Raisa tidak menyangka bahwa hidup akan membawanya ke keadaan bagaimana seorang perempuan yang menjalin pernikahan bukan atas dasar cinta. Dia tidak mengharapkan bahwa malam ulang tahun yang seharusnya dia habiskan dengan orang rumah itu menyeretnya ke masa depan jauh dari bayangannya. Belum selesai dengan hidup miliknya yang dia rasa seperti tidak mendapat bahagia, malah kini jiwa Raisa menempati tubuh perempuan yang ternyata menikah tanpa mendapatkan cinta dari sang suami. Jiwanya menempati raga Alya, seorang perempuan modis yang menikah dengan Ardan yang dikenal berparas tampan. Ternyata cantiknya itu tidak mampu membuat Ardan mencintainya.
Mendapati kenyataan itu Raisa berpikir untuk membantu tubuh dari orang yang dia tempati agar mendapatkan cinta dari suaminya. Setidaknya nanti hal itu akan menjadi bentuk terima kasih kepada Alya. Berharap itu tidak menjadi boomerang untuk dirinya. Melalui tubuh itu Raisa menjadi tahu bahwa ada rahasia lain yang dimiliki oleh Ardan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon eloranaya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
08. Tujuan Raisa
Tepat pukul sepuluh malam Raisa sudah kembali sampai di rumah. Sejak dari rumah sakit pikirannya tidak bisa tenang. Dari pertama jiwanya mengalami kejadian yang diluar akar pikirannya, baru kali ini dia sangat tidak terima.
Kondisi kedua orang tuanya benar-benar membuatnya sakit hati.
Dia ingin kembali, sangat ingin kembali. Sangat tidak mudah baginya melakukan ini semua.
"Terima kasih, ya, Pak." Raisa berujar lantas segera turun. Dengan langkah berat dia masuk ke dalam rumah. Dia memaksa kakinya untuk masuk.
Ini bukan rumahku. Batinnya mengulang tiga kata tersebut berkali-kali.
Ini bukan keluargaku.
Dan... Ini juga bukan kehidupanku.
Semua adalah milik Alya, dia hanya meminjam. Atau mungkin, bisa disebut dia memaksa untuk menumpang. Tanpa tahu di mana empunya berada. Bagaimana caranya dia kembali? Apakah jiwa Alya juga mengalami kejadian yang sama dengannya? Terus tubuhnya yang terbaring di rumah sakit; apa yang sedang dilakukannya? Bagaimana semua bisa berakhir seperti ini? Apakah tidak ada cara lain untuk bisa kembali seperti semula?
Memikirkan berbagai pertanyaan tanpa bisa mendapat jawaban membuat kepala Raisa pening.
Kini dia sudah ada di depan pintu besar yang menyambutnya. Jemarinya bergerak untuk membuka.
"Mama, apa yang lagi Raisa lakuin sekarang?" monolognya pelan sembari mendorong agar pintu terbuka. Dan setelah terbuka dia kira kondisinya akan kosong melompong, ternyata tidak. Ada satu orang pelayan yang berdiri memunggunginya dan ketika mendengar pintu dibuka langsung berderap mendekati.
"Akhirnya pulang, Non. Tadi nyonya sama tuan nungguin sejam dan berharap Non Alya pulang biar bisa makan malam bareng." Pelayan tersebut menyambut dengan kalimat panjang dan seculas senyum, "Nggak biasanya, Non. Baru kali ini nggak lengkap formasinya, Non. Padahal belum lama ya kumpul bareng."
"Hehe, nggak semuanya harus sama terus, Bik."
"Betulll." Perempuan yang masih mengenakan celemek tersebut tampak mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Dia mengulurkan tangannya pada Raisa dan menunjukan sesuatu.
"Apa, nih, Bik?" tanya Raisa dengan alis berkerut bingung.
"Kartu ATM, Non. Tadi Mas Ardan nitip ke saya katanya suruh kasih ke Non Alya. Kartu yang sebelumnya udah kedaluwarsa."
