Aruna tahu hidupnya tidak lama lagi. Demi suami dan putri kecil mereka, ia memilih sesuatu yang paling menyakitkan... mencari wanita yang akan menggantikannya.
Alana hadir sebagai babysitter tanpa mengetahui rencana besar itu. Adrian salah paham dan menilai Lana sebagai perusak rumah tangga. Namun, pada akhirnya Aruna memaksa keduanya menikah sebelum ia pergi untuk selamanya.
Setelah Aruna tiada, Adrian larut dalam rasa bersalah dan menjauh dari istri keduanya. Lana tetap bertahan, menjalankan amanah Aruna meski hatinya terus terluka. Situasi semakin rumit saat Karina, adik Aruna berusaha merebut Adrian dan menyingkirkan Lana.
Akankah Adrian berani membuka hati untuk Alana, tanpa mengkhianati kenangan bersama Aruna? Atau justru semuanya berakhir dengan luka yang tak tersembuhkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rere ernie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter — 17.
Pagi di rumah Adrian berjalan lebih lembut dari biasanya. Aroma nasi goreng buatan Alana mengisi udara. Alima duduk di kursi makan, menyuap sarapannya dengan riang. Sementara itu, Adrian berdiri di dekat jendela ruang makan, menyesap kopi sambil menatap pekerjaan dari tablet.
“Mas, maaf kalau rasanya kurang.”
Adrian menoleh dan menatap piringnya sejenak. “Kurang apa? Ini enak banget.”
Pujian itu sederhana tapi berhasil membuat wajah Alana bersemu. “Saya takut ada yang kurang...”
“Lidahku gampang menyesuaikan, meski masakan kamu asin sekalipun...” ucap Adrian santai sambil tersenyum samar, kata-katanya mirip seperti kemarin di restoran.
Alima menatap keduanya, tertawa tanpa paham. “Papa gangguin Bunda, ya?”
Adrian tersenyum lebar, menyentil ujung hidung anaknya. “Papa cuma ngobrol.”
Momen itu sederhana, tapi cukup membuat suasana rumah terasa hidup. Untuk pertama kalinya, Alana merasa seperti benar-benar menjadi bagian dari rumah itu. Bukan hanya pengasuh, bukan juga sekadar tamu.
Namun kebahagiaan sederhana itu tidak bertahan lama.
Di tempat lain, Karina duduk di meja kafe mewah dengan segelas latte di tangannya. Wajahnya tampak tenang, tapi matanya menyimpan bara yang belum padam. Di depannya duduk dua wanita sosialita yang dulu sering diundang ke acara keluarga besar Halim.
“Jadi, Adrian beneran menikah lagi?” tanya salah satunya dengan nada penuh gosip.
Karina memasang wajah lembut yang dibuat-buat. “Ah, aku sih nggak mau banyak komentar. Tapi ya, kasihan aja sama kak Aruna. Baru meninggal, suaminya udah nikah lagi. Sama... pengasuhnya sendiri.”
Kedua wanita itu saling pandang, matanya berbinar penuh rasa ingin tahu.
“Pengasuh? Maksudmu babysitter Alima?”
Karina menyesap minumannya pelan, pura-pura enggan bicara. “Aku nggak tahu detailnya. Cuma denger dari orang rumah, katanya dulu Alana cuma bantu urus anak. Mungkin karena kasihan, Adrian menikahinya. Tapi ya... siapa sih yang nggak mau hidup enak?”
Nada suaranya lembut, tapi cukup beracun untuk merusak citra siapa pun. Ia tahu berita itu akan menyebar cepat, lebih cepat dari apa pun di lingkungan sosial mereka. Ia tak perlu menjelekkan Alana secara langsung, cukup menanamkan keraguan.
“Aku denger malah dia masih dapet ‘uang perawatan’ dari Adrian, bukan nafkah istri. Jadi nikahnya cuma formalitas aja,” tambahnya pura-pura berbisik.
Wanita di seberang meja terperangah. “Astaga, kasihan banget Aruna kalau itu benar.”
