NovelToon NovelToon
Sebelum Segalanya Berubah

Sebelum Segalanya Berubah

Status: sedang berlangsung
Genre:Mengubah Takdir / Dunia Masa Depan / Fantasi / TimeTravel
Popularitas:805
Nilai: 5
Nama Author: SunFlower

Rania menjalani kehidupan yang monoton. Penghianatan keluarga, kekasih dan sahabatnya. Hingga suatu malam, ia bertemu seorang pria misterius yang menawarkan sesuatu yang menurutnya sangat tidak masuk akal. "Kesempatan untuk melihat masa depan."

Dalam perjalanan menembus waktu itu, Rania menjalani kehidupan yang selalu ia dambakan. Dirinya di masa depan adalah seorang wanita yang sukses, memiliki jabatan dan kekayaan, tapi hidupnya kesepian. Ia berhasil, tapi kehilangan semua yang pernah ia cintai. Di sana ia mulai memahami harga dari setiap pilihan yang dulu ia buat.

Namun ketika waktunya hampir habis, pria itu memberinya dua pilihan: tetap tinggal di masa depan dan melupakan semuanya, atau kembali ke masa lalu untuk memperbaiki apa yang telah ia hancurkan, meski itu berarti mengubah takdir orang-orang yang ia cintai.

Manakah yang akan di pilih oleh Rania?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SunFlower, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

#4

Happy Reading..

.

.

.

Rania berjalan keluar dari kantor dengan langkah sempoyongan. Matanya terasa panas, kepalanya berdenyut dan dadanya seolah diremas dari dalam. Ia telah mengajukan izin pulang lebih awal dengan alasan tidak enak badan, padahal tubuhnya baik-baik saja karena yang sakit justru hatinya. Segalanya terasa terlalu berat untuk ia jalani hari itu.

Begitu mencapai trotoar, angin sore bertiup cukup kencang. Rambutnya sedikit berantakan, namun ia bahkan tidak punya tenaga untuk merapikannya. Air matanya kembali jatuh. Rania tidak berusaha menyeka. Ia membiarkan saja, seolah membiarkan dunia melihat betapa rapuh dirinya saat ini.

Beberapa orang yang berpapasan dengannya menoleh, ada yang berbisik pelan, bahkan ada yang menatap dengan rasa ingin tahu. Namun Rania tidak peduli. Ia merasa dirinya berjalan seperti orang linglung yang kehilangan arah hidupnya.

Ia memesan taksi dan duduk di kursi belakang dalam diam. Begitu pintu tertutup, tangisnya langsung pecah. Ia menundukkan kepala, menutup wajah dengan kedua tangannya, mencoba menahan agar suaranya tidak terdengar oleh sopir. Namun tubuhnya bergetar. Ia gagal menahan isakan.

“Tolong antar sesuai alamt pak. ” ucapnya lirih ketika sopir menoleh sekilas.

Sopir itu mengangguk tanpa bertanya apa-apa. Rania kembali bersyukur ia tidak sanggup berbicara lebih banyak.

Selama perjalanan, ia hanya memandangi keluar jendela. Jalanan yang biasanya ramai dan penuh aktivitas kini terasa sangat jauh dari dirinya. Seolah kota itu terus bergerak, sementara ia sendiri terjebak di tempat yang sama.

Sesampainya di depan rumah, Rania menarik napas panjang. Ia mencoba menenangkan diri walau sebenarnya tidak bisa. Ia turun dari taksi, membayar lalu berjalan masuk ke halaman rumah yang tampak sunyi. Rumah itu terlihat hangat dari luar, terdengar suara tawa kecil dari dalam. Namun Rania tahu betul, hangat itu tidak pernah menjadi miliknya.

Ia membuka pintu perlahan dan masuk.

“Kamu pulang?” suara itu terdengar dari arah dapur, suara perempuan paruh baya yang ia panggil Mama, Melisa.

Hanya itu.

Tidak ada “kenapa?”

Tidak ada “kamu sakit?”

Tidak ada “apa yang terjadi?”

Rania hanya bisa menelan ludahnya. “Iya, Ma… aku pulang.”

Melisa tidak menoleh. Ia hanya sibuk memotong buah sambil sesekali berbicara dengan Alisa, adik bungsu Rania.

