NovelToon NovelToon
MANTAN TENTARA BAYARAN: SEORANG MILIARDER 2

MANTAN TENTARA BAYARAN: SEORANG MILIARDER 2

Status: sedang berlangsung
Genre:Mata-mata/Agen / Trauma masa lalu / Action / Crazy Rich/Konglomerat / Kaya Raya / Balas Dendam
Popularitas:11.9k
Nilai: 5
Nama Author: BRAXX

Setelah menumbangkan Tuan Tua, James mengira semuanya sudah selesai. Namun, di akhir hidupnya, pria itu justru mengungkapkan kebenaran yang tak pernah James duga.

Dalang di balik runtuhnya keluarga James bukanlah Tuan Tua, melainkan Keluarga Brook yang asli.

Pengakuan itu mengubah arah perjalanan James. Ia sadar ada musuh yang lebih besar—dan lebih dekat—yang harus ia hadapi.

Belum sempat ia menggali lebih jauh, kemunculan lelaki tua secara tiba-tiba:
Edwin Carter, penguasa Pulau Scarlett yang ternyata adalah ayah kandung Sophie.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BRAXX, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

SECEPAT ITU??

James berdiri diam sejenak, matanya menyapu lapangan latihan yang hiruk pikuk, deretan mobil yang berkilau di bawah matahari pagi, serta garis-garis baja dari fasilitas dua lantai itu.

"Selamat pagi, bos. Kau datang lebih awal."

Suaranya tegas namun penuh hormat. Jasmine melangkah maju dengan setelan bisnis rapi, papan catatan di tangan, posturnya tegak. Di belakangnya berdiri deretan pria bersetelan sempurna, jajaran senior perusahaan—para komandan, ahli strategi, dan spesialis, masing-masing dipilih dengan cermat.

James menoleh ke arahnya dengan anggukan tipis. "Selamat pagi. Aku menyukai tempat ini—hasilnya melampaui ekspektasiku."

Jasmine membiarkan senyum kecil muncul. "Aku senang kau menyukainya, Tuan. Izinkan aku memperkenalkan. Ini adalah orang-orang yang akan mengelola tempat ini—"

James mengangkat tangan, menyelesaikan kalimatnya sendiri. "Mayor Charles. Siapa yang tidak mengenal mantan Mayor Angkatan Darat yang terkenal itu."

Seorang pria tinggi berbahu lebar melangkah maju, "Hei, bos. Senang akhirnya bisa bertemu denganmu."

Tangan mereka saling bertaut. Mata Charles melirik ke bawah, dan untuk sepersekian detik, insting prajuritnya membocorkan sesuatu.

Tatapan James menajam sedikit. "Ada apa, Tuan Charles?"

Charles tersadar, lalu meluruskan postur tubuhnya. "Tidak ada, bos. Hanya... merasa terhormat. Terima kasih atas kesempatan ini. Izinkan aku memperkenalkan para pemimpin tim."

Ia memberi isyarat ke para pria bersetelan di sampingnya. "Mereka adalah para pemimpin kelompok kami. Masing-masing memimpin unit khusus. Mereka terlatih, teruji, dan siap menjalankan operasi apa pun atas perintahmu."

James mengangguk, "Senang bertemu dengan kalian semua."

Rombongan bergerak menuju gedung operasi. Di dalam ruang komando, layar-layar menyala menampilkan grid kota, simulasi taktis, dan pengawasan langsung.

Jasmine menyesuaikan kacamatanya, lalu melapor dengan ringkas. "bos, kita sudah mendapat klien pertama."

James mengangkat alis. "Secepat itu?"

"Ya," jawab Jasmine. "Itu Nona Remington."

Mata James menyipit. "Alicia? Menggantikan keamanan yang sudah ada?"

"Sepertinya," kata Jasmine hati-hati, "dia lebih mempercayaimu."

Keheningan tipis terbentang sebelum James menjawab, "Kepercayaan lebih berharga daripada kontrak."

Rencana dibentangkan di atas meja—detail perlindungan, alokasi sumber daya, koordinasi antar unit-unit Charles.

Saat pertemuan berakhir, James meninggalkan Jasmine untuk mengawasi administrasi dan logistik. Ia masuk ke mobilnya, dan melaju.