Karina tersenyum tipis, ia merapikan tasnya lalu berdiri anggun. “Maaf, aku harus pergi dulu. Jangan bahas hal ini di luar ya, aku cuma cerita karena kalian teman dekat.”
Begitu keluar dari kafe, Karina menyalakan ponselnya. Sebuah pesan singkat masuk, dari seseorang bernama Mirna, salah satu pelayan di rumah keluarga Halim yang ia bayar untuk memberikan informasi.
[Nona Karina, saya dengar kabar... Nyonya mulai ingin menyelidiki istri baru Tuan Adrian.]
Senyum licik muncul di wajahnya. Karina sudah punya rencana baru. Jika fitnah tak cukup, maka bukti palsu akan bicara.
Sore itu di rumah, Alana sedang menjemur pakaian. Angin lembut berhembus, membuat rambutnya terurai sedikit. Ia tak tahu bahwa di seberang jalan, seseorang sedang memotret dari balik kaca mobil.
Di ruang keluarga, Adrian baru pulang dari kantor lebih awal. Ia melihat Alana dari balik jendela, dan tanpa sadar tersenyum kecil. Pemandangan itu terasa... damai.
Wanita itu sederhana, tapi ada sesuatu dalam caranya bergerak. Ada kesabaran, tanpa banyak bicara yang membuat rumah itu terasa hidup lagi.
Saat Alana kembali masuk membawa keranjang cucian, Adrian sudah duduk di sofa sambil membuka laptop.
“Mas pulangnya kok cepat,” katanya pelan.
“Capek di kantor, aku mau makan di rumah,” jawab Adrian santai. “Kamu masak apa malam ini?”
“Rencananya sih sup ayam, Alima suka.”
“Bagus, aku juga.”
Alana tersenyum samar, lalu berjalan ke dapur. Suara panci dan sendok mengisi rumah. Adrian sesekali melirik ke arah dapur, menatap punggung wanita itu.
Beberapa menit kemudian, Alana keluar membawa dua cangkir teh hangat. “Mas, ini. Sambil nunggu makan malam.”
Adrian menerima dengan senyum kecil. “Kamu selalu inget teh sore ya.”
Alana menunduk. “Nyonya Aruna dulu suka begitu.”
Keduanya sama-sama diam, nama itu masih menggantung seperti bayangan masa lalu. Namun kali ini, tidak ada lagi luka tajam. Hanya kenangan yang mulai bisa diterima.
Adrian menatap Alana lama. “Kamu tahu nggak, Aruna dulu selalu bilang... kalau aku terlalu dingin buat orang lain?”
Alana menatap Adrian. “Mungkin karena Mas sering menahan perasaan.”
“Mungkin,” jawab Adrian singkat. “Tapi akhir-akhir ini, aku belajar buat nggak menahan terlalu banyak.”
Alana menunduk, tangannya memainkan cangkir. “Saya senang kalau begitu.”
Untuk beberapa detik, tak ada yang bicara. Tapi dalam diam itu, ada pemahaman. Mereka tidak perlu mengucapkan banyak hal untuk saling tahu, bahwa jarak di antara mereka perlahan mulai berkurang.
Keesokan paginya, Alana mengantar Alima ke sekolah seperti biasa. Beberapa ibu murid lain berbisik-bisik sambil melirik ke arahnya. Alana sempat merasa heran, tapi memilih diam.
Salah satu dari mereka menghampirinya dengan senyum palsu. “Mbak Alana, ya? Saya dengar-dengar, Mbak sekarang tinggal di rumah Pak Adrian?”
Alana menatap sopan. “Iya, benar.”
“Oh, luar biasa ya... dari pengasuh anak bisa jadi istri. Jarang-jarang loh, orang bisa beruntung kayak Mbak.”
Nada bicaranya manis, tapi tatapannya menilai. Alana hanya membalas senyum seadanya, menahan rasa perih yang tiba-tiba naik ke dada.
“Eh, katanya sih nikahnya cuma karena ingin uang ya?” celetuk ibu lain pura-pura berbisik.
Alana terdiam, ada rasa sesak tapi ia menahan diri. Ia tahu, membantah hanya akan membuat api makin besar. Jadi ia memilih diam, memegang tangan Alima lebih erat.
