Intan Puspita Dewi (17) tidak pernah membayangkan masa mudanya akan berakhir di meja akad nikah. Lebih parah lagi, laki-laki yang menjabat tangan ayahnya adalah Argantara Ramadhan—dosen paling dingin, killer, dan ditakuti di kampus tempatnya baru saja diterima.
Sebuah perjodohan konyol memaksa mereka hidup dalam dua dunia. Di rumah, mereka adalah suami istri yang terikat janji suci namun saling membenci. Di kampus, mereka adalah dosen dan mahasiswi yang berpura-pura tak saling kenal.
"Jangan pernah berharap aku menganggap ini pernikahan sungguhan," ucap Arga dingin.
Namun, sekuat apa pun mereka menjaga rahasia, tembok pertahanan itu perlahan retak. Ketika benci mulai terkikis oleh rasa cemburu, dan dinginnya sikap perlahan mencair oleh perhatian, sanggupkah mereka menyangkal bahwa cinta telah hadir di antara skenario sandiwara ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon muliyana setia reza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sakit Yang Tak Terlihat
Akibat dari keputusan impulsif memakan seblak level 5 di tengah malam dengan perut kosong dan hati yang patah, pagi ini Intan harus membayar mahal.
Sejak bangun tidur, perutnya terasa seperti diperas kain basah. Melilit, perih, dan panas. Wajahnya pucat pasi, bibirnya kering. Namun, Intan tetap memaksakan diri berangkat ke kampus. Ia lebih takut sendirian di kamar kost sempit itu dan teringat Arga, daripada menahan sakit di tengah keramaian.
"Tan, muka lo putih banget kayak mayat. Yakin kuat kuliah?" tanya Sarah cemas saat mereka berjalan menyusuri koridor Fakultas Ekonomi. Sarah memegangi lengan Intan, siap menyangga jika sahabatnya itu tumbang.
"Aman, Sar. Cuma telat makan doang," dusta Intan sambil menekan perutnya dengan tas ransel. "Gue nggak mau bolos. Dosennya Pak Bambang, kalau absen sekali nilainya langsung terjun bebas."
Mereka berjalan pelan menuju lift. Saat pintu lift berdenting terbuka di lantai 3, Intan berharap hari ini ia bisa melewati waktu tanpa drama.
Namun, semesta sepertinya senang mempermainkannya.
Tepat di depan lift, berdiri Argantara Ramadhan dan Clarissa.
Mereka sepertinya baru saja keluar dari ruang dosen. Arga memegang tumpukan berkas, sementara Clarissa sedang tertawa renyah menanggapi sesuatu yang diucapkan Arga. Mereka terlihat serasi, profesional, dan... bahagia.
Langkah Intan terhenti. Napasnya tercekat, dan rasa mual di perutnya naik drastis hingga ke kerongkongan.
Arga menoleh saat mendengar pintu lift terbuka. Matanya langsung menangkap sosok Intan.
Senyum di wajah Arga lenyap seketika. Ia melihat wajah istrinya yang sepucat kertas. Ia melihat keringat dingin di pelipis Intan. Dan ia melihat bagaimana tangan Intan mencengkeram perutnya erat-erat.
Insting Arga berteriak. Dia sakit.
Kaki Arga refleks bergerak maju satu langkah, ingin mendekat. Ingin bertanya.
"Eh, Ga. Berkas ini perlu tanda tangan Dekan sekarang nggak?"
Suara Clarissa dan tangannya yang menahan lengan Arga membuat pria itu membeku. Arga tersadar. Mereka ada di koridor ramai. Di sebelahnya ada Clarissa. Di depannya ada Sarah dan mahasiswa lain.
Jika ia maju dan menunjukkan kekhawatiran berlebih, rahasianya akan terbongkar.
Arga menarik kembali kakinya. Ia menegakkan punggung, memasang topeng dosennya yang dingin. Ia memilih diam. Ia memilih mematung, seolah Intan hanyalah mahasiswa asing yang kebetulan lewat.
Hati Intan, yang tadinya berharap Arga akan peduli, kini hancur berkeping-keping.
"Permisi, Pak, Bu," ucap Sarah sopan sambil menunduk, lalu menarik Intan melewati pasangan dosen itu.
Intan menundukkan kepala saat melewati Arga. Ia tidak sanggup menatap mata suaminya. Aroma parfum Arga tercium sekilas, bercampur dengan aroma floral Clarissa, membuat perut Intan bergejolak hebat.
Baru lima langkah mereka melewati Arga, tubuh Intan menyerah.
"Aduh..." rintih Intan lirih.
