⚠️ sebelum baca cerita ini wajib baca Pengantin Brutal ok⚠️
Setelah kematian Kayla dan Revan, Aluna tumbuh dalam kasih sayang Romi dan Anya - pasangan yang menjaga dirinya seperti anak sendiri.
Namun di balik kehidupan mewah dan kasih berlimpah, Aluna Kayara Pradana dikenal dingin, judes, dan nyaris tak punya empati.
Wajahnya selalu datar. Senyumnya langka. Tak ada yang tahu apa yang sesungguhnya disimpannya di hati.
Setiap tahun, di hari ulang tahunnya, Aluna selalu menerima tiga surat dari mendiang ibunya, Kayla.
Surat-surat itu berisi kenangan, pengakuan, dan cinta seorang ibu kepada anak yang tak sempat ia lihat tumbuh dewasa.
Aluna selalu tertawa setiap membacanya... sampai tiba di surat ke-100.
Senyum itu hilang.
Dan sejak hari itu - hidup Aluna tak lagi sama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kim elly, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
chapter 25
Rumah Ray sepi. Hanya suara jam dinding dan langkah kaki ART dari kamar belakang.
Aluna berdiri di tengah ruang tamu, menatap sekeliling. Ray mengajaknya ke kamarnya.
“Tidur aja ya,” ucap Ray sambil menaruh kunci di meja. “Tapi… nggak ada baju cewek di sini.”
Ia membuka kaosnya dan berganti pakaian santai.
“Gini aja lah,” sahut Aluna cuek, lalu duduk di tepi ranjang. Wajahnya memerah karena efek alkohol.
“Pusing, Ray…” ujarnya manja sambil memegangi kepala.
Ray menatapnya, lalu tersenyum samar. “Tidur ya, Al. Aku di sini.”
Tapi Aluna menatap balik dengan pandangan lembut yang membuat Ray terdiam. Dalam tatapan itu, tidak ada lagi amarah—hanya luka yang butuh disembuhkan.
Ray perlahan mendekat. Jarak mereka menipis. Dan tanpa banyak pikir, bibirnya menyentuh bibir Aluna.
Aluna sempat kaget, tapi tidak menolak. Ia membalas ciuman itu perlahan, seolah ingin melupakan segalanya malam itu.
Ciuman mereka lama—bukan karena nafsu, tapi karena keduanya sama-sama butuh kehangatan.
Saat mereka berpisah, Ray masih bernafas berat.
“Tidur, ya. Aku di sini, janji.” bisiknya.
“Hmm…” jawab Aluna pelan sebelum akhirnya tertidur di pelukannya.
Malam itu, untuk pertama kalinya setelah semua kekacauan, Aluna tertidur tenang.
Keesokan harinya, mereka berangkat sekolah bersama. Aluna tak membuka ponselnya sama sekali. Ia tak tahu kalau Bu Ami kritis akibat malam penuh emosi itu.
Di halaman sekolah, Safiya anak Salsa menghampirinya. Nafasnya tergesa.
“Aluna!”
“Iya, Kak?” sahut Aluna dengan lembut, meski suaranya lemah.
“Nenek kamu sakit. Kamu nggak tahu?”
Aluna menatap Safiya kaget. “Sakit apa?”
“Darah tinggi. Dibawa ke rumah sakit. Parah katanya.”
Jantung Aluna langsung berdegup keras. “Makasih ya, Kak,” ucapnya buru-buru, lalu membuka ponselnya. Puluhan pesan masuk.
Pesan terakhir dari Axel terbaca di layar:
Kamu di mana, sayang? Nenek kritis.
Belum sempat ia membalas, Romi sudah berdiri di gerbang sekolah.
“Pulang ya,” katanya lembut sambil menggenggam tangan Aluna.
“Kemana?” tanya Ray bingung.
Aluna hanya memberi isyarat dengan ponsel, lalu pergi bersama Romi.
Di rumah sakit, suasana menegangkan. Ruangan penuh orang—Axel, Laura, Herman—dan di sisi ranjang, seorang penghulu berdiri siap dengan kitab di tangan.
“Nenek… apa ini?” tanya Aluna heran, suaranya gemetar.
Bu Ami tersenyum lemah. Nafasnya tersengal. “Nenek ingin lihat… papa kamu nikah dulu… sebelum nenek pergi…”
“Apa?!” seru Aluna terkejut. Matanya langsung menatap Axel yang berdiri di sebelah Laura.
Wanita ular itu? pikirnya geram.
“Maafkan papa, ya,” ucap Axel pelan, nyaris berbisik.
“Nggak!” Aluna berontak, ingin pergi, tapi Romi menahannya kuat.
“Diam, Al!” katanya tegas.
Prosesi ijab kabul pun berlangsung. Kata “sah” menggema di ruangan itu bersamaan dengan tarikan napas terakhir Bu Ami.
“Nenek?!” jerit Aluna, matanya membelalak.
“Ma! Bangun, Ma!” Axel mengguncang tubuh ibunya, tapi Bu Ami sudah tak bergerak.
“Pasien meninggal dunia. Sabar, ya, Pak,” ucap dokter dengan nada datar.
“Apa ini…” suara Aluna pecah. Ia jatuh berlutut di lantai, tubuhnya lemas.
Laura mendekat dengan hati-hati. “Sabar ya, Aluna.”
Namun Aluna langsung mendelik, menatapnya tajam penuh kebencian. Ia menggenggam tangan Romi dan berdiri menjauh.
“Pergi lo!” bentaknya keras.
“Al, jangan gitu,” bisik Romi, menarik Aluna ke dalam pelukannya.
“Dia rebut papa dari aku!” tangis Aluna pecah lagi.
“Nggak, dia nggak rebut Papa Axel. Dia baik kok, Al,” ucap Romi, berusaha menenangkan sambil mengelus rambutnya.
“Nggak mau!” Aluna membenamkan wajahnya di dada Romi, tubuhnya bergetar hebat.
Laura hanya menunduk, mencoba sabar di tengah kebencian yang menyelimuti ruangan itu.
Pagi itu, mobil jenazah melaju perlahan. Aluna naik mobil bersama Romi, menatap kosong ke luar jendela.
“Nenek itu baik… kenapa nenek harus meninggal…” ucapnya lirih, meneteskan air mata.
“Sabar, sayang. Jangan nangis terus. Nanti sakit,” ucap Romi pelan.
“Sakit, Pah… semalam aku sakit banget. Ingat penderitaan ibu, sekarang aku harus kehilangan orang yang aku sayangi…” tangis Aluna pecah.
Romi hanya diam. Tangannya mengusap bahu Aluna lembut.
Mobil terus melaju cepat, membawa mereka menuju rumah keluarga Pradana—meninggalkan duka, amarah, dan cinta yang belum sempat disembuhkan.
bersambung...
tapi ruwetan baskara aluna🤣
tapi aku suka ama anaknya🤣