Pusat kota hidup oleh dengung lalu lintas dan obrolan pagi. Mobil James menyelinap mulus ke arus, namun matanya terus bergerak.

Saat itulah ia menyadarinya.

Sebuah mobil mewah terparkir dekat sebuah kafe. Di depan pintu berdiri seorang pria bersetelan hitam dan kacamata gelap, pandangannya menyapu ke sekeliling jalan.

‘Bukankah ia berada di lapangan latihan beberapa saat lalu?’

Tatapan James menyempit, lalu beralih ke mobil itu. Bibirnya melengkung tipis. ‘Jadi... klien pertama kita sudah di sini.’

Ia memarkir di sudut, turun, dan mendekat.

Pria itu segera menegakkan diri. "Hei, bos."

Mata James melirik kearahnya. "Hei. Siapa namamu?"

"Aku Finn, penanggung jawab keamanan Nona Remington."

James sedikit memiringkan kepala. "Finn... katakan padaku, apakah tidak masalah jika aku menemui klienmu?"

Finn tersenyum kecil. "Tentu. Aku bukan siapa-siapa untuk menghentikan bosku."

Tatapan James mengeras sedikit. "Kau harus berhati-hati. Bagaimana jika aku seorang penyamar?"

Tanpa gentar, Finn memberi isyarat ke perangkat komunikasi di telinganya. "Kau bukan. Tim di markas sudah mengkonfirmasi kedatanganmu."

Mata James melirik perangkat itu. "Kerja bagus."

Dia melewatinya, mendorong pintu kaca kafe, lalu melangkah masuk.

Aroma biji kopi panggang menyambutnya, hangat dan mengundang. Di meja sudut, Alicia Remington duduk dengan sepotong roti panggang yang tinggal setengah.

"Bolehkah mantan pengawalmu minum kopi bersamamu?" kata James, nadanya datar.

Alicia menoleh, roti panggang masih di antara giginya. Matanya membesar. "J-Jamesss!" Dia bergumam, lalu menggigit, mengunyah, dan menelan dengan cepat. "James! Duduklah!"

James duduk ke kursi di seberangnya, "Ada apa? Kau sudah terlihat lelah. Ada masalah dengan bisnismu?"

Alicia menghela napas dramatis. "Ya... kemarin sangat kacau. Terlalu banyak yang harus kuurus."

"Jadi sang bos sendiri harus bekerja sekeras ini?" tanya James, mengangkat alisnya.

"Ya, ya," gumam Alicia sambil mengibaskan tangannya. "Aku tidak memiliki gadis muda berbakat yang menjalankan semuanya untukku seperti kau."

"Maksudmu Jasmine," kata James, bibirnya melengkung tipis. "Dia memang berbakat."

Alicia bersandar kebelakang, cemberut. "Ia belajar dari mana sih? Sekolah dan kampus tidak mengajariku hal-hal berguna seperti itu."

James menyeringai kecil. "Mungkin dia punya bos yang baik."

Alicia memutar mata, lalu tersenyum. "Benarkah? Yah... aku setuju."

Pelayan datang, meletakkan cangkir kopi yang masih mengepul. Alicia condong ke depan, rasa ingin tahu berkilat di matanya. "Jadi? Bagaimana kabar keluargamu? Bagaimana kabar Bibi, Paman... dan si kembar lucu? Aku ingin bertemu mereka lagi."

Ekspresi James melunak saat mendengarnya. "Mereka baik-baik saja. Bahkan, Mama akan membuka restorannya sendiri."

Alicia hampir melompat dari kursinya. "Serius?! Di mana?! Aku akan menjadi pelanggan tetap disana, janji!"

"Kau akan segera tahu," jawab James tenang.

Alicia kembali cemberut, namun kilau di matanya mengkhianati kegembiraannya.

"Jadi," tanyanya sambil menyeruput kopi, "kemana kau mau pergi?"

"Hanya berkeliling," kata James. "Melihat Finn di luar, jadi aku mampir kesini."

Alicia menyeringai. "Dia pengawal yang bagus, kan?"

James melirik ke jendela, nadanya datar. "Ya, dia bagus."

Alicia mendekat, tiba-tiba usil. "Hei... kalau kau hanya berkeliling, boleh aku ikut? Aku juga bosan."