“Alisa tadi dapat nilai sempurna untuk tugas matematikanya. Gurunya sampai memuji langsung di depan kelas,” ujar Melisa sambil tersenyum bangga.

“Hebat sekali kamu, Nak,” sambung Dewa, ayah mereka yang duduk di meja makan sambil membaca koran.

Rania berdiri beberapa detik melihat pemandangan itu. Suara tawa, pujian, perhatian semuanya hanya untuk adiknya, Alisa.

Ia berjalan menuju meja makan. Tidak ada makanan untuknya, seperti hari-hari sebelumnya. Wajahnya tidak menunjukkan kaget, karena ia sudah terlalu sering mengalaminya.

Ia duduk perlahan.

Melisa menoleh sekilas. “Kalau kamu lapar, ambil saja nasi di magic com. Ibu tadi masak tapi sepertinya Alisa sudah menghabiskan lauknya. Kamu buat telur sendiri sana.”

Rania mengangguk kecil. “Iya, Ma…”

Namun hatinya mencelos.

Sesimpel itu saja, tidak ada yang mencoba peduli. Rania tetap diam. Dadanya sesak.

Percakapan demi percakapan hanya seputar adiknya. Tentang penilaian, prestasi bahkan bagaimana temannya memuji hasil gambarnya hari ini. Rania hanya mendengar. Tidak ada satu pun yang mengarah padanya.

Hingga akhirnya ia tidak tahan lagi.

“Ma…” panggil Rania dengan suara pelan.

Melisa tetap sibuk memotong buah. “Hmm?” Sautnya tanpa menoleh.

“Apa… apa Mama tidak ingin tahu kenapa aku pulang cepat hari ini?”

Melisa berhenti sebentar, namun hanya sebentar. “Kamu kan bilang tidak enak badan tadi lewat chat. Ya sudah, istirahat saja. Kamu itu gampang capek.”

Dewa ikut menimpali tanpa menatap Rania. “Kamu harus jaga stamina. Kerja itu sudah resiko, kamu saja yang terlalu sensitif.”

Rania menatap kedua orang tuanya. “Kalian tidak tanya aku sakit apa?”

Melisa tersenyum kaku. “Ya kalau kamu sakit pasti kamu bilang. Kamu itu sudah besar, Rania. Jangan manja.”

Manja.

Kata itu lagi. Kata yang sering digunakan untuk menghentikan setiap keluhannya bahkan yang paling sederhana sekalipun. Rania menarik napas panjang. Ada rasa sakit yang terus menekan dadanya semakin kuat, semakin menyulitkan ia untuk bernapas.

“Ma… Pa… aku sedang tidak baik-baik saja,” ucap Rania pada akhirnya.

Melisa dan Dewa sama-sama menoleh dengan ekspresi terkejut namun bukan panik tapi lebih seperti tidak nyaman.

“Apa lagi sekarang?” tanya Dewa ketus.

Rania mengepalkan jemarinya. “Aku… aku sudah terlalu banyak menahan. Terlalu banyak diam. Kalian tidak pernah melihat aku. aku juga butuh di perhatikan.”

Melisa langsung membalas, “Apa maksudmu? Ibu selalu memperhatikan kamu. Hanya kamu saja  yang terlalu perasa.”

“Tidak, Ma!” suara Rania meninggi tanpa ia sadari. “Kalian hanya melihat aku saat kalian butuh sesuatu! Saat kalian ingin dibantu! Tapi saat aku pulang capek… saat aku tidak sanggup menahan semuanya sendiri… kalian tidak pernah peduli!”

Melisa terdiam, kaget karena anaknya yang biasanya penurut kini berani melawan.

“Aku ini anak kalian juga, Ma…” Rania menangis. “Kenapa aku selalu yang paling mudah dilupakan? Kenapa aku tidak pernah dipuji seperti Alisa? Kenapa aku tidak pernah dianggap menarik, membanggakan, atau bahkan penting?”

“Rania, jangan membandingkan diri dengan adikmu!” bentak Dewa. “Itu tidak adil!”

“Lalu apa yang adil, Pa?” Rania balas. “Adil ketika kalian melupakan aku setiap hari? Ketika tidak ada makanan pun untuk aku? Ketika aku pulang jam sebelas malam dan tidak ada satu pun yang bertanya apakah aku baik-baik saja?”