Setelah mereka pergi, Alana berdiri lama di depan pagar sekolah.
Berarti gosipnya sudah menyebar, dia tak perlu menebak siapa dalangnya.
Malamnya, Alana duduk di teras depan sendirian. Lampu halaman memantulkan cahaya lembut di wajahnya, Adrian yang baru keluar dari ruang kerja melihatnya.
“Kamu kenapa?” tanyanya mendekat.
Alana menggeleng cepat. “Nggak apa-apa, Mas.”
“Tadi kamu kelihatan murung waktu makan malam.”
Alana menatap tanah. “Mas... orang-orang ngomongin saya.”
Adrian mengernyit. “Ngomongin apa?”
“Katanya saya cuma... menikah karena uang. Karena Mas ngasih uang perawatan, bukan karena cinta. Mereka bilang saya cuma pengasuh yang numpang hidup jadi orang kaya.”
Suara Alana bergetar di akhir kalimatnya. Air matanya hampir jatuh, tapi ia menahannya dengan keras.
Adrian terdiam beberapa detik, wajahnya menegang. “Siapa yang ngomong kayak gitu?”
“Saya nggak tahu. Tapi... sepertinya dari orang yang dekat sama kamu, Mas.”
Adrian mengepalkan tangan, rahangnya mengeras. Ia tahu siapa yang dimaksud.
“Jangan pikirin omongan orang,” katanya akhirnya, suaranya rendah tapi tegas. “Kamu nggak perlu buktiin apa-apa ke mereka, kamu cuma perlu jadi diri kamu sendiri. Aku tahu... kamu nggak seperti yang mereka bilang.”
Alana menatap suaminya, air matanya akhirnya jatuh. “Tapi saya nggak mau membuat nama Mas jadi jelek.”
Adrian melangkah mendekat, menatapnya dalam. “Nama baik itu nggak penting, tapi kehilangan orang yang tulus seperti kamu... susah dicari.”
Alana terdiam, matanya membulat kecil.
“Kalau mereka mau ngomong, biarin. Aku yang akan beresin semuanya.” Nada suara Adrian kali ini tak bisa dibantah. Ia lalu berjalan masuk, menelepon seseorang dengan wajah dingin.
“Karina, kita perlu bicara!"
Di seberang, suara Karina terdengar bergetar. “M-Mas Adrian, saya—”
“Aku tau kamu yang menyebarkan fitnah pada Alana! Aku kasih waktu dua puluh empat jam buat kamu datang ke rumah dan minta maaf langsung ke istriku. Kalau tidak... aku pastikan kamu nggak akan punya tempat di lingkaran keluarga ini lagi.”
Suaranya dingin, tapi penuh kuasa. Setelah menutup telepon, Adrian kembali ke teras.
Alana masih duduk di tempatnya. Ketika pria itu duduk di sebelahnya, Alana pelan menatapnya. “Mas, nggak perlu sekeras itu.”
Adrian menatap langit malam. “Aku nggak mau diam saja sewaktu orang lain ngerusak hidup kita. Apalagi, waktu ada yang ingin merusak hidupmu.”
Alana menggigit bibir, berusaha menahan emosi yang tiba-tiba menyeruak. “Terima kasih, Mas.”
Adrian menatapnya sebentar. “Aku cuma ngelakuin apa yang seharusnya dilakukan seorang suami.”
Di langit, bulan separuh menggantung. Di hati keduanya, jarak itu hampir hilang meski dunia di luar belum berhenti berbisik.
Keesokan harinya, Karina menatap layar ponselnya dengan tangan gemetar.
Satu pesan dari Adrian.
[Datang hari ini, minta maaf di pada Alana. Ini bukan negosiasi!]
Wajahnya memucat, ia tahu Adrian sudah tak sama. Pria itu kini benar-benar berdiri di sisi wanita yang ia remehkan.
Tapi Karina bukan tipe yang menyerah.
Ia menatap pantulan dirinya di cermin, bibirnya melengkung dingin. “Baiklah, Mas Adrian. Kalau kamu mau perang... aku akan mulai dengan cara yang lebih halus.”