Alara Davina terpaksa menikah kontrak dengan Nathan Erlangga, CEO dingin yang menyimpan luka masa lalu. Saat cinta mulai tumbuh di antara mereka, Kiara Anjani—sahabat yang ia percaya—ternyata adalah cinta pertama Nathan yang kembali dengan niat jahat. Pengkhianatan demi pengkhianatan menghancurkan Alara, bahkan membuatnya kehilangan calon buah hati. Dalam pusaran air mata dan kepedihan, bisakah cinta sejati bertahan? Sebuah perjalanan emosional tentang cinta, pengkhianatan, dan penebusan yang akan mengguncang hati setiap pembaca hingga ending bahagia yang ditunggu-tunggu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 29: MAKAN MALAM YANG BERACUN
Sabtu malam tiba lebih cepat dari yang Alara inginkan. Ia berdiri di depan cermin kamarnya, merapikan dress maroon selutut yang simple tapi elegant. Nathan masuk dengan kemeja hitam dan celana bahan—casual tapi tetap tampan.
"Kamu cantik," katanya sambil berdiri di belakang Alara, memeluknya dari belakang.
"Aku nervous," bisik Alara.
"Aku ada. Selalu." Nathan mencium puncak kepala Alara. "Kalau ada yang nggak beres, kita langsung pulang. Deal?"
"Deal."
Mereka berangkat dengan mobil Nathan—menuju restoran mewah di kawasan Senayan yang Kiara pilih. Restoran dengan private room, dengan suasana yang... intim.
Begitu masuk, Kiara sudah menunggu dengan dress putih yang stunning, make up flawless, dan senyum yang sempurna.
"Nathan! Alara! Sini!" Ia berdiri—memeluk Nathan dulu (sedikit terlalu lama, Alara perhatikan) baru kemudian memeluk Alara dengan pelukan yang... awkward.
"Terima kasih sudah datang," kata Kiara sambil duduk. "Aku pesan wine. Kalian mau?"
"Aku nggak minum," kata Alara cepat.
"Oh, aku lupa kamu nggak suka alkohol." Kiara tersenyum—tapi ada sesuatu di senyumnya. "Nathan, kamu mau kan? Kita dulu sering minum wine bareng."
Kata "kita dulu" itu terasa seperti jarum kecil menusuk Alara.
Nathan melirik Alara—lalu menggeleng. "Aku juga nggak minum. Nyetir."
Kiara terlihat sedikit kecewa tapi cepat sembunyikan dengan senyum. "Oke, juice aja kalau gitu."
Makan malam dimulai dengan percakapan ringan—tentang pekerjaan, tentang proyek Emerald Heights, tentang cuaca. Tapi Alara bisa merasakan—ada tension. Ada sesuatu yang Kiara pendam.
Di tengah main course, Kiara tiba-tiba tertawa kecil sambil menatap ponselnya.
"Oh, aku nemu foto lama." Ia menatap Nathan dengan tatapan nostalgia. "Nathan, kamu inget nggak waktu kita ke Lombok? Lima tahun lalu?"
Alara merasakan dadanya sesak. Nathan terlihat tidak nyaman.
"Kiara—"
"Ini lihat." Kiara sudah menunjukkan ponselnya—foto Nathan dan Kiara di pantai, dengan Nathan yang tersenyum lebar—senyum yang Alara jarang lihat—memeluk Kiara dari belakang.
Mereka terlihat... bahagia. Sangat bahagia.
"Kita happy banget waktu itu," kata Kiara sambil menatap foto dengan tatapan yang... penuh rindu. "Itu trip pertama kita bareng. Kamu inget nggak, Nathan? Kamu bilang... kamu bilang itu weekend terbaik dalam hidupmu."
Nathan menatap piringnya—rahang mengeras. "Kiara, itu dulu."
"Aku tahu." Kiara tersenyum sedih. "Tapi tetap... tetap jadi kenangan indah bagiku."
