Nurma Zakiyah adalah seorang siswi Sekolah Menengah Umum (SMU) yang ceria, namun hidupnya seketika dilanda tragedi. Sang ayah terbaring sekarat di rumah sakit, dan permintaan terakhirnya sungguh mengejutkan yakni Nurma harus menikah dengan pria yang sudah dipilihnya. Pria itu tak lain adalah Satria galih prakoso , guru matematikanya yang kharismatik, dewasa, dan terpandang.
Demi menenangkan hati ayahnya di ujung hidup, Nurma yang masih belia dan lugu, dengan berat hati menyetujui pernikahan paksa tersebut. Ia mengorbankan masa remajanya, impian kuliahnya, dan kebebasannya demi memenuhi permintaan terakhir sang ayah.
Di sekolah, mereka harus berpura-pura menjadi guru dan murid biasa, menyembunyikan status pernikahan mereka dari teman-teman dan rekan sejawat.
Bagaimanakah kelanjutan rumah tangga Nurma dan Satria?
Mampukah mereka membangun ikatan batin dari sebuah pernikahan yang didasari keterpaksaan, di tengah perbedaan dunia, harapan, dan usia, bisakah benih-benih cinta tumbuh?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eli Priwanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Malam yang mendebarkan
Satria berdiri kaku di depan pintu kamar. Ia menarik napas panjang, menelan kegugupan yang terasa menyesakkan. Ini adalah kamar Nurma, istrinya. Dengan ragu, ia memutar kenop pintu dan melangkah masuk.
Pencahayaan temaram dari lampu tidur membuat suasana terasa hangat, sekaligus semakin intens. Pandangan Satria langsung tertuju pada ranjang berukuran sedang di tengah ruangan. Di sana, Nurma sudah terlelap pulas. Rambut panjangnya yang indah tergerai menutupi sebagian wajahnya yang tampak damai.
Satria dilanda kebingungan. Haruskah ia benar-benar tidur di sana? Satu ranjang dengan Nurma? Ia berbalik, mencari-cari tikar, selimut, atau alas apa pun yang bisa ia gunakan untuk tidur di lantai, namun nihil. Kamar itu rapi, hanya ada karpet tipis yang tak mungkin nyaman untuk ditiduri.
Satria bermonolog sambil duduk di ujung ranjang
'Ya Tuhan... aku harus bagaimana? Tidur di mana? Lantainya dingin, tidak ada alas. Aku terpaksa tidur di kamar istriku dan ibu mertuaku melarang ku tidur sendiri di sofa, meskipun itu pilihan yang jauh lebih aman untuk jantungku. Oke, Satria, tenang. Ini istrimu. Istrimu yang cantik dan sedang tidur. Anggap saja dia adalah bantal besar. Ya, bantal besar yang tidak boleh kau sentuh.'
Dengan Terpaksa, Satria tidur di samping istrinya.
Perlahan, Satria berjalan menuju ranjang dan duduk di ujungnya. Jantungnya berdebar kencang, memukul-mukul rusuknya seolah ingin melompat keluar. Ini adalah pengalaman pertamanya tidur bersama seorang wanita dalam satu kamar, apalagi satu ranjang. Ia adalah pria lajang yang menjunjung tinggi batas, dan malam ini, semua batas itu terasa kabur.
Ia merebahkan tubuhnya secara terlentang, mencoba menjaga jarak sejauh mungkin dari Nurma. Matanya menatap langit-langit kamar, pikirannya berkelana.
Tak lama kemudian, gerakan halus terasa. Nurma bergerak mendekat. Dalam tidurnya, mungkin ia mengira Satria adalah guling atau bantal yang nyaman. Lengan Nurma melingkari pinggangnya, dan wajahnya bersandar di dada Satria. Ia memeluk Satria dengan erat, matanya masih terpejam pulas.
Gulp!
Satria menelan ludah dengan keras. Jarak antara dirinya dan Nurma sudah hilang!
'Oh my God, Nurma memelukku... persis seperti guling! Hangat sekali... dan wangi. Ya ampun, aku tidak bisa bergerak. Kalau aku bergerak, dia pasti bangun. Tidak, tidak boleh bangun. Aku harus tetap kaku. Pura-pura mati. Pura-pura mati! Tidak, kalau pura-pura mati, aku tidak bisa bernapas. Satria, kendalikan dirimu! Dia tidur. Dia tidak sadar. Ini hanya reaksi alamiah tubuh yang mencari kenyamanan."
Satria langsung panas-dingin. Tubuhnya gemetar hebat, saking gugupnya. Jakunnya bergerak naik turun.
"Astaga..." bisiknya sangat pelan, hampir tak terdengar.
Perlahan, ia membalikkan tubuhnya sehingga ia kini berhadapan langsung dengan wajah Nurma yang terlelap. Ia menatap wajah cantik itu, garis-garis wajahnya yang lembut, dan bibir yang sedikit terbuka.
'Cantik sekali... Wajahnya seperti malaikat. Tapi...'
pandangannya kemudian beralih ke bagian bawah. Piyama satin yang dikenakan Nurma sedikit terbuka. Dua kancing teratas piyamanya lepas, memperlihatkan pemandangan yang...menakjubkan. Satria bisa melihat belahan dada yang mengepul indah di sana. Jantungnya serasa mau copot.
