Di balik kemewahan rumah Tiyas, tersembunyi kehampaan pernikahan yang telah lama retak. Rizal menjalani sepuluh tahun tanpa kehangatan, hingga kehadiran Hayu—sahabat lama Tiyas yang bekerja di rumah mereka—memberinya kembali rasa dimengerti. Saat Tiyas, yang sibuk dengan kehidupan sosial dan lelaki lain, menantang Rizal untuk menceraikannya, luka hati yang terabaikan pun pecah. Rizal memilih pergi dan menikahi Hayu, memulai hidup baru yang sederhana namun tulus. Berbulan-bulan kemudian, Tiyas kembali dengan penyesalan, hanya untuk menemukan bahwa kesempatan itu telah hilang; yang menunggunya hanyalah surat perceraian yang pernah ia minta sendiri. Keputusan yang mengubah hidup mereka selamanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5
Tidak sampai sepuluh menit setelah Hayu menutup telepon.
Terdengar suara sirine ambulans sudah terdengar memasuki gerbang perumahan.
Hayu segera membuka pintu lebar-lebar dan memandu petugas medis yang sigap masuk dengan tandu dorong.
Dengan bantuan para petugas, Hayu ikut menopang tubuh Rizal yang lemas dan membantu memindahkannya ke tandu.
"Siapa keluarga pasien?" tanya salah satu perawat.
"Saya pembantunya, Sus. Istri beliau sedang pergi," jawab Hayu dengan wajah panik.
"Baik, Anda ikut kami. Segera hubungi keluarganya," perintah perawat tersebut.
Hayu mengangguk cepat dan ikut naik ke ambulans.
Perawat memasang selang oksigen dan perawat sibuk memeriksa kondisinya.
Di dalam ambulans, Hayu mencoba menghubungi Tiyas berkali-kali, tetapi teleponnya tidak diangkat.
"Tiyas, angkat ponselmu. Suamimu di rumah sakit," gumam Hayu.
Sesampainya di IGD Rumah Sakit Husada, Rizal langsung ditangani oleh dokter dan perawat.
Hayu hanya bisa berdiri cemas di depan pintu ruang UGD.
Setelah hampir setengah jam menunggu, seorang dokter paruh baya keluar dari ruangan.
"Dengan keluarga Bapak Rizal?" tanya Dokter tersebut.
"Saya pembantu beliau, Dok. Istrinya sulit dihubungi. Bagaimana kondisi Bapak Rizal?"
Dokter menghela napas panjang sebelum menjawab pertanyaan dari Hayu.
"Pasien mengalami shock emosional dan serangan jantung ringan (mild cardiac arrest). Tekanan darahnya sempat anjlok. Untungnya cepat dibawa ke sini. Apakah pasien memiliki riwayat penyakit jantung atau stres berat sebelumnya?"
Hayu menggelengkan kepalanya dan ia tidak tahu.
"Tadi sebelum pingsan, beliau bertengkar dengan istrinya." ucap Hayu.
"Itu pemicunya. Kondisi fisik dan mentalnya sedang lemah. Kami sudah stabilkan, tapi beliau harus dirawat intensif setidaknya 1x24 jam untuk observasi," jelas Dokter. "
Hayu menganggukkan kepalanya dan ia meminta Dokter untuk memberikan yang terbaik.
Dokter memanggil perawat untuk memindahkan Rizal ke ruang perawatan.
Setelah dokter pergi, ia kembali mencoba menghubungi Tiyas.
Ia mendengar suara nada sambung berulang kali, tetapi telepon itu tetap tidak dijawab, hingga akhirnya nomor Tiyas tidak aktif.
"Ya ampun, Tiyas. Mas Rizal di rumah sakit, kamu malah menghilang," gumam Hayu frustrasi sambil mengusap air mata yang tiba-tiba menetes.
Ia merasa sendirian mengurus majikannya yang sedang kritis, sementara istri sahnya entah berada di mana.
Seorang perawat datang dan memberitahu bahwa Rizal sudah dipindahkan ke kamar rawat VIP.
Hayu menganggukkan kepalanya dan segera menuju kamar tersebut.
Di dalam kamar, Rizal terlihat lemah terbaring, dengan selang infus menancap di tangannya dan monitor EKG terus berbunyi perlahan di sampingnya.
Wajahnya yang pucat membuat Hayu semakin merasa iba.
Ia mengamati wajah Rizal, wajah yang semalam memujinya dan yang pagi ini sarapan dengan lahap.
Hayu tidak menyangka jika Rizal harus menanggung beban pengkhianatan emosional dari istrinya sendiri.
"Pak, tolong cepat sembuh ya. Saya di sini. Saya akan jaga Bapak sampai Tiyas datang," bisik Hayu,
Meskipun ia tahu Tiyas mungkin tidak akan datang secepat itu, atau bahkan tidak akan datang sama sekali.
