(Based on True Story)
Lima belas tahun pernikahan yang tampak sempurna berubah menjadi neraka bagi Inara.
Suaminya, Hendra, pria yang dulu bersumpah takkan pernah menyakiti, justru berselingkuh dengan wanita yang berprofesi sebagai pelacur demi cinta murahan mereka.
Dunia Inara runtuh, tapi air matanya kering terlalu cepat. Ia sadar, pernikahan bukan sekadar tentang siapa yang paling cinta, tapi siapa yang paling kuat menanggung luka.
Bertahan atau pergi?
Dua-duanya sama-sama menyakitkan.
Namun di balik semua penderitaan itu, Inara perlahan menemukan satu hal yang bahkan pengkhianatan tak bisa hancurkan: harga dirinya.
Kisah ini bukan tentang siapa yang salah. Tapi siapa yang masih mampu bertahan setelah dihancurkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ame_Rain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tentang Harta dan Harga Diri
[Saya baru tahu yang begitu, Den. Tapi Mami kamu sebelumnya enggak buka usaha itu pun tetap banyak pelanggannya, kan. Jadi kenapa sekarang sampai buka usaha pondok kelapa?]
[Entahlah, Mbak. Mungkin lagi cari pelanggan baru? Sebelumnya sih Mami emang enggak pernah buka pokel sendiri, tapi dia sering nongkrong di pokel langganan. Jarang kesana sekitar setahunan ke belakang ini, itupun karena dibawa terus setiap suami Mbak kerja.]
Ini sebenarnya info yang sudah aku ketahui sejak awal dari Joko, bahwa Mas Hendra selalu membawa selingkuhannya bersamanya saat dia bekerja. Tapi saat Dena pun mengkonfirmasi... rasanya tetap saja nyelekit di hati ini, ya.
Ada bagian di dadaku yang terasa sesak. Bukan karena baru tahu, tapi karena ternyata luka lama itu masih terbuka. Kadang, kebenaran yang sudah kita tahu sejak lama pun tetap bisa menyakitkan kalau diucapkan oleh orang lain.
Kami berbicara ngalor-ngidul di chat itu, sampai akhirnya aku memutuskan mengakhirinya untuk melakukan aktivitas yang lain.
***
"Dewi katanya buka usaha pondok kelapa. Kamu tahu?"
Aku membahas hal itu pada suamiku saat kami sedang duduk-duduk saja di atas ranjang. Malam itu sunyi, hanya suara kipas angin yang berputar malas menemani kami. Mas Hendra menghela napas, tangannya mengusap wajah dengan kasar.
"Kenapa bahas itu sih, Dik? Mas kan udah enggak ada urusan lagi sama dia. Kamu pingin diajak ikut nongkrong pun sudah Mas ajak. Tapi kenapa kamu terus-terusan ngajak berantem?" katanya.
Aku mengerutkan alis.
"Loh, yang ngajak berantem siapa? Aku cuma pingin ngajak kamu ngobrol santai biasa, kok."
"Ya tapi jangan bawa dia, lah. Iya aku tahu aku salah, tapi aku lagi usaha untuk taubat. Kenapa kok kayaknya usaha aku enggak dihargai, ya. Kamu mikir buruk terus tentang aku."
Dahiku makin berkerut mendengar omongannya. Aneh, ya. Padahal dia yang membuat kesalahan. Disaat aku hanya ingin berbincang biasa tentang perempuan itu, dia malah marah. Apa dia benar-benar marah karena aku membahas perempuan itu, atau karena dia tidak ingin aku mengatakan hal buruk tentangnya?
Entahlah. Terkadang aku merasa Mas Hendra ingin aku melupakan semua seolah tidak pernah terjadi apa-apa, padahal luka di hatiku belum sempat sembuh.
Ah, sudahlah. Mas Hendra benar-benar tidak bisa diajak bicara.
Aku memilih berbaring di ranjang, membelakanginya. Tanganku sibuk menggeser-geser layar sembari melihat-lihat postingan di FB.
Saat aku hampir lupa dengan kekesalanku tadi karena sibuk haha-hihi melihat postingan para ibu-ibu FB PRO, sebuah notifikasi dari WA muncul di layar atas ponsel. Tanpa melihat sang pengirim, aku pun membuka pesan itu.
Dan itu dari Dewi!
Segeralah, aku berbaring terlentang agar Mas Hendra tidak bisa melihat pembicaraanku dengan Dewi Durjana itu.
[Mas Hendra milikku. Bagaimanapun kamu berusaha menggenggamnya, kamu tidak akan pernah bisa menahan dia selamanya di sisimu. Dia pasti akan kembali padaku!]
Aku tersenyum miring membaca pesan itu. Astaga, ternyata dia masih tidak menyerah untuk mengejar suamiku.
Mataku melirik pada Mas Hendra yang sedang sibuk menatap layar ponselnya. Entah pesona apa yang dimiliki suamiku itu hingga membuat Dewi begitu mencintainya. Mungkin cinta memang bisa membuat orang buta — bahkan buta terhadap logika.
[Kan sudah kubilang. Kalau kamu memang bisa membujuk dia untuk meninggalkanku, silakan. Aku sih enggak mau menahan-nahan orang yang enggak mau berasa disisiku. Tapi nyatanya dia enggak mau, kan? Dia enggak mau memilih kamu kalau itu berarti harus kehilangan aku.]
[Itu karena anak-anaknya ada bersamamu! Dan semua harta bendanya juga ada di kamu! Makanya dia enggak bisa meninggalkan kamu!]
Oh, tidak bisa. Dia tampaknya salah paham. Dia pikir suamiku yang kaya dan aku hanya menumpang hidup padanya?
