Kanaya hidup dalam gelembung kaca keindahan yang dilindungi, merayakan tahun-tahun terakhir masa remajanya. Namun, di malam ulang tahunnya yang ke-18, gelembung itu pecah, dihancurkan oleh HUTANG GELAP AYAHNYA. Sebagai jaminan, Kanaya diserahkan. Dijual kepada iblis.Seorang Pangeran Mafia yang telah naik takhta. Dingin, cerdik, dan haus kekuasaan. Artama tidak mengenal cinta, hanya kepemilikan.Ia mengambil Kanaya,gadis yang sepuluh tahun lebih muda,bukan sebagai manusia, melainkan sebagai properti mewah untuk melunasi hutang ayahnya. Sebuah simbol, sebuah boneka, yang keberadaannya sepenuhnya dikendalikan.
Kanaya diculik dan dipaksa tinggal di sangkar emas milik Artama. Di sana, ia dipaksa menelan kenyataan bahwa pemaksaan adalah bahasa sehari-hari. Artama mengikatnya, menguji batas ketahanannya, dan perlahan-lahan mematahkan semangatnya demi mendapatkan ketaatan absolut.
Bagaimana kelanjutannya??
Gas!!Baca...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nhaya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keputusasaan dan kepanikan Tuan
Sofia saat ini pun hanya berdiri di sana, di tengah ruang tamu penthouse yang dingin dan mewah. Ia menatap pintu kamar Kanaya, lalu menghela napas panjang.
Ia memijat pelipisnya dengan jari telunjuk dan ibu jari. Malam ini benar-benar menguras energi, melebihi semua urusan bisnis Artama yang pernah ia tangani. Ia baru saja menyaksikan pertengkaran paling brutal, ledakan emosi publik, perkelahian fisik, dan kini harus berakhir sebagai sipir penjara pribadi Artama.
"Tuan Artama benar-benar seorang b4jingan gila," pikir Sofia, rasa lelah melandanya.
"Sekarang aku harus menjadi penjaga gerbang untuk dua orang yang sama-sama keras kepala. Satu di dalam, menangis histeris. Satu lagi di dalam kamar mandi, merencanakan manipulasi berikutnya.".Gumamnya.
Sofia pun berjalan perlahan menuju sofa terdekat, tetapi ia memilih untuk tidak duduk.Ia tahu Artama serius dengan perintahnya.Ia memilih berdiri mematung, pandangannya tidak lepas dari pintu kamar Kanaya.
Ia pun menghela napas. "Pasti ada cara untuk menyelesaikan ini tanpa kehancuran total," bisik Sofia pada dirinya sendiri. "Artama terlalu lambat. Dan Nona Kanaya terlalu sensitif. Aku perlu memikirkan langkah selanjutnya."
Sofia hanya bisa berharap Artama tidak melakukan hal bodoh setelah ia selesai mandi. Kanaya jelas sudah berada di ambang batasnya.
Sofia sudah berdiri di depan pintu kamar Kanaya selama lebih dari satu jam.Dan ia pun telah mencoba segala cara.
Awalnya, ia mencoba membujuk dengan lembut.
"Nona Kanaya, ini Sofia.Tolong buka pintunya. Anda basah kuyup, Anda bisa sakit. Setidaknya biarkan saya mengambilkan handuk dan air hangat."
Tapi tidak ada jawaban dari sana, hanya isakan yang terus terdengar.Lalu kemudian, ia mencoba dengan nada yang lebih tegas, mencampur instruksi Artama dengan sedikit empati pribadi.
"Nona, saya tahu Anda marah. Tuan Artama memang keterlaluan. Tapi mengunci diri tidak akan menyelesaikan masalah. Lebih baik Anda mandi dan bersiap menghadapi monster itu. Jangan tunjukkan kelemahan."
Tapi sampai saat ini masih tidak ada respon.Hanya keheningan sesaat, yang kemudian disusul isakan kecil yang memilukan lagi dari dalam. Suara itu terasa sangat jauh, seolah Kanaya benar-benar menarik dirinya ke dalam cangkang kesedihan.
Sofia bahkan mencoba mengetuk lagi, lebih keras. "Nona, jika Anda tidak merespon, Tuan Artama pasti akan mendobrak pintu ini.Jangan membuat keadaan semakin buruk, tolong."
Isakan itu tetap menjadi satu-satunya jawaban.
Sofia pun menghela napas, menyandarkan dahinya di pintu yang dingin. Ia bisa merasakan betapa hancurnya Kanaya di balik pintu itu. Gadis itu tidak hanya mengunci pintunya, ia mengunci dirinya dari dunia.
