Nayara Kirana seorang wanita muda berusia 28 tahun. Bekerja sebagai asisten pribadi dari seorang pria matang, dan masih bujang, berusia 35 tahun, bernama Elvano Natha Prawira.
Selama 3 tahun Nayara menjadi asisten pria itu, ia pun sudah dikenal baik oleh keluarga sang atasan.
Suatu malam di sebuah pesta, Nayara tanpa sengaja menghilangkan cincin berlian senilai 500 juta rupiah, milik dari Madam Giselle -- Ibu Elvano yang dititipkan pada gadis itu.
Madam Gi meminta Nayara untuk bertanggung jawab, mengembalikan dalam bentuk uang tunai senilai 500 Juta rupiah.
Namun Nayara tidak memiliki uang sebanyak itu. Sehingga Madam Gi memberikan sebuah penawaran.
"Buat Elvano jatuh cinta sama kamu. Atau saya laporkan kamu ke polisi, dengan tuduhan pencurian?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Five Vee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
17. Adrian Meminta Kontak Kamu.
Sepertinya kamu sangat senang bertemu dengan pria itu?” Ucap Elvano saat mereka sudah berada di tengah jalanan.
Nayara yang sedang memeriksa catatannya, pun menoleh ke arah sang atasan yang tengah fokus menyetir.
“Kami tidak begitu mengenal, pak.” Jujur Nayara. Ia memang tidak begitu mengenal anak pemilik lahan yang di garap oleh kedua orang tuanya.
Entah bagaimana pria bernama Adrian itu bisa mengenali wajah Nayara? Padahal mereka hanya bertemu sudah lama sekali.
Nayara saja tidak mengingatnya.
Elvano tidak puas mendengar jawaban sang asisten pribadi. Sebagai seorang pria dewasa, ia mengerti betul arti tatapan Adrian pada Nayara.
‘Baru seminggu merubah penampilan saja, sudah ada pria yang terang - terangan meliriknya.’
Batin Elvano mengumpat pelan. Ia memberhentikan mobilnya ketika lampu lalu lintas berwarna merah.
Seorang pengamen bernyanyi di samping kanan mobil. Membuat Elvano hendak memberikan uang.
“Jangan, pak. Kita jalan saja.” Nayara mencegahnya.
“Memangnya kenapa?” Tanya Elvano bingung.
“Jalan saja, pak. Lampunya sudah hijau.” Ucap gadis itu lagi. Dan Elvano pun menurut.
Tiba di lampu lalu lintas berikutnya, Nayara meminta ijin keluar sebentar dari dalam mobil.
Elvano mengerutkan dahinya. Ia melihat sang asisten pribadi yang tengah membeli beberapa kantong krupuk berwarna putih. Pada seorang pedagang asongan di pinggir jalan.
“Untuk apa kamu membeli krupuk sebanyak itu, Ra? Mau buka warung?” Tanya Elvano saat Nayara meletakkan kantong krupuk di kursi belakang.
“Kasihan penjualnya, pak.” Ucap gadis itu.
Elvano kembali mengerutkan dahinya.
“Tadi saya mau ngasih pengamen, kenapa kamu melarangnya?” Tanya pria itu sembari kembali melajukan mobilnya.
Nayara menghela nafas pelan. “Pak, pengamen itu masih muda, sehat dan kuat. Dia masih bisa mencari pekerjaan yang lebih baik. Sedangkan, penjual krupuk itu sudah tua. Saya sengaja membeli banyak, agar bapak penjualnya bisa pulang lebih cepat dan beristirahat.” Jelas gadis itu.
Elvano mengangguk paham. Ternyata, sang asisten pribadi memiliki jiwa sosial yang cukup tinggi.
Beberapa menit kemudian, mereka pun tiba di kantor. Sebelum turun dari mobil, Nayara mematut wajahnya pada cermin kecil yang ia bawa.
“Sejak kapan kamu jadi narsis begini, Ra?” Tanya sang atasan.
“Saya wanita tulen, jika bapak lupa.” Peringat Nayara.
“Jujur sama saya, kenapa kamu tiba - tiba berubah seperti ini? Mulai dari menggunakan gaun tanpa lengan, merias wajah, memotong rambut. Kamu mau merayu siapa?” Tanya Elvano penasaran.
Daripada menerka - nerka sendiri, lebih baik di tanyakan langsung pada orangnya.
Nayara menghembuskan nafas kasar. “Saya hanya ingin merubah diri, pak. Siapa tau, ada pria yang mau dengan saya. Sudah dua puluh delapan tahun, bukannya itu usia rawan untuk seorang wanita? Lewat tiga puluh belum menikah, pasti akan mendapatkan cibiran.”
Gadis itu kembali melancarkan aksinya. Jika dengan merubah penampilan tak membuat Elvano luluh, maka ia akan terus mengarang cerita untuk menarik simpati pria itu.
.
.
.
Nayara sedang berada di dapur penthouse. Elvano memintanya untuk membuat makan malam. Kebetulan, hari ini mereka tidak lembur, bisa pulang dari kantor lebih awal meski tidak tepat waktu.