Raisa tersenyum dan mengambilnya. "Ohhh, begitu, Bik. Terima kasih."
"Sama-sama, Non." Pelayan perempuan tersebut melempar senyum lantas melanjutkan, "Meskipun Mas Ardan bilang nggak suka sama Non Alya tetep aja berusaha bertanggung jawab ya." Raisa menatap perempuan di hadapannya yang tersenyum malu-malu ketika berbicara.
"Padahal dulu bener-bener sampai saya ketakutan waktu Mas Ardan marahin satu rumah tahu mau dijodohin sama Non Alya." Raisa yang mendengarnya terperangah, dia ingin mendenger lebih jauh.
"Ih, Bik. Saya jadi nostalgia deh, ceritain lebih lanjut dong, Bik, biar saya lebih inget," ujarnya beralasan.
Diajak bicara seperti itu mata pelayan tersebut terlihat melebar. "Beneran nggak papa, nih, Non? Nggak ngeganggu?"
"Engga, Bik. Sini-sini, duduk sama saya." Raisa menggeretnya. "Ayo, Bik, lanjutin." Raisa berkata penuh keingintahuan.
"Mulai dari mana ya, Non?" Pertanyaan itu tidak mengharapkan jawaban, jadi Raisa diam saja. "Ah! Iyaaa, dari sini aja. Dulu keluarga ini mau hancur, Non, gara-gara Mas Ardan. Saya beneran yang ngelihat sampai nangis karena sempat ada..."
"Apa, Bik?"
"Ini nggak papa beneran saya ceritain? Soalnya ini... Ini alasan Mas Ardan mau nikah sama Non Alya."
Raisa mengangguk-angguk. Di sini selain dia ingin tahu, Raisa juga menempatkan dirinya sebagai Alya. Setelah mendengar penuturan pelayan tersebut Raisa jadi tahu bahwa ternyata gadis itu tidak tahu toh alasan kenapa lelaki yang dia cintai mau menikah dengannya—yang dari cerita teman-teman dekat Alya bilang kalau Ardan tidak mencintai istrinya tetapi berujung mau menjalin ikatan pernikahan. Memang ada hal janggal jika Raisa simpulkan sendiri.
"Nggak papa, Bik. Saya juga ingin tahu."
Terlihat pelayan itu ragu, dia menggigiti bibir bawahnya dan akhirnya berucap, "Nanti kalau bikin Non Alya nggak nyaman bilang ya, biar Bibi berhenti cerita."
Raisa mengangkat jempolnya. "Baik, Bik. Jadi apa yang bikin Ardan mau nikah sama saya?"
"Dulu itu ada perkelahian besar antara Mas Ardan sama Nyonya Santi. Sampai Nyonya nyakitin dirinya sendiri. Pakai pisau." Raisa mendengarkan seksama.
"Mas Ardan walau lihat ibunya bawa benda tajam begitu awalnya nggak goyah, Non. Bener-bener wajahnya nggak takut, tetep bilang nggak mau. Tapi... Waktu pisau yang dibawa Nyonya bergerak buat ngiris ini." Pelayan tersebut memeragakan dengan jari telunjuknya yang menggorok-gorok nadi di pergelangan, Raisa mengangguk paham. "Mas Ardan langsung kelabakan bingung. Saya yang ngelihat sampai teriak, saya juga nyoba panggil Pak Dadang buat bantuin, terus nyoba buat hubungin Tuan Wardana, Mas Gerald tapi nggak ada yang jawab panggilan. Cuman ada mereka berdua di rumah dan kami pekerjanya, Non."
Hanya mendengar saja bulu kuduk Raisa meremang, tidak bisa membayangkan bagaimana jika dia melihat itu pakai mata kepala sendiri. Seberantakan apa kondisi waktu itu.
