Indira pikir dia satu-satunya. Tapi ternyata, dia hanya salah satunya.
Bagi Indira, Rangga adalah segalanya. Sikap lembutnya, perhatiannya, dan pengertiannya, membuat Indira luluh hingga mau melakukan apa saja untuk Rangga.
Bahkan, Indira secara diam-diam membantu perusahaan Rangga yang hampir bangkrut kembali berjaya di udara.
Tapi sayangnya, air susu dibalas dengan air tuba. Rangga diam-diam malah menikahi cinta pertamanya.
Indira sakit hati. Dia tidak menerima pengkhianatan ini. Indira akan membalasnya satu persatu. Akan dia buat Rangga menyesal. Karena Indira putri Zamora, bukan wanita biasa yang bisa dia permainkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bunda SB, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Urusan Rumah Tangga
Pagi hari Indira sedang duduk di ruang makan dengan secangkir kopi dan tablet di tangannya. Ia mengenakan setelan abu-abu yang rapi, rambutnya diikat ekor kuda tinggi, siap berangkat ke kantor setelah sarapan.
Langkah kaki yang terburu-buru membuat Indira melirik sekilas. Ayunda muncul dari tangga dengan dress tidur sutra pink, rambut berantakan, wajah kusut, tanda baru bangun. Sudah pukul sembilan pagi, tapi wanita itu baru saja keluar dari kamar.
Ayunda berjalan langsung menuju Indira, duduk di kursi seberang dengan wajah yang terlihat... menuntut.
"Kak Indira," sapanya dengan nada yang dibuat-buat sopan. "Aku mau bicara."
Indira tidak mengangkat matanya dari tablet. "Hmm."
"Aku butuh pembantu," ucap Ayunda langsung to the point. "Rumah ini terlalu besar untuk diurus sendiri. Dan aku... tidak terbiasa mengerjakan pekerjaan rumah. Jadi aku minta kakak untuk carikan pembantu. Dua orang mungkin? Satu untuk masak, satu untuk bersih-bersih."
Indira akhirnya menatap Ayunda dengan tatapan datar. "Tidak."
"Apa?" Ayunda terkejut. "Kenapa tidak?"
"Karena itu bukan urusanku," jawab Indira simpel sambil kembali membaca tablet-nya.
"Tapi kakak kan yang selama ini..."
"Aku yang selama ini apa?" Indira memotong dengan nada yang sangat tenang. "Aku yang selama ini urus rumah sendiri tanpa pembantu karena aku memilih seperti itu. Tapi kamu bukan aku. Kalau kamu mau pembantu, cari sendiri. Interview sendiri. Bayar sendiri. Bukan urusanku."
Ayunda menatapnya dengan mulut terbuka, tidak percaya dengan penolakan terang-terangan itu. "Tapi kakak kan tinggal di rumah ini juga..."
"Iya, aku tinggal di sini," potong Indira lagi, kali ini menatap Ayunda dengan tatapan yang tajam. "Di kamar tamu. Yang bukan kamar utama. Bukan kamarku yang sebenarnya. Aku tinggal di sini sebagai... tamu. Jadi jangan harap aku akan urus urusan rumah tangga lagi."
"Tapi..."
"Sudah," Indira meletakkan tablet-nya, menatap Ayunda dengan serius. "Ayunda, kamu sekarang istri Rangga. Kamu tinggal di rumah ini sebagai nyonya rumah setidaknya di kamar utama. Jadi urusan rumah tangga adalah tanggung jawabmu. Bukan tanggung jawabku lagi."
Ayunda terdiam, tidak tahu harus berargumen apa. Karena secara logika, Indira benar.
"Baiklah," akhirnya Ayunda menyerah tentang pembantu. "Kalau begitu aku mau mengatur rumah tangga. Aku mau punya hak untuk atur rumah ini, belanja, masak, apa yang dibeli, bagaimana rumah diatur. Aku mau jadi nyonya rumah yang sebenarnya."
Indira menatapnya sejenak, lalu tersenyum tipis yang tidak hangat. "Silakan. Aku izinkan. Atur sesukamu. Aku sudah tidak peduli dengan rumah ini."
Wajah Ayunda cerah seketika. Akhirnyaia mendapat pengakuan sebagai nyonya rumah. "Terima kasih, Kak. Aku janji akan urus rumah ini dengan baik."
"Hmm," gumam Indira tanpa antusias sambil mengambil tablet-nya lagi.
"Oh ya," Ayunda melanjutkan, kali ini dengan nada yang lebih percaya diri. "Kakak pasti punya uang belanja bulanan kan? Uang sisa dari bulan-bulan sebelumnya? Aku mau kakak kasih ke aku. Soalnya sekarang aku yang akan atur belanja rumah tangga."
Indira berhenti membaca. Ia meletakkan tablet-nya perlahan, menatap Ayunda dengan tatapan yang membuat wanita itu sedikit mundur.
"Uang belanja bulanan?" ulang Indira.
"Iya," Ayunda mengangguk. "Pasti kakak punya sisa uang belanja kan? Dari uang yang Rangga kasih setiap bulan? Aku mau kakak transfer ke aku."
Indira tersenyum yang semakin lebar, tapi entah kenapa terasa... menakutkan. "Ayunda, aku tidak punya uang belanja bulanan dari Rangga."