Satria terbelalak dan berkedip cepat.
'Astaga! Kenapa kancingnya terbuka?! Ya ampun... pemandangan yang luar biasa... tidak, tidak, Satria, jangan lihat! Tutup matamu! Tutup! Fokus pada langit-langit! Tidak, wajahnya! Tidak, matikan semua pikiran itu! Ambil napas, Satria. Tarik napas... buang... Jakunku... kenapa rasanya tersangkut? Aku harus tidur. Ya, tidur. Tentu saja. Tentu saja tidur.'
Kemudian Satria memejamkan matanya erat-erat, ia memeluk Nurma dengan kaku, berharap ia bisa tertidur pulas meskipun harus tersiksa karena menahan sesuatu di balik celananya yang mendadak menjadi sempit.
Dengan cepat, Satria bisa memejamkan kedua matanya, memalingkan wajah ke arah lain, namum sensasi pemandangan itu terpatri kuat di benaknya. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan detak jantungnya yang menggila. Malam pertamanya tidur bersama Nurma jauh lebih menegangkan dari yang ia bayangkan.
.
.
Sinar matahari pagi yang lembut mulai menyusup melalui celah gorden, menyentuh wajah Nurma. Perlahan, ia membuka kedua matanya. Pandangannya yang masih kabur berusaha menyesuaikan diri dengan kamar tidurnya. Ia merasakan sesuatu yang berat dan hangat melingkari tubuhnya.
Saat kesadarannya pulih sepenuhnya, Nurma terkejut luar biasa. Ia sedang berada dalam pelukan Satria, kepala suaminya bersandar di bahunya, dan lengan Satria memeluk erat pinggangnya. Mereka tidur dalam posisi berhadapan, sangat intim. Wajah Satria terlihat damai dalam tidurnya.
"AAAAAARRRGHH!"
Nurma menjerit histeris, sebuah teriakan nyaring yang memecah keheningan pagi.
Satria seketika terperanjat bangun. Matanya melebar karena kaget, jantungnya langsung berdebar kencang. Reaksi pertamanya adalah membekap mulut Nurma dengan telapak tangannya yang besar.
"Sstt! Nurma! Jangan keras-keras! Nanti Ibu bisa dengar!" bisik Satria dengan panik, matanya melirik ke arah pintu, takut ibu mertuanya akan panik dan datang.
Nurma meronta, mendorong Satria hingga suaminya terlempar menjauh ke sisi ranjang. Air mata kekesalan dan rasa terhina sudah menggenang di matanya. Ia menarik selimut hingga menutupi lehernya.
"Dasar pria mesum! Berani-beraninya kamu!" bentak Nurma, suaranya kini tertahan tapi penuh amarah.
Satria duduk termangu, berusaha menata napasnya yang terengah. Ia tahu Nurma telah salah paham padanya.
"Tunggu, Nurma, dengarkan saya dulu! Saya tidak bermaksud..." Satria mencoba meraih tangan Nurma.
"Jangan sentuh aku! Pergi! Keluar dari kamar ini sekarang juga!" potong Nurma tajam,seraya menepis tangan Satria. Wajahnya memerah karena amarah dan rasa malu. Ia belum siap menghadapi kenyataan bahwa dirinya sudah menikah, apalagi dihadapkan pada situasi intim yang ia anggap sebagai pelecehan.
"Saya minta maaf. Tapi, Nurma, semalam... Saya tidur di ujung ranjang, lalu kamu yang tiba-tiba memelukku. Saya sudah berusaha menjaga jarak," jelas Satria, berusaha meyakinkan.
"Omong kosong! Mesum tetap saja mesum!
Pokoknya keluar!" Nurma bersikeras, ia membalikkan badan membelakangi Satria, tubuhnya gemetar menahan tangis.
Satria menatap punggung istrinya dengan rasa bersalah yang mendalam. Ia mengerti. Ia tidak bisa memaksa Nurma untuk percaya saat ini. Dan Mengalah adalah pilihan yang terbaik.
"Baiklah, saya akan keluar," ujar Satria pelan.
Ia segera mengambil pakaian dan bergegas menuju kamar mandi luar. Di kepalanya hanya ada satu pikiran yakni ia harus membersihkan diri dan pergi mengajar ke sekolah.
Tak lama kemudian, Nurma juga bangkit,ia bergerak cepat dan diam. Ketika mereka berpapasan di ruang tengah sebelum berangkat ke sekolah dimana Nurma sudah rapih dengan seragam putih abu-abu nya. Seketika suasana terasa sangat dingin dan mencekam. Mereka hanya saling menatap sekilas, Satria dengan pandangan menyesal, Nurma dengan pandangan permusuhan yang jelas. Mereka seperti dua orang asing yang sedang bermusuhan.
Satria melangkah keluar rumah dengan perasaan berat. Ia tahu ia harus menjelaskan segalanya kepada Nurma, secepatnya, sebelum salah paham ini merusak segalanya.
Bersambung...