakan kedua!" seru Mama Rina malah senang melihat mereka bergulingan.

Gerakan kedua lebih ekstrem. Flying Bird. Arkan harus berbaring telentang, mengangkat kedua kakinya ke atas, lalu Keira harus bertumpu di telapak kaki Arkan seolah sedang terbang.

"Ma, ini bahaya. Kalau kaki Arkan meleset, Keira bisa gegar otak," protes Keira ngeri.

"Tenang, Ra. Kaki gue kuat kok. Gue sering leg day di gym," kata Arkan sombong, melupakan fakta bahwa dia baru saja jatuh di pose pohon.

Arkan berbaring. Dia mengangkat kakinya. Keira dengan ragu menempatkan pinggulnya di telapak kaki Arkan.

"Pegang tangan gue, Ra. Percaya sama gue," kata Arkan menatap mata Keira dari bawah. Tatapannya serius dan meyakinkan.

Keira meraih tangan Arkan. Perlahan, Arkan mengangkat tubuh Keira ke udara. Keira melengkungkan punggungnya, merentangkan tangan seperti burung.

"Wah! Berhasil!" pekik Mama Rina sambil memotret dengan ponselnya. "Tahan! Senyum dong! Liat-liatan penuh cinta!"

Keira menunduk menatap Arkan. Wajah Arkan merah padam menahan beban tubuh Keira. Urat lehernya menonjol. Tapi dia tersenyum.

"Lo berat juga ya, Ra. Makan dosa orang sekampung apa gimana?" ledek Arkan dengan suara tercekik.

"Diem lo. Jatuhin gue awas ya," ancam Keira.

Momen itu berlangsung sepuluh detik. Sepuluh detik di mana mereka saling bertatapan intens. Keira merasa jantungnya berdesir lagi. Dia melihat usaha keras Arkan menahannya agar tidak jatuh. Ada rasa aman yang aneh saat berada dalam "genggaman" kaki suaminya itu.

"Oke turun pelan-pelan," perintah Mama.

Arkan menekuk lututnya dan menurunkan Keira dengan lembut. Namun saat mendarat, Keira kehilangan keseimbangan dan jatuh tepat di atas dada Arkan. Wajah mereka bertemu lagi, kali ini hidung mereka bersentuhan. Napas mereka memburu.

"Ciyeee. Mau ciuman ya? Papa jangan liat, tutup mata," goda Mama Rina heboh.

Keira langsung melompat bangun dengan wajah semerah tomat. Arkan hanya tertawa kecil sambil mengatur napas. Yoga ini ternyata memang efektif membuat jantung bekerja ekstra keras.

Siang harinya, efek Jus Tauge Maut mulai bereaksi. Arkan merasa badannya panas dalam. Bukan sakit demam, tetapi gerah yang luar biasa. Energinya meluap-luap. Dia tidak bisa diam. Dia sudah mencuci mobil dua kali, menyapu halaman depan, dan sekarang sedang mengepel lantai ruang tamu dengan semangat 45.

Keira duduk di sofa sambil mengipas-ngipas wajahnya. Dia juga merasa sedikit gerah, mungkin efek jus bit dan kurma.

"Lo ngapain sih ngepel lagi? Itu lantai udah kinclong sampai semut aja kepleset," tanya Keira heran melihat Arkan yang mondar-mandir dengan kain pel.

"Gerah, Ra. Gue butuh penyaluran energi. Ini efek tauge kayaknya beneran dahsyat. Gue rasa gue bisa lari maraton sekarang sampai Bogor," kata Arkan sambil menyeka keringat di dahinya. Kaosnya sudah basah kuyup.

"Minum air putih yang banyak biar racunnya keluar," saran Keira.

Tiba-tiba Mama Rina datang membawa nampan. Isinya dua gelas susu hangat berwarna kekuningan.

"Nah, capek kan abis olahraga dan bersih-bersih? Minum ini dulu. Susu jahe merah telur bebek madu. Biar stamina makin joss nanti malam," kata Mama Rina dengan kedipan mata nakal.