[Hei, baca ini baik-baik, ya. Tanah yang kami tinggali ini milik keluargaku. Rumah kami dibangun oleh ayahnya Meira. Truk yang Mas Hendra bawa dibelikan oleh abangku. Mas Hendra? Dia cuma datang dengan satu tas berisi sepasang baju, enggak bawa harta apapun. Jadi kalau kamu emang se cinta itu sama dia, silakan bawa dia. Tapi dengan apa dia datang kemari, begitu juga dia pergi nanti. Oh, mungkin motornya itu bisa dia bawa—karena itu satu-satunya harta berharga yang dia beli selama 15 tahun kami menikah.]
Aku harus meluruskan kesalahpahaman yang bergelayut di kepalanya. Entah sejak kapan orang-orang berpikir kalau kehidupan kami yang baik ini adalah berkat usaha Mas Hendra.
Aku tidak menghilangkan fakta kalau Mas Hendra masih memberiku nafkah untuk biaya hidup kami sehari-hari, walaupun hanya 200 ribu rupiah perminggunya — itupun kalau dia memberi. Karena aku tidak pernah memaksa dia harus memberikan berapa banyak padaku meski sekarang 'katanya' namanya sedang naik daun dan penghasilannya dari Youtu** dan FB berkali-kali lipat dibanding dulu. Seberapa yang dia beri padaku, aku terima.
Itulah sebabnya dia bisa punya simpanan yang cukup banyak hingga bisa membeli sebuah motor secara cash. Tapi, bayangkan. 200 ribu rupiah seminggu, sedang ada lima kepala di rumah dan Meira yang kuliah di kota? Memangnya cukup?
Orang-orang mungkin berpikir Mas Hendra hebat, bisa menanggung biaya kehidupan rumah, menerima ibuku di rumah kami, juga mengkuliahkan Meira meskipun dia bukan putri kandungnya. Aku tidak pernah mengklarifikasi hal itu karena untuk apa? Toh kami bukan artis ataupun apalah itu. Tidak ada kewajiban bagiku untuk menjelaskan rahasia rumah kami.
[Bohong! Mustahil dia begitu. Kehidupan kalian mewah, kok. Bahkan anakmu kuliah di Universitas swasta yang mahal. Enggak mungkin itu bukan karena Mas Hendra. Kamu pasti mau bohongi aku, kan?]
[Meira putriku, ibunya masih hidup. Kenapa kamu jadi mikir kalau dia membebani Mas Hendra? Oh, dan perlu kamu tahu. Meira itu dapat beasiswa prestasi dari provinsi, jadi kuliahnya gratis. Aku cuma perlu kasih uang jajan doang untuk dia. Dan darimana semua uang untuk biaya hidup putriku dan kami itu? Yap, dari kebun sawit. Punyaku. Bukan punya Mas Hendra. Tanyakan saja pada pacar kesayanganmu itu. Kurasa dia pun tidak akan berani mengaku-ngakui harta yang jelas bukan punya dia. Oh, maaf. Udah jadi mantan pacar, ya, sekarang?]
Keluargaku memang aslinya petani. Kami punya beberapa hektar kebun sawit di beberapa daerah. Sebenarnya itu punya ibu, tapi sudah dibagi ke beberapa anaknya, termasuk aku. Jadi dari hasil ladang itulah aku membiayai kebutuhan rumah yang tak bisa tercukupi oleh Mas Hendra.
Aku berusaha untuk tak merepotkannya. Apalagi sebelumnya, disaat Youtu** dan FB masih belum setenar sekarang. Hasil kerjanya sebagai supir hanya satu juta bersihnya dalam sebulan. Aku tak tega jika mengambil semua hasil kerjanya, makanya aku hanya minta delapan ratus ribu saja perbulan. Selebihnya biarlah jadi pegangan dia, untuk membeli solar maupun rokok, serta uang makannya di jalan.
Tapi ternyata? Setelah penghasilannya bertambah pun uang belanjaku tidak pernah berubah.
Dia bilang uangnya untuk disimpan, untuk tabungan jika kami butuh ataupun tua nanti. Tapi ternyata? Dia diam-diam mempersiapkan masa depan dengan wanita lain.
Memang hal itu tidak benar-benar terjadi pada akhirnya. Tapi jika ingat itu... tetap saja hatiku perih. Luka yang tak berdarah pun tetap menyakitkan.
[Aku enggak percaya. Kamu pasti sedang berbohong!]
[Sudah kubilang, tanyakan saja padanya.]
Sebuah dentingan terdengar dari ponsel suamiku. Aku mendengus, sudah pasti Dewi yang mengiriminya pesan. Ternyata nomornya masih belum diblokir juga.
Mas Hendra tampak mengetik sesuatu di layar ponselnya. Tak lama, ponsel milikku kembali menerima pesan dari perempuan sundal itu.
[Bajing*n. Pokoknya Mas Hendra tetap punyaku!]
Aku terkekeh. Yah, setidaknya Mas Hendra tidak mengaku-ngaku jika harta milikku adalah miliknya.
Entah kenapa, di balik semua kepahitan itu, ada sedikit rasa puas. Karena meski banyak hal yang bisa Dewi rebut dariku… satu hal tetap tak bisa dia miliki: harga diriku.
***
Bab ini aku tulis dengan emosi yang campur aduk — antara marah, getir, dan geli pada logika orang yang merasa berhak atas milik orang lain. Kadang perempuan yang paling tenang bukan karena dia sudah memaafkan, tapi karena dia sudah terlalu lelah untuk menjelaskan lagi.
Untuk yang sedang berada di posisi seperti tokoh utama... tenanglah, kamu tidak kalah hanya karena memilih diam. 💔
Tetap kuat dan semangat!
See you tomorrow!
Semangat berkarya ya Thor