Jika tidak lembur, Elvano akan pulang kantor setelah semua karyawannya meninggalkan gedung Prawira Holding Company.
Gadis itu sedang memasak ayam saus mentega, sembari menunggu nasi matang. Sementara, tumis buncis kesukaan Elvano telah tersaji di atas piring.
Saat hendak mencicipi saus ayam, ponsel yang ia letakkan di atas meja makan, tiba - tiba berdering kencang.
Gadis itu pun mematikan kompor, kemudian mengambil ponselnya.
“Ibu?” Kening Nayara berkerut tipis. Tak biasanya sang ibu menghubungi jika bukan hal penting.
Orang tua Nayara biasanya hanya mengirim pesan. Atau menghubungi Nayla jika mereka ingin mengobrol. Karena tau putri sulung mereka sangat sibuk dengan Elvano.
“Selamat malam, Bu.” Gadis itu menyalakan pengeras suara. Meletakkan ponselnya di atas meja dapur. Ia kembali melanjutkan pekerjaannya.
“Ra, kamu sudah bertemu dengan nak Adrian ‘kan?”
Sang ibu tidak membalas sapaannya, tidak pula menanyakan kabar, karena tadi pagi mereka sudah sempat bertukar pesan.
Nayara yang hendak mengangkat wajan berisi ayam, pun mengurungkan niatnya. Ia mendekati ponselnya.
“Ibu tau darimana?” Tanya gadis itu.
“Nak Adrian tadi menghubungi ayah kamu. Katanya, kamu potong rambut sampai sebahu. Dia hampir tidak mengenali kamu.” Jelas wanita berusia lima puluh lima tahun itu.
Kening Nayara kembali berkerut setelah mendengar penuturan sang ibu.
Apakah Adrian sedekat itu dengan orang tuanya?
“Bagaimana menurut kamu, Ra? Dia itu selain tampan, mapan, juga mandiri. Sudah hidup merantau selama lima tahun ini.” Sang ibu kembali berbicara.
Nayara menghela nafas pelan. “Aku bahkan merantau sejak kuliah, Bu.” Ucapnya.
Apakah wanita paruh baya itu lupa? Jika Nayara pindah ke Jakarta setelah dirinya mendapat beasiswa masuk perguruan tinggi.
“Ibu tau kamu memang gadis yang mandiri. Ibu sedang membahas nak Adrian. Menurut kamu, dia baik tidak? Cocok untuk di jadikan teman hidup.”
“Bu, aku baru bertemu dengannya sekali. Dan itu pun untuk urusan pekerjaan. Jadi, aku tidak memiliki kesan apapun.” Gadis itu kembali menghela nafas.
“Tidak apa - apa. Tadi nak Adrian sudah meminta kontak kamu. Kalian pasti akan bertemu lagi. Kalau dia ngajak jalan, luangkan waktu kamu sekali.”
Mata Nayara membulat sempurna. “Bu, kenapa memberikan nomor ponselku tanpa bertanya sebelumnya?”
Padahal ia sendiri tidak memberikan nomor ponselnya saat Adrian menanyakannya.
“Tidak apa - apa. Nak Adrian itu pemuda yang baik. Kalian pasti cocok menjadi teman.”
“Pak El.” Gumam gadis itu saat melihat Elvano berdiri di ujung tangga.
“Bu, nanti aku hubungi lagi. Salam sama ayah.” Tanpa menunggu jawaban sang ibu, Nayara pun memutuskan panggilan.
“Bapak mau makan sekarang?” Tanya gadis itu.
“Hmm.” Elvano berlalu menuju tempat penyimpan air minum.
Tubuhnya tiba - tiba terasa gerah setelah mendengar pembicaraan Nayara dan ibunya.
Ya. Elvano mendengarnya. Pria itu tiba di ujung tangga, saat ibu Nayara mengatakan Adrian telah meminta kontak sang asisten pribadi.
Padahal tadi siang Elvano sudah mencegah Nayara untuk memberikan nomor ponselnya. Rupanya, Adrian punya cara lain dengan menghubungi orang tua gadis itu,
“Pak —
“Kamu pasti senang karena sudah ada pria yang tertarik sama kamu.” Ucap Elvano setelah duduk di atas kursi meja makan.
Nayara menatap penuh kebingungan. “Bapak menguping pembicaraan saya dan ibu?” Tanyanya setelah mengerti ucapan pria itu.
“Siapa suruh menyalakan pengeras suara? Kamu kira saya mau semedi di dalam kamar, dan tidak turun - turun?” Sinis Elvano.
Nayara menghidangkan semua masakannya di atas meja.
Apa sebaiknya gadis itu lanjutkan saja karangan fiktif yang sudah ia ucapkan pada Elvano?
“Saya ‘kan tidak tau jika bapak akan turun secepat ini. Kalau tau, saya tidak akan menyalakan pengeras suara.” Ucap Nayara kemudian.
Elvano mendengus pelan. Ia tidak mempersalahkan jika Nayara menyalakan pengeras suara. Justru dengan itu, pria itu menjadi tau, jika Adrian telah memiliki nomor ponsel sang asisten pribadi.
nungguin si el bucin sama si nay..
ayok kak hari ini upny double 🤭