Hayu menggenggam tangan Rizal yang tidak terpasang infus.
Air mata Hayu kembali menetes saat merasakan tangan Rizal yang sangat dingin.
Sementara itu di tempat lain dimana Tiyas baru saja menghentikan mobil mewahnya di depan sebuah gedung apartemen kelas atas di Bandung.
Ia mematikan mesin mobilnya dan mengeluarkan tas kecilnya.
Ia segera berjalan tergesa-gesa ke dalam gedung dengan wajahnya yang menunjukan rasa bahagia.
Tiyas tiba di lantai lima dan menekan bel sebuah unit.
Ting... tong...
Tak berselang lama, pintu terbuka dan sesosok pria tampan dengan tubuh atletis membuka pintu apartemennya.
Dialah kekasih gelap Tiyas dan alasan utama mengapa Tiyas selalu sibuk, jarang pulang, dan mengabaikan suaminya selama ini.
"Sayang, akhirnya kamu datang juga," sambut Robby dengan suara merdu.
Tiyas tidak membuang waktu dan langsung memeluk erat tubuh Robby.
"Sayang, aku berhasil. Aku sudah katakan pada Rizal kalau aku mau cerai!" seru Tiyas dengan nada penuh kemenangan.
Robby yang mendengarnya langsung mencium kening Tiyas.jl
"Dia langsung shock dan aku tinggalkan begitu saja. Akhirnya aku dan Rizal akan bercerai, dan kita bisa bersama, Rob"
Robby membopong tubuh Tiyas dan membawanya ke tempat tidur.
Tiyas tertawa senang saat Robby membopongnya.
Pria tampan itu meletakkannya dengan lembut di atas ranjang king size yang dipenuhi bantal.
"Kamu hebat, Sayang. Sebentar lagi kita akan bebas dari bayangan pria tua itu," bisik Robby, tatapannya penuh gairah.
Tiyas menganggukkan kepalanya dan memang sudah lama ia tidak mencintai Rizal.
"Rizal tidak akan pernah mengerti, Rob. Dia itu sudah terlalu tua dan hanya ingin anak, anak, dan anak! Sedangkan aku? Aku hanya ingin hidup bebas bersamamu, Rob," jawab Tiyas sambil melingkarkan lengannya di leher Robby.
Robby tersenyum licik saat mendengar perkataan dari Tiyas.
Ia semakin yakin jika kehidupannya akan berjalan mulusnya menuju kehidupan nyaman.
"Mulai sekarang hari ini milik kita, Sayang. Mari rayakan awal kebebasanmu," ucap Robby.
Ia mengambil sebotol sampanye dingin dari mini bar dan menuangkannya ke dua gelas kristal yang sudah disiapkan.
"Untuk perpisahan yang indah," ujar Robby, menyodorkan salah satu gelas kepada Tiyas.
"Untuk awal yang baru," balas Tiyas, menyambut gelas itu.
Mereka berdentingkan gelas, dan Tiyas meneguk minumannya dengan cepat.
Tiyas merasakan euforia yang memabukkan, bukan hanya dari alkohol, tetapi juga dari perasaan terbebas dari rantai pernikahan yang sudah lama ia anggap sebagai beban.
"Aku sudah lama merindukan ini, Rob. Rizal terlalu sibuk dengan urusan kantor dan keinginannya tentang anak. Dia tidak pernah tahu apa yang aku butuhkan, apa yang aku inginkan."
Robby mengangguk kecil sambil memeluk tubuh Tiyas.
"Aku tahu, Sayang. Aku ada di sini untuk memenuhi semua yang kamu butuhkan dan inginkan. Rizal itu masa lalu. Kita adalah masa depan."
Siang itu di tengah kemewahan dan alunan musik lembut, Tiyas menghabiskan waktu dalam kenikmatan yang ia anggap sebagai puncak kebahagiaan.
Di Rumah Sakit Husada, jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam.
Ia baru saja kembali dari kamar mandi setelah membasuh wajah dan menunaikan shalat Isya.
Ia menatap Rizal, yang kini tertidur lelap di bawah pengaruh obat penenang.
"Lebih baik aku tidur sebentar saja," gumam Hayu yang kemudian memejamkan matanya.
Detik demi detik berganti dan jam menunjukkan pukul empat pagi.
Di dalam kamar rawat VIP, keheningan hanya dipecahkan oleh suara monitor EKG yang berdetak stabil dan suara napas teratur dari Rizal.
Perlahan-lahan Rizal membuka matanya dan melihat Hayu yang tertidur dengan posisi meringkuk di kursi yang ada disamping tempat tidurnya.
"Seharusnya Tiyas yang ada dikursi itu, Yu. Tapi kenapa malah kamu yang setia menemani aku." gumam Rizal.