Kakinya lemas. Pandangannya menggelap. Tubuhnya merosot ke lantai koridor yang dingin.
"Intan! Astaga!" Sarah berteriak panik, berlutut menahan tubuh Intan agar kepalanya tidak membentur lantai.
Bunyi tubuh Intan yang ambruk membuat Arga berbalik badan secepat kilat.
"Intan!" seru Arga tanpa sadar. Berkas di tangannya hampir terlepas.
Ia melupakan Clarissa. Ia melupakan janjinya untuk pura-pura tidak kenal. Ia hendak berlari menghampiri istrinya yang kini terbaring lemah di lantai dengan wajah menyiratkan kesakitan luar biasa.
Namun, sebelum Arga sempat mengambil dua langkah, seseorang sudah lebih dulu ada di sana.
Seorang laki-laki berlari dari arah tangga darurat. Rangga Pangestu.
"Intan!" Rangga langsung menerobos kerumunan mahasiswa yang mulai terbentuk. Ia berlutut di samping Sarah, wajahnya panik luar biasa.
"Kenapa dia, Sar?" tanya Rangga cepat sambil memeriksa suhu tubuh Intan dengan punggung tangannya.
"Nggak tau, Kak! Tadi ngeluh sakit perut terus lemes banget!" Sarah menjawab sambil menangis.
Tanpa banyak bicara, Rangga menyelipkan tangannya ke bawah lutut dan punggung Intan. Dengan satu gerakan kuat, ia mengangkat tubuh mungil itu ke dalam gendongannya.
"Minggir! Kasih jalan! Gue bawa ke mobil gue sekarang, kita ke rumah sakit!" teriak Rangga pada kerumunan.
Arga berdiri mematung di tempatnya, hanya berjarak tiga meter dari drama itu. Kakinya seperti dipaku ke lantai.
Ia melihat Rangga mendekap Intan erat-erat.
Ia melihat kepala Intan bersandar lemah di dada Rangga.
Ia melihat Sarah berlari mengikuti mereka.
Dan Arga tidak melakukan apa-apa.
"Ya ampun, kasihan banget mahasiswinya," komentar Clarissa di samping Arga, nadanya terdengar simpati tapi datar. "Untung ada pacarnya ya yang sigap. Siapa itu? Rangga ya? Ketua BEM?"
Kata-kata Clarissa bagaikan bensin yang disiramkan ke dalam api cemburu dan rasa bersalah yang membakar dada Arga.
Pacarnya.
Di mata orang lain, Rangga adalah pahlawannya. Rangga adalah pelindungnya.
Sementara Arga? Dia hanyalah dosen yang berdiri diam menonton istrinya sekarat.
Rangga berlari melewati Arga sambil menggendong Intan. Mata Rangga sempat menatap Arga sekilas. Tatapan tajam, penuh amarah, dan seolah menuduh. Tatapan yang berkata: Ke mana lo saat dia butuh?
Arga mengepalkan tangannya di samping tubuh hingga buku-buku jarinya memutih dan gemetar. Ia ingin sekali menonjok wajah Rangga. Ia ingin sekali merebut Intan dari gendongan laki-laki itu.
Tapi ia tidak bisa. Ia tidak punya hak—setidaknya hak yang diketahui publik.
Rangga menghilang di belokan koridor, membawa serta dunia Arga yang sedang sakit.
"Ga? Arga? Kamu kenapa?" Clarissa menyentuh lengan Arga, bingung melihat perubahan ekspresi Arga yang drastis. Wajah pria itu merah padam, rahangnya mengeras, dan matanya menyiratkan emosi yang menakutkan.
Arga menepis tangan Clarissa kasar.
"Maaf, Cla. Saya ada urusan mendadak," ucap Arga dengan suara bergetar menahan amarah.
Tanpa menunggu jawaban Clarissa, Arga berbalik arah. Ia tidak peduli lagi pada berkas di tangannya. Ia tidak peduli pada tatapan bingung mahasiswa.
Ia berjalan cepat menuju lift basement. Pikirannya kalut. Egonya hancur.
Gue suami macam apa? batinnya menjerit. Istri gue sakit, dan gue cuma diem kayak orang bego.
Siang itu, di dalam mobil mewahnya yang terparkir di basement, Argantara memukul setir mobilnya berkali-kali. Melampiaskan kemarahannya pada dirinya sendiri, pada kebodohannya, dan pada rahasia sialan yang kini menjadi bumerang yang melukainya.
Intan sakit. Dan bukan dia yang menolongnya. Fakta itu jauh lebih menyakitkan daripada seribu penolakan.
makan tuh gengsi Segede gaban😄