James menatapnya. "Bagaimana dengan pekerjaanmu?”

"Tidak ada rapat hari ini," katanya cepat, lalu tersenyum. "Tidak apa-apa."

James mengembuskan napas. "Tapi aku mau ke tempat yang... agak mencurigakan."

Senyum Alicia melebar. "Kedengarannya menantang."

"Itu klub pertarungan bawah tanah," akui James, suaranya rendah.

Mata Alicia langsung berbinar. "Itu bahkan lebih seru! Tunggu—klub pertarungan di siang hari?"

"Mereka menyiarkan ke penonton virtual di luar negeri," jelas James. "Uang taruhan besar disana."

Alicia condong ke depan, kegembiraan terdengar di suaranya. "Aku tahu—pasti seru! Ayo, kita pergi!"

James menghela napas, tahu penolakan tak ada gunanya. "Baiklah. Ayo kita pergi."

Beberapa saat kemudian, mobilnya melaju meninggalkan kafe, Alicia duduk di kursi penumpang.

Di belakang mereka, Finn mengikuti dengan mobil Alicia.

Klub pertarungan bawah tanah itu berdenyut dengan energi mentah begitu James, Alicia, dan Finn melangkah masuk.

Lampu-lampu redup menggantung di langit-langit, berkedip di balik kabut asap dan debu. Sebuah ring persegi berdiri di tengah, tali-talinya ternodai oleh pertarungan tak terhitung. Tanah bergetar oleh raungan penonton—pria dan wanita berdesakan, berteriak, bersorak, kepalan tangan terangkat di udara.

Meski masih pagi, tempat itu hidup seperti tengah malam.

Deretan layar virtual raksasa membentang di dinding, menyiarkan pertarungan ke penonton luar negeri. Angka-angka berkedip tanpa henti—jumlah taruhan naik turun. Penghitung digital berkedip dalam angka merah, terus naik tinggi dengan setiap pukulan yang dilayangkan di dalam ring.

James memimpin Alicia dan Finn menembus kerumunan, tangan Finn sesekali menyentuh earpiece saat ia berbisik memberi perintah ke komunikasi, mengkoordinasikan mata-mata tak terlihat yang sudah tersebar di seluruh fasilitas.

Di loket tiket, James membayar untuk sebuah Ruangan privat. Dengan anggukan halus, petugas menuntun mereka ke lantai atas menuju balkon berdinding kaca yang menghadap ke kerumunan.

Mereka bertiga masuk, pintu menutup di belakang. Di bawah, dua petarung saling bertarung di ring.

"Di kiri!" suara komentator menggelegar lewat pengeras suara, "Kita punya Rico ‘The Jackal’ Martinez! Cepat, brutal, petarung jalanan dengan enam knockout berturut-turut!"

Kerumunan bergemuruh saat petarung bertato bertubuh ramping melepaskan pukulan liar, memaksa lawannya mundur.

"Dan di sebelah kanan," komentator mengaum, "kalian semua mengenalnya—juara tak terkalahkan kita! Sang gunung itu sendiri! Brutus Kane! Pria yang belum pernah kalah selama tiga tahun!"

Ring bergetar ketika Brutus—seorang pria besar berotot—menerima pukulan Rico hanya dengan dengusan. Serangannya balik cepat dan tanpa ampun, pukulan kanan yang menghantam keras, membuat Rico terhuyung-huyung ke tali ring.

"Rico dalam bahaya!" teriak komentator saat layar taruhan menyala, peluang Brutus mendominasi tampilan.

Alicia condong ke depan di kursinya, matanya berkilau dengan kegembiraan. "Ini sangat seru, bukan?"

James meliriknya, nadanya tenang, hampir tertawa. "Aku tidak tahu kalau kau tertarik dengan hal-hal seperti ini."

Alicia tersenyum, menyibakkan rambutnya. "Yah... sebenarnya itu semua karena Ayah. Dia suka hal-hal seperti ini—balapan, pertandingan tinju. Mungkin sudah mengalir di darahku."

James mengangkat alis. "Jadi Paman Alexander juga punya sisi seperti ini?"

Alicia tertawa kecil. "Kebanyakan karena koneksi bisnis. Kau akan terkejut betapa banyak kesepakatan yang dia buat di tempat-tempat seperti ini."

