NovelToon NovelToon
SATU MALAM YANG MENINGGALKAN TRAUMA

SATU MALAM YANG MENINGGALKAN TRAUMA

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Dikelilingi wanita cantik / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:286
Nilai: 5
Nama Author: ScarletWrittes

Helen Hari merupakan seorang wanita yang masih berusia 19 tahun pada saat itu. Ia membantu keluarganya dengan bekerja hingga akhirnya dirinya dijual oleh pamannya sendiri. Helen sudah tidak memiliki orang tua karena keduanya telah meninggal dunia. Ia tinggal bersama paman dan bibinya, namun bibinya pun kemudian meninggal.

Ketika hendak dijual kepada seorang pria tua, Helen berhasil melawan dan melarikan diri. Namun tanpa sengaja, ia masuk ke sebuah ruangan yang salah — ruangan milik pria bernama Xavier Erlan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ScarletWrittes, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 17

“Enggak kok, Pak. Saya cuma bercanda. Lagi pula saya nggak mungkin punya mobil semewah ini. Saya juga mikirin pajaknya… mahal.”

“Kamu nggak usah mikirin pajaknya. Kan pajaknya saya yang bayar. Kenapa kamu harus mikir pajaknya? Kamu tinggal pakai aja.”

Helen mulai mempertanyakan, apakah dirinya ini pacar Pak bos sampai bisa diperlakukan seperti itu? Ya… dia juga nggak mau, kali.

“Ya nggak bisa lah, Pak. Saya bukan pacar Bapak. Saya juga nggak punya hak itu dong.”

“Makanya kemarin saya bilang kamu jadi pacar saya. Kamu nggak mau sih, sok-sokan.”

“Bukan sok-sokan, Pak. Tapi saya nggak bisa jadi pacar Bapak. Dan saya juga yakin Bapak pasti punya tunangan atau pacar. Jadi nggak mungkin kan kalau Bapak suka sama saya.”

Xavier merasa Helen hanya sok tahu dan tidak bisa berkata apa-apa lagi untuk menjelaskan atau menanyakan hal yang lebih dalam.

“Kenapa sih kalau kamu tuh penasaran sama sesuatu, kamu nggak pernah nanya ke saya langsung? Kamu cuma tahu dari orang lain doang.”

Helen merasa heran. Kenapa setiap pria itu berbicara kepadanya, dirinya selalu diam dan tidak bisa membalas ucapan pria tersebut? Padahal ia ingin sekali membalas, walaupun hanya sedikit, daripada tidak sama sekali.

Sebenarnya Helen juga penasaran dengan pria itu, tetapi ia takut untuk berbicara. Ia merasa terbatasi oleh status mereka yang sangat berbeda—bos dan pegawai. Untuk apa, pikir Helen, capek-capek menanyakan hal tersebut? Toh, paling juga ia tidak dianggap dan hanya dipandang sebagai orang biasa yang tidak berperan penting, lalu akhirnya dilupakan.

Helen hanya tidak mau berharap banyak kepada seseorang yang tidak bisa memberinya harapan itu.

“Tuh kan, saya ajak bicara, malah diem aja. Padahal saya udah capek loh berbicara sama kamu, tapi nggak dianggap.”

“Lagian, Bapak bilangnya nggak jelas sih. Makanya saya nggak tahu, Bapak bilang apa.”

“Saya bilang, kenapa kamu nggak ngasih tahu saya kalau mau tahu sesuatu tentang saya?”

Helen tidak pernah merasakan hal itu, tetapi kenapa bosnya malah merasa seperti itu, ya?

“Saya nggak pernah merasa penasaran kok sama hidup Bapak. Emangnya saya berbicara seperti itu, ya?”

“Buktinya kamu bilang kalau saya punya pacar, padahal kamu sendiri nggak tahu kalau saya punya pacar atau nggak. Kamu tahu dari mana saya punya pacar atau enggak?”

“Saya cuma nebak aja kok, Pak. Karena saya yakin, pasti orang setampan Bapak pasti punya pacar. Nggak mungkin kan, orang setampan Bapak nggak punya pacar dan nggak jelas main dengan wanita lain?”

Xavier tidak menyangka kalau pikiran Helen seperti itu terhadapnya. Padahal, dirinya tidak pernah berbicara apa-apa.

“Gini ya, saya aja nggak pernah ngerasa kalau saya itu punya pacar. Kalau seandainya saya punya pacar, saya nggak mungkin kan perhatian sama kamu?”

Sopirnya yang mendengar itu hanya diam saja, tersenyum, tetapi tidak pantas untuk berbicara karena sopirnya juga tidak ditanya sama sekali.