Tepat pada saat Sofia sedang mencoba mendengarkan apakah ada gerakan di dalam, Artama pun telah keluar dari kamarnya. Ia sudah berganti pakaian menjadi t-shirt hitam dan jogger pants yang santai, tetapi aura dominasinya tidak berkurang.Ia tampak lebih segar, tetapi matanya masih memancarkan ketidakpuasan.
Artama pun melihat Sofia di depan pintu Kanaya.
"Sudah dibuka?" tanya Artama dengan nada dingin.
Sofia berbalik. "Belum, Tuan. Nona Kanaya masih mengunci diri. Saya sudah mencoba membujuknya, tetapi dia tidak merespon. Hanya terdengar terus isakan."
Artama lalu berjalan mendekat, langkahnya tenang namun penuh ancaman. "Kalau begitu, dobrak saja."
"Tuan!" seru Sofia, terkejut. "Tolong jangan! Nona Kanaya sedang berada di titik terendah. Jika Anda mendobrak pintu, saya khawatir dia akan semakin shock dan melakukan hal yang tidak terduga."
Artama menatap Sofia dengan tatapan tajam yang jarang ia tunjukkan pada asisten kepercayaannya.
"Kau membantah perintahku, Sofia?"
"Saya hanya mencoba mengingatkan Tuan tentang tujuan Tuan," balas Sofia, mencoba menjaga nada suaranya tetap hormat, tetapi tersirat sedikit keberanian.
"Tujuan Tuan adalah memiliki Nona Kanaya di sisi Tuan, bukan mematahkan semangatnya hingga ia benar-benar hancur. Jika Tuan bertindak kasar lagi, Nona Kanaya akan semakin membenci Tuan dan mencari cara lain untuk lari. Victor adalah masalah, tetapi rasa putus asa yang Tuan ciptakan adalah masalah yang lebih besar."
Mendengar itu,terjadi keheningan panjang. Artama menatap mata Sofia, seolah menimbang-nimbang kejujuran di baliknya. Artama tahu Sofia benar. Sofia adalah orang yang paling mengerti sisi lembutnya yang tersembunyi, meskipun ia benci mengakuinya.
Artama pun mengalihkan pandangannya ke pintu. Ia bisa mendengar isakan kecil itu, yang kini terasa lebih dekat.
"Dia menyalahkan aku," gumam Artama, lebih kepada dirinya sendiri.
"Dia memang harus menyalahkan Tuan," sela Sofia dengan berani. "Tuan mencl_lliknya.Tuan selalu memaksanya. Tuan membiarkannya dipermalukan. Dan Tuan memperlakukannya seperti properti. Tentu saja dia sangat marah."
Artama kemudian menarik napas kasar, wajahnya menegang.
"Jadi sekarang apa? kau menyarankan aku untuk berdiam diri saja? Membiarkan dia kelaparan, kedinginan, dan melarikan diri ke pelukan b4jingan itu?".Ucapnya terlihat frustasi.
"Tidak, Tuan. Saya menyarankan Tuan untuk mencoba cara yang berbeda," kata Sofia, kini suaranya lebih lembut.
"Nona Kanaya tidak merespon kemarahan.Dia merespons kehangatan, atau setidaknya... tindakan yang menunjukkan bahwa Tuan peduli. Bukan sebagai pemilik, tetapi sebagai... orang yang bertanggung jawab atas lukanya.Ingat Tuan,dia baru berumur Dlap4n b3las t4hun.Belum menjadi wanita dewasa seperti para klien Tuan."
Artama pun memejamkan mata sejenak, mengepalkan tangan yang berada di sisinya. Dia benci mengakui bahwa strategi manipulasinya yang dingin tidak bekerja pada gadis ini.
"Ambil kunci cadangan kamar itu," perintah Artama, nadanya masih kaku tetapi sedikit melunak.
"Dan siapkan satu set handuk kering, jubah mandi, dan segelas cokelat panas. Jangan bicara dengannya. Berikan padaku."
Sofia mengangguk cepat. Ini adalah kemajuan. "Baik, Tuan."
Artama akhirnya setuju untuk mencoba pendekatan yang berbeda.Walau awalnya terpaksa.
Sofia dengan cepat memberikan kunci cadangan, handuk kering, jubah mandi yang lembut, kepada Artama dan secangkir coklat panas yang ia pegang. Artama pun mengambil semuanya selain coklat panas itu.Tatapannya kini dipenuhi kecemasan yang mendalam, bukan lagi amarah. Ia telah mendengar isakan Kanaya dan menyadari betapa parahnya kondisi gadis itu.