Arkan ingin menangis. "Lagi, Ma? Perut Arkan udah kayak gentong air. Kembung."

"Minum. Ini resep leluhur," paksa Mama Rina.

Arkan dan Keira pasrah. Mereka meminum susu itu. Rasanya pedas, manis, dan amis sedikit. Kombinasi yang membuat merinding.

Malam harinya adalah puncak dari segala rencana Mama Rina. Pukul sembilan malam, Mama Rina masuk ke kamar mereka membawa sebuah alat diffuser aromaterapi.

"Ini aroma bunga kenanga campur melati dan kayu cendana. Wanginya bikin rileks dan membangkitkan gairah. Jangan dibuka jendelanya ya, biar wanginya awet," kata Mama Rina lalu meletakkan alat itu di meja rias dan menyalakannya.

Asap tipis keluar membawa aroma yang sangat kuat. Wanginya mistis. Seperti wangi kamar pengantin zaman dulu atau malah seperti wangi kuburan baru.

"Ma, ini wanginya serem. Kayak mau manggil kuntilanak," protes Arkan.

"Hush! Sembarangan. Ini wangi romantis. Udah sana tidur. Mama mau kunci pintu depan. Jangan keluar kamar lagi ya," Mama Rina keluar dan menutup pintu kamar rapat-rapat.

Arkan dan Keira ditinggal berdua di dalam kamar yang remang-remang dan berbau menyengat.

"Gila. Gue pusing nyium baunya," keluh Keira sambil memijat pelipisnya.

Arkan berjalan ke arah alat itu dan hendak mematikannya.

"Jangan dimatiin, Ra. Nanti Mama curiga kalau asepnya ilang pas dia ngintip lewat lubang kunci. Mama gue itu niat banget orangnya," cegah Arkan.

"Terus gimana? Kita tidur pakai masker?" tanya Keira.

"Kita buka jendela dikit aja buat sirkulasi," Arkan membuka jendela sedikit. Angin malam masuk membawa sedikit kesegaran.

Mereka naik ke atas kasur baru yang empuk. Kali ini tidak ada guling pembatas. Dan tidak ada jarak yang terlalu jauh karena efek AC yang disetel Arkan di suhu paling rendah untuk melawan rasa gerah di tubuhnya.

"Dingin banget, Arkan. Naikin suhunya dikit," pinta Keira sambil menarik selimut sampai leher.

"Jangan. Gue panas. Badan gue kayak kebakar dari dalem. Ini pasti gara-gara jahe merah tadi," Arkan mengibas-ngibaskan kaosnya. Dia akhirnya melepas kaosnya dan melemparnya ke kursi. Kini dia bertelanjang dada, memperlihatkan otot perutnya yang terbentuk (hasil gym yang dia sombongkan).

Keira menelan ludah. Dia harus mengakui suaminya punya tubuh yang bagus.

"Pake baju lo. Masuk angin nanti," tegur Keira sambil memalingkan wajah.

"Enggak bakal. Gue kan udah minum tolak angin tadi lima bungkus," jawab Arkan asal. Dia berbaring di samping Keira, menarik selimut hanya sampai pinggang.

Suasana hening. Hanya terdengar suara dengungan mesin diffuser. Wangi melati semakin kuat.

"Ra," panggil Arkan dengan suara serak.

"Apa?"

"Lo ngerasa aneh enggak sih? Jantung gue deg-degan mulu dari tadi. Apa gue serangan jantung dini?" tanya Arkan polos.

Keira menoleh. "Itu karena lo kebanyakan kafein dan ginseng, Bodoh. Jantung lo dipaksa kerja lembur."

Arkan memiringkan tubuhnya menghadap Keira. Cahaya lampu tidur menyinari separuh wajahnya. Matanya terlihat sayu tapi intens.

"Atau mungkin karena ada lo di sebelah gue," gumam Arkan pelan.

Keira terdiam. Gombalan lagi. Tapi kali ini terdengar lebih tulus.