Alara menatap piring di depannya—nafsu makan hilang total. Sesuatu di dadanya sakit—bukan karena cemburu, tapi karena... insecure. Insecure bahwa ia tidak akan pernah bisa menggantikan Kiara di hati Nathan.
"Anyway," Kiara melanjutkan sambil swipe foto. "Ini waktu kita ke Singapore. Ini waktu anniversary kita yang pertama. Oh, ini waktu—"
"CUKUP." Nathan menatap Kiara dengan tatapan tajam. "Kenapa kamu tunjukin foto-foto itu?"
Kiara terlihat terkejut—tapi Alara bisa lihat, itu acting. "Aku cuma... aku cuma kangen masa-masa itu. Maaf kalau—"
"Kita kesini untuk makan malam. Bukan untuk nostalgia." Nathan berdiri—meraih tangan Alara. "Kita pulang."
"Nathan, tunggu—" Kiara juga berdiri. "Maafin aku. Aku nggak bermaksud—"
"Kamu tahu persis apa yang kamu lakukan," potong Nathan dingin. "Dan aku nggak akan biarkan kamu sakitin Alara lagi."
Ia menarik Alara—yang masih diam membeku—keluar dari private room.
Tapi sebelum pintu tertutup, Alara sempat mendengar suara Kiara berbisik—bisikan yang cukup keras untuk didengar:
"Kamu bisa bohong ke dirimu sendiri, Nathan. Tapi kamu nggak bisa bohong ke hati. Kamu masih cinta aku."
Kata-kata itu menancap di dada Alara seperti pisau.
DI MOBIL, PERJALANAN PULANG
Hening. Hening yang sangat berat.
Nathan menyetir dengan rahang yang mengeras, tangan mencengkeram setir dengan kuat. Alara duduk di samping—menatap kosong ke jalan di depan.
"Alara—" Nathan mencoba bicara.
"Aku nggak mau bahas ini sekarang." Suara Alara pelan—terlalu pelan.
"Tapi aku harus jelasin—"
"Jelasin apa?" Alara akhirnya menatap Nathan—mata yang berkaca-kaca. "Kalau kamu punya masa lalu sama dia? Aku tahu itu. Kalau kamu dulu bahagia sama dia? Aku juga tahu itu."
"Tapi itu DULU—"
"Tapi dia bilang kamu masih cinta dia." Air mata Alara jatuh. "Dan kamu nggak bantah."
Nathan terdiam—karena ia memang tidak bantah tadi.
"Karena aku... aku shock dan nggak sempet—"
"Atau karena sebagian dari kamu... masih ragu?" Alara menatap Nathan dengan tatapan yang penuh luka. "Masih ragu apakah kamu benar-benar sudah move on dari dia?"
"TIDAK!" Nathan hampir berteriak. "Aku sudah move on! Aku cinta KAMU!"
"Lalu kenapa..." Suara Alara bergetar. "Kenapa waktu di Bali, kamu hampir bilang sesuatu tapi nggak jadi? Kenapa kamu terlihat... takut?"
Nathan terdiam—karena Alara benar. Ia takut. Takut untuk sepenuhnya membuka diri, takut untuk sepenuhnya jatuh cinta, takut untuk... terluka lagi.
"Aku..." Nathan tidak bisa melanjutkan.
Alara mengangguk—senyum pahit di wajahnya. "Aku mengerti. Kamu masih takut. Dan aku... aku nggak bisa maksa kamu untuk nggak takut."
Mereka sampai di mansion. Alara turun dari mobil—berjalan cepat masuk tanpa menunggu Nathan.
Nathan duduk di mobil—tangan masih di setir, kepala tertunduk.
Sial. Aku mengacaukan semuanya.
Tapi ia tidak tahu—tidak bisa tahu—bahwa ini baru awal dari kehancuran yang Kiara rencanakan.
Dan yang terburuk... belum datang.