“Ya, sebenarnya Bapak udah punya atau belum, itu bukan urusan saya sih. Karena kan saya memang bukan orang yang ada dalam hubungan hidup Bapak. Kita nggak ada hubungan apa-apa, Pak, jadi untuk apa juga saya tahu?”

“Agar kamu nggak salah paham ke depannya. Karena saya begini hanya ke kamu doang, dan saya nggak pernah mau mencari wanita lain selain kamu. Titik, dan paham?”

Helen masih merasa bingung. Kenapa bos tampan ini malah menyukai dirinya? Dia kan bukan siapa-siapa, hanya wanita yang tidak ada manfaat apapun.

“Bapak beneran nggak salah bicara, kan? Suka sama saya?”

“Kau mau saya bicara gimana? Kau mau saya tembak di depan umum biar percaya? Saya sih berani aja, tapi nggak boleh hal itu.”

Helen merasa kalau bosnya sudah gila dan tidak berpikir panjang lagi. Sepertinya, Helen harus segera mengakhiri drama gila ini, karena drama ini tidak bisa berkepanjangan seperti apa yang diharapkan oleh bosnya.

“Pak, saya harap Bapak bisa turunin saya di pinggir sana, karena saya tidak mau berbicara apapun sama Bapak. Saya merasa, sepertinya Bapak sudah mulai melenceng dalam berbicara kepada saya.”

Bosnya jadi merasa bingung dan berpikir keras, bagaimana agar wanita ini tidak marah kepadanya.

“Saya minta maaf, karena saya ada kurang ajar sama kamu, tapi itulah perasaan saya sesungguhnya pada kamu. Bahkan sebenarnya saya mau banget beli semua villa di rumah itu, biar saya bisa bersama kamu, agar kamu tidak bertemu dengan pria lain. Tapi saya nggak mau seperti itu, karena saya tahu pasti kamu akan merasa tidak nyaman sama saya, dan pasti kamu akan makin benci sama saya. Maka dari itu, saya nggak mau melakukan hal itu.”

Helen merasa bersyukur kalau bos mengerti bahwa apa yang diucapkannya itu salah, tetapi ia masih berpikir lagi. Kenapa ada pria seperti ini, ya? Sebenarnya ini kesempatan langka yang harusnya dia senangi atau malah sedih? Atau mungkin, keduanya—senang dan sedih—bercampur jadi satu.

“Beri saya waktu, Pak. Saya nggak bisa menentukan semuanya sendiri, karena saya juga bingung harus membawanya ke mana. Saya tidak pernah dicintai secara ugal-ugalan seperti ini.”

Bosnya hanya tersenyum, dan merasa pasti dirinya punya kesempatan. Karena selain tampan, dirinya juga memiliki segala hal yang tidak dimiliki oleh pria lain. Begitulah pikiran bosnya.

"Gimana jawabannya lama banget sih? Aku udah nungguin dari tadi, Mas. Aku nggak dikasih kepastian sama kamu."

"Berharap apa coba sama anak ABG kayak aku? Padahal udah tahu kalau aku itu anak ABG, tetap aja diharapin."

"Walau kamu anak ABG, tapi kamu tetap lucu kok. Aku merasa kamu kayaknya orang yang benar-benar bisa diandalkan."

Helen tidak pernah merasa dirinya bisa diandalkan, karena kedua orang tuanya aja tidak mau mengurus dirinya. Bagaimana dirinya bisa diandalkan?

"Pak Bos merasa berlebihan, menurut saya tidak. Karena orang tua saya saja tidak menginginkan saya. Bagaimana Pak Bos bisa berkata seperti itu?"

Xavier merasa bersalah kepada Helen, dan seharusnya dia tidak berbicara seperti itu.

"Maafin saya ya, kalau saya nggak sengaja melukai hati kamu. Tapi saya benar-benar tidak tahu kalau misalkan perkataan saya ada yang salah untuk kamu. Tapi saya harap saya tidak akan mengulanginya kembali."

Helen tersenyum saja dan merasa tidak terbebani, karena memang perkataannya tidak sama sekali salah, jadi untuk apa merasa terbebani?

"Nggak apa-apa, Pak. Emang perkataan Bapak nggak salah. Mungkin saya ini aja terlalu baperan."

Setelah sampai di sekolah, Helen merasa malas untuk bersekolah, tapi dirinya memang harus sekolah karena sudah dibayari oleh Pak Bos.

"Pak, kalau boleh saya jujur ya, saya males banget bawa sekolah, tapi karena saya dibayarin Bapak, saya jadinya nggak enak sama Bapak, makanya Bapak sampai jemput saya seperti ini kan?"

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!