Arkan menggeser tubuhnya mendekat. Sangat dekat hingga lutut mereka bersentuhan di balik selimut. Tangan Arkan terulur, menyentuh pipi Keira yang hangat.

"Lo cantik banget hari ini, Ra. Walaupun tadi pagi muka lo kayak mayat hidup pas minum jus tauge," kata Arkan sambil tersenyum.

Keira tertawa kecil. "Lo juga ganteng. Walaupun tadi pas yoga lo kayak kakek-kakek encok."

Mereka tertawa bersama. Tawa yang meruntuhkan dinding kecanggungan. Arkan menatap bibir Keira. Dorongan itu begitu kuat. Efek tauge, jahe, aromaterapi, dan suasana romantis buatan mamanya sepertinya bekerja efektif. Atau mungkin murni karena perasaannya sendiri.

Arkan mendekatkan wajahnya. Keira tidak mundur. Dia terpaku menatap mata Arkan. Napas mereka bersatu.

"Boleh gue cium lo? Bukan di kening, bukan di pipi," bisik Arkan meminta izin. Dia menghormati Keira.

Jantung Keira berpacu cepat. Logikanya berteriak jangan dulu, tapi hatinya berbisik kenapa tidak. Keira memejamkan matanya perlahan sebagai tanda persetujuan bisu.

Arkan tersenyum. Dia memajukan wajahnya, mengikis jarak yang tersisa.

Bibir mereka hampir bersentuhan. Tinggal satu milimeter lagi.

Seekor nyamuk kebun yang besar dan hitam, yang masuk lewat celah jendela yang dibuka Arkan tadi, terbang melintas tepat di depan hidung mereka dengan suara mendengung nyaring.

Keira refleks menepuk nyamuk itu dengan keras.

Tepukannya mendarat bukan di nyamuk, tapi telak di pipi kanan Arkan. Keras sekali.

Arkan terlonjak kaget dan memegangi pipinya yang panas. Suasana romantis hancur berkeping-keping dalam sedetik.

"Aduh! Sakit, Ra! Lo kenapa nampar gue? Kalau enggak mau dicium bilang aja, jangan KDRT!" protes Arkan syok.

Keira membuka matanya panik. "Bukan! Ada nyamuk, Arkan! Sumpah ada nyamuk gede banget lewat di idung lo!"

"Nyamuk apa? Nyamuk siluman? Mana buktinya?" Arkan tidak percaya.

Keira melihat telapak tangannya. Kosong. Nyamuknya lolos.

"Nyamuknya kabur ... tapi beneran ada," cicit Keira merasa bersalah. Pipi Arkan merah membentuk cap lima jari.

Arkan menghela napas panjang. Dia menjatuhkan kepalanya ke bantal dengan frustrasi. Gagal lagi. Momen emas hilang gara-gara nyamuk.

"Nasib ... nasib. Mau romantis aja halangannya banyak banget. Udahlah, tidur aja. Besok gue pasang kelambu biar aman," gerutu Arkan sambil memunggungi Keira.

Keira menatap punggung suaminya dengan rasa bersalah bercampur geli. Dia mendekat, lalu memeluk pinggang Arkan dari belakang. Dia menempelkan pipinya di punggung lebar Arkan yang hangat.

"Maafin gue. Sakit ya?" bisik Keira.

Arkan tersenyum lebar meski tidak terlihat oleh Keira. Dia memegang tangan Keira yang melingkar di perutnya.

"Sakit sih. Tapi kalau dipeluk gini sembuh kok. Besok tampar lagi aja pipi kiri gue, biar seimbang, terus peluk lagi," goda Arkan.

Keira mencubit perut Arkan. "Dasar modus."

Mereka akhirnya tertidur dalam posisi itu. Berpelukan erat di bawah selimut, ditemani wangi melati yang mistis dan seekor nyamuk yang masih berkeliaran mencari mangsa. Program hamil Mama Rina mungkin belum berhasil malam ini, tapi setidaknya program mendekatkan hati mereka sukses besar.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!