Melisa mengangkat alis, nadanya jelas tersinggung. “Kamu maunya apa sih? Pujian? Perhatian setiap saat? Kami sudah mengurus kamu dari kecil, apa itu kurang?”

Rania menggeleng. “Aku tidak minta diperlakukan istimewa, Ma… aku hanya ingin diperlakukan sebagai seorang anak.”

Ruangan kembali hening.

Alisa berhenti menulis, menatap mereka dalam diam.

Melisa mulai kehilangan kesabaran. “Kamu itu ya, Rania. Selalu melihat sisi buruk saja. Kamu punya pekerjaan bagus. Kantor bagus. Gaji besar. Banyak orang iri. Tapi kamu malah....”

“Ma…” potong Rania, suaranya pecah. “Hari ini aku tahu Jordi selingkuh.”

Melisa terdiam. Dewa juga terhenti dari korannya.

“Dan bukan hanya itu…” Rania melanjutkan sambil terisak. “Dia selingkuh dengan Laras. Sahabatku sendiri. Dan mereka… mereka memanfaatkanku."

Air matanya semakin deras.

“Dan kalian tahu apa yang paling menyakitkan?” Rania menatap kedua orang tuanya dengan mata merah dan basah. “Aku pulang… berharap sedikit saja ada yang peduli. Sedikit saja, Ma. Pa. Tapi yang aku dapat hanya… ‘Kamu pulang?’”

Melisa membuka mulutnya, namun tidak ada suara yang keluar. Untuk pertama kalinya, ia tidak punya jawaban.

Dewa menunduk. Koran di tangannya terkulai.

Rania menyeka air matanya, suaranya bergetar namun tegas. “Aku lelah… hidup seperti ini. Dipuji saat berguna. Diabaikan saat hancur. Aku bahkan tidak tahu lagi… apa arti rumah bagiku.”

Setelah mengucapkan itu, Rania bangkit dari kursinya dan berjalan menuju kamar tanpa menoleh. Ia tidak menutup pintu dengan keras. Ia tidak berteriak. Ia tidak mengamuk. Ia hanya masuk… dan menangis sejadi-jadinya.

Untuk pertama kalinya, Melisa dan Dewa tidak bisa mengatakan apa pun. Karena hari itu, untuk pertama kalinya juga, mereka melihat Rania seperti itu.

.

.

.

Jangan lupa tinggalkan Jejak dong....

1
Erni Kusumawati
nyesek bgt jd Rania😭😭😭😭
Puji Hastuti
Seru
Puji Hastuti
Masih samar
Puji Hastuti
Semakin bingung tp menarik.
Erni Kusumawati
masih menyimak
Puji Hastuti
Menarik, lanjut kk 💪💪
Erni Kusumawati
duh.. semoga tdk ada lagi kesedihan utk Rania di masa depan
Puji Hastuti
Masih teka teki, tapi menarik.
Puji Hastuti
Apa yang akan terjadi selanjutnya ya, duh penasaran jadinya.
Puji Hastuti
Gitu amat ya hidup nya rania, miris
Erni Kusumawati
luka bathin anak itu seperti menggenggam bara panas menyakitkan tangan kita sendiri jika di lepas makan sekeliling kita yg akan terbakar.
Erni Kusumawati
pernah ngalamin apa yg Rania rasakan dan itu sangat menyakitkan, bertahun-tahun mengkristal dihati dan lama-lama menjadi batu yg membuat kehancuran untuk diri sendiri
Erni Kusumawati
mampir kk☺☺☺☺
chochoball: terima kasih kakak/Kiss//Kiss//Kiss/
total 1 replies
Puji Hastuti
Carilah tempat dimana kamu bisa di hargai rania
Puji Hastuti
Ayo rania, jangan mau di manfaatkan lagi
Puji Hastuti
Bagus rania, aq mendukungmu 👍👍
chochoball: Authornya ga di dukung nihhh.....
total 1 replies
Puji Hastuti
Memang susah jadi orang yang gak enakan, selalu di manfaatkan. Semangat rania
Puji Hastuti
Kasihan rania
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!