Artama memasukkan kunci, memutarnya, dan mendorong pintu kamar Kanaya hingga terbuka.Pemandangan di dalam membuat Artama dan Sofia terkesiap.Kanaya tidak berada di tempat tidur.
Ia tergeletak meringkuk di lantai,tepat di dekat jendela kaca besar, di mana dinginnya malam terasa paling menusuk.Gaun safirnya yang basah kuyup, menempel di kulitnya.Tubuhnya bergetar hebat, bukan hanya karena tangisan, tetapi karena kedinginan yang ekstrem.
Wajah Kanaya saat ini sangat pucat, dengan lingkaran gelap di bawah mata.Bibirnya yang bergetar dan membiru, dan isakan yang keluar kini lebih seperti rintihan lemah.
"Nona Kanaya..".
Artama yang sigap langsung mendekat, menyentuh dahi Kanaya.Suhunya sangat tinggi.Ia demam.
"Kanaya!Buka matamu!" seru Artama, suaranya mengandung nada panik yang belum pernah didengar Sofia.
Artama pun segera menjatuhkan barang-barang yang ia bawa, berlutut di lantai yang dingin, dan dengan cepat mencoba merengkuh tubuh Kanaya yang menggigil.
Sentuhan Artama yang tiba-tiba justru memicu reaksi yang mengerikan.Kanaya, yang berada dalam keadaan setengah sadar antara demam dan histeria, merasakan sentuhan Artama sebagai ancaman. Di matanya, Artama adalah monster yang mencuulik nya, yang menghancurkannya.
Ia menjerit histeris. "Jauhi aku! Jangan sentuh aku! Pergi!"
Tepat saat itu, Sofia yang berdiri di ambang pintu masuk dengan hati-hati, membawa nampan kecil berisi obat-obatan darurat. Di nampan itu terdapat segelas air dan cokelat panas yang tadi.
Kanaya melihat cokelat panas di tangan Sofia.Mungkin dalam pikirannya yang demam, itu adalah satu-satunya pelarian.
"Aku...harus m4ti!!".Katanya.
Dengan kekuatan yang tak terduga, Kanaya menyambar cangkir cokelat panas dari tangan Sofia. Niatnya mungkin hanya untuk melempar agar gelas itu pecah dan belingnya ia gunakan untuk bl_l nuh d!ri, tetapi cangkir itu terlepas dari genggaman Kanaya yang gemetar.
Cokelat panas yang mendidih itu langsung tumpah ke tubuhnya sendiri.Sebagian besar siraman panas itu mengenai paha dan betisnya yang tertutup gaun basah, dan sebagian lagi mengenai kedua tangannya.
"AAAAAARRGGHHH!" Kanaya berteriak kesakitan, jeritannya kini bukan lagi isakan sedih, melainkan jeritan penderitaan fisik. Ia meronta-ronta, cengkeraman Artama di bahunya pun kini terasa menyakitkan.
Sofia langsung menjatuhkan nampan, gelas air pecah di lantai.Ekspresinya pun menunjukkan kepanikan total.
"Ya Tuhan! Luka bakar! Nona!" seru Sofia, bergegas mendekat.
Artama, yang sudah panik melihat demam Kanaya, kini menjadi sangat panik.Ia melihat kulit Kanaya di tangan dan pahanya langsung memerah karena air panas. Ia lupa tentang harga diri, amarah, dan Victor. Fokusnya hanya pada gadis yang terluka dan sakit di pelukannya.
"Argh!!sakit sekali!!".Teriak Kanaya.
"Sofia! Panggil dokter! Sekarang! Dokter pribadiku! Bilang ini darurat medis serius! Dan bawa es! Cepat!" perintah Artama, suaranya lantang dan nyaris tidak terkendali. Ia kini menahan tubuh Kanaya, mencoba menenangkan rontaan gadis itu.
"Kanaya!!Tenanglah,Sayang.Aku akan membantumu!" Artama berbisik panik, mencoba memegang tangan Kanaya yang melepuh.
"Artama..sakit sekali..".
Kanaya pun hanya terus menjerit, gemetar hebat. Ia tidak bisa membedakan sentuhan menyakitkan dari Artama sebelumnya atau rasa panas dari air cokelat.
Sofia yang sigap, meskipun wajahnya pucat, segera meraih ponselnya. Ia tahu, Artama tidak butuh didorong lagi. Artama kini berada di ambang kehancuran karena kepanikan dan rasa bersalah yang baru saja menghantamnya.
Next....