"Dan ya... Keiris beneran, Non. Mas Ardan sampai teriak marah-marah, semua pekerja yang ada nggak ada satupun yang lolos dari amukannya. Semua nangis, Non. Mas Ardan, nyonya, dan kami pekerjanya."
"Nyonya Santi sampai bilang waktu itu ke Mas Ardan, kalau Mas Ardan harus nikah sama Non Alya nggak tahu pokoknya harus mau. Dan ya... Mas Ardan murka di depan Nyonya dan bilang kalau..."
"... Kalau Nyonya Santi sudah menghancurkan hidupnya dan ngebunuh Mas Ardan kedua kalinya setelah pertama dipaksa buat ambil Kedokteran dan kedua adalah... Menikah."
Napas Raisa berhenti.
"Bukannya di Kedokteran itu dia sendiri yang ujungnya nekat pilih drop out ya, Bik?"
"Eh? Enggak, Non. Mas Ardan pernah cerita sendiri ke saya kalau dia memang nggak pernah mau masuk kelas sebagai bentuk protes ke ibunya, cuman sampai semester berapa gitu. Jadi yaa, tetap bayar uang kuliah tapi progressnya tidak ada. Sampai jatah batas maksimal semesternya habis dan Mas Ardan dikeluarin sendiri sama kampus. Bibi nggak begitu paham, sih, Non. Bukan anak kuliahan soalnya hehe, cuman denger dari Mas Ardan dikit."
"Ah, begitu." Raisa paham.
"Tapi, Non. Saya yakin kok perlahan Non Alya pasti bisa buat Mas Ardan luluh. Nggak ada yang mustahil asal mau mencoba."
Fokus Raisa sudah terpecah-pecah. Gila, Ibu Ardan sangat gila. Atau mungkin tidak hanya dia saja, tetapi semuanya?
Sungguh, Raisa tidak menyangka di balik wajah dan tameng seperti tak mampu diganggu serta diperintahnya ternyata Ardan telah mengalami sesuatu yang sebesar itu. Dituntut untuk menurut dan melakukan sesuatu yang bahkan dirinya sendiri tidak menyukainya. Meskipun terlihat punya pilihan pun dia tidak punya kesempatan untuk bisa memilih. Dihalangi untuk memilih.
"Buktinya, nih. Mas Ardan perhatian buat perpanjang ATM yang dia kasih buat penuhin kebutuhan Non Alya."
Raisa terkekeh sebagai respons.
"Mungkin melelahkan, Non, berjuang sendiri tuh. Tapi nggak salah juga kan berjuang? Apalagi walau Mas Ardan begitu dia masih dalam batasan kok. Untung yah, Non Alya cintanya sama Mas Ardan. Dia beneran baik kok, Non. Ya... Hanya saja kalau ke Non Alya agak beda."
"Masih dalam batasan?" picing Raisa sangat pelan hingga tak ada yang mampu menangkap ucapannya. Dia tak sadar telah mempertanyakan pernyataan pelayan tersebut.
"Kalau kata pepatah: Cinta tumbuh karena terbiasa, Non. Yang sabar saja nanti ada saatnya Mas Ardan bakal kecintaan juga ke Non Alya. Bibi yakin seribu persen!"
"Ya, Bi. Saya juga yakin. Saya akan coba berusaha lebih lagi buat dia cinta sama Alya."
Raisa bukan berkata sebagai raga Alya, tetapi sebagai jiwanya. Raisa sendiri. Dan dari sekarang, dalam ketidak terimaan atas jiwanya yang mengalami kejadian ini. Raisa berjanji pada dirinya sendiri, bahwa dia akan mencoba membantu raga orang yang telah jiwanya tempati. Mendapatkan cinta dari orang terkasih. Mendapatkan cinta Ardan.
Raisa yakin, Ardan pasti akan membalas cinta dari orang yang tubuhnya menjadi tempat jiwanya berada sekarang. Ardan pasti akan mencintai Alya. Dan dia, akan mencoba semaksimal mungkin untuk mewujudkan itu.
...****************...