Di ring, Brutus menghantam Rico dengan pukulan yang menggelegar. Wasit meluncur masuk, menghitung dengan cepat. Para penonton menjerit setuju saat pembawa acara mengangkat tangan Brutus.

"Dan sekali lagi! Juara sepanjang masa klub ini! Brutus Kane yang tak terkalahkan!"

Brutus mengaum, suaranya menggema lewat mikrofon saat ia merebutnya dari pembawa acara. "Ada yang bisa mengalahkanku?!"

Arena berguncang oleh kebisingan. Ada yang tertawa, ada yang berteriak, kebanyakan bersorak. Tak seorang pun yang berani maju.

Di Ruangan atas, bibir James melengkung membentuk senyum kecil. Ia berdiri perlahan dari kursinya, kehadirannya cukup menarik tatapan waspada Finn dan mata Alicia yang melebar.

"Sekarang jadi lebih menarik," gumam James.

Alicia membeku, rasa cemas menyala di matanya. "Tunggu—kau tidak serius—"

Senyum James bertahan, tatapannya terkunci pada sang juara yang meraung di bawah. "Oh, aku serius."

Alicia condong ke depan, tangannya ingin menghentikannya. "James, tunggu—kau..."

...

Citadel City: di suatu tempat di pedesaan.

Ruangan itu redup, tirai setengah tertutup, dengung kipas langit-langit tua memotong kesunyian. Kyle duduk di tepi kursi kulit, tangannya mengetuk-ngetuk meja hingga ponselnya bergetar.

Ia menjawab tanpa ragu. "Ada apa?" Nada suaranya sudah tidak sabar.

Di seberang sana, suara Luna terdengar. "Kabar buruk, bos."

Kyle bersandar kebelakang, menghembuskan napas melalui hidungnya. "Aduh... lagi? Apa lagi sekarang?"

"Ada informasi bocor," kata Luna datar. "Angkatan Laut menggerebek pangkalan Ocean. Pengiriman hampir selesai, tapi disita—termasuk kapal pengangkutannya."

Kyle membeku. Genggamannya pada ponsel mengencang, urat-urat menonjol di buku jarinya. "...Apa?" Suaranya merendah. "Jangan bilang—separah itu."

Luna tidak bergeming. "Tidak ada yang menghubungkanmu ke pangkalan itu, bos. Tidak ada satu jejak pun produksi atau operasi kita. Aku sudah memastikan itu. Apa pun yang tersisa—aku membakarnya sebelum kembali ke daratan."

"Itu hanya kerugian kecil."

Kyle menarik napas pelan, lalu menghembuskannya, rahangnya mengeras. "Kerugian kecil tetaplah kerugian."

Keheningan menggantung sejenak.

"Apa ada kabar terbaru tentang siapa yang membocorkan informasi itu?" tanya Kyle.

"Tidak ada yang pasti," jawab Luna. "Tapi dugaanku... pejabat. Yang sebelumnya menerima suap. Setelah Tuan Tua tiada, pembayaran berhenti. Jadi mungkin mereka..."

Kyle menghantam sandaran tangan kursi, "Aku akan mengurus mereka dulu." Suaranya menggeram. "Datang ke Citadel City. Sekarang."

"Aku akan segera kesana, bos."

1
Noer Asiah Cahyono
lanjutkan thor
MELBOURNE: selagi nunggu bab terbaru cerita ini
mending baca dulu cerita terbaruku
dengan judul SISTEM BALAS DENDAM
atau bisa langsung cek di profil aku
total 1 replies
Naga Hitam
the web
Naga Hitam
kamuka?
Naga Hitam
menarik
Rocky
Karya yang luar biasa menarik.
Semangat buat Author..
Noer Asiah Cahyono
keren Thor, aku baru baca novel yg cerita nya perfect, mudah di baca tapi bikin deg2an🥰
MELBOURNE: makasihh🙏🙏
total 1 replies
Crisanto
hallo Author ko menghilang trussss,lama muncul cuman up 1 Bab..🤦🙏
Crisanto: semangat Thor 🙏🙏
total 2 replies
Crisanto
Authornya Lagi Sibuk..Harap ngerti 🙏
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!