"Apa?" Ayunda mengernyit bingung. "Maksudnya?"
"Maksudnya," Indira menjawab dengan sangat tenang, "Mas Rangga tidak pernah memberikan uang belanja bulanan padaku. Tidak sekalipun dalam tiga tahun pernikahan kami."
Ayunda membeku. "Tidak mungkin. Kalau begitu kakak belanja pakai uang apa?"
"Uang ku sendiri," jawab Indira simpel. "Uang dari tabungan pribadi ku. Mas Rangga tidak pernah memberikan uang sepeserpun untuk kebutuhan rumah tangga. Semua aku yang tanggung, belanja, listrik, air, gas, internet, semuanya dari uang ku."
Wajah Ayunda memucat. "Ti-tidak mungkin..."
Ayunda terdiam, otaknya mencoba memproses informasi ini. Jadi selama ini Indira yang membiayai semua kebutuhan rumah? Tanpa bantuan Rangga sama sekali?
"Jadi... jadi tidak ada uang sisa?" tanya Ayunda dengan suara kecil.
"Tidak ada," jawab Indira sambil berdiri, mengambil tasnya. "Kalau kamu mau belanja, gunakan uangmu sendiri. Atau minta sama Mas Rangga. Bukan urusanku lagi."
"Tapi aku tidak punya uang..."
"Lagi-lagi, bukan urusanku," potong Indira dingin sambil berjalan menuju pintu.
"AKU TIDAK PERCAYA!" Ayunda berteriak, frustrasinya meledak. "Kakak cuma mau menyusahkan aku! Kakak tidak mau aku bahagia dengan Rangga!"
Indira berhenti di ambang pintu, tidak berbalik. "Percaya atau tidak, itu terserah kamu. Tapi faktanya Rangga tidak pernah kasih uang untuk rumah tangga. Dan kalau kamu tidak percaya, tanya dia sendiri."
Ia hendak melangkah keluar, tapi suara dari tangga menghentikan keduanya.
"Ada apa ini?"
Rangga turun dengan kemeja kerja biru muda yang belum dikancing penuh, wajah bingung menatap kedua wanita itu. Ia sudah mendengar teriakan Ayunda dari atas.
Indira ingin berlalu begitu saja, muak melihat Rangga dan Ayunda di ruangan yang sama, muak dengan drama ini. Tapi Ayunda langsung berlari menghampiri Rangga, menarik lengannya.
"Sayang!" Ayunda hampir menangis. "Indira tidak mau kasih aku uang sisa belanja bulanan! Dia bilang tidak ada uang, tapi aku tidak percaya! Pasti dia mau nyusahin aku!"
Rangga melirik Indira, mencari konfirmasi. Indira hanya berdiri diam dengan tas di tangannya, wajah tanpa ekspresi.
"Dira?" Rangga memanggil. "Apa yang Ayunda bilang benar? Kamu tidak mau kasih dia uang belanja?"
"Aku tidak punya uang belanja untuk diberikan," jawab Indira datar. "Karena kamu tidak pernah kasih aku uang belanja sejak awal."
Rangga terdiam, wajahnya berubah pucat. Ia baru tersadar, tiga tahun pernikahan, ia memang tidak pernah memberikan uang bulanan pada Indira. Ia hanya kasih uang kalau Indira minta, dan Indira jarang minta.
Tapi ternyata... Indira yang membiayai semuanya?
"Dira, aku..." Rangga mencoba berbicara.
"Tidak usah jelaskan," potong Indira. "Aku sudah bilang ke Ayunda, dia mau atur rumah tangga? Silakan. Tapi dia harus sediakan uangnya sendiri. Atau minta sama kamu. Yang jelas, bukan dari aku."
"Rangga!" Ayunda mengguncang lengan suaminya. "Katakan sesuatu! Ini tidak adil! Aku sekarang istri mu! Seharusnya semua kebutuhan rumah tangga jadi tanggung jawab istri kan? Indira yang harus kasih uang belanja ke aku!"
Rangga menatap Ayunda dengan campuran lelah dan bingung. "Ayunda, tunggu..."
"TIDAK MAU TUNGGU!" Ayunda semakin histeris. "Aku mau uang sekarang! Aku tidak bisa hidup tanpa uang! Aku butuh belanja! Aku butuh..."
"AYUNDA!" Rangga akhirnya membentak, membuat Ayunda terdiam seketika. "Cukup. Kita bicara baik-baik."
Ia menarik napas panjang, mencoba tenang. Lalu ia menatap Ayunda dengan tatapan serius.
"Ayunda, dengar," ucapnya dengan nada yang dibuat lembut meski terdengar dipaksakan. "Memang benar... tanggung jawab istri untuk atur rumah tangga. Masak, bersih-bersih, belanja itu semua tanggung jawab istri."
Wajah Ayunda berubah dari senang mendengar pembenaran menjadi... menunggu lanjutannya dengan cemas.
"Tapi," lanjut Rangga, "untuk uang belanja, itu tanggung jawab istri juga"
"TIDAK!" Ayunda berteriak tidak terima. "Aku tidak mau seperti ini! Aku menikah sama kamu untuk bahagia! Untuk hidup enak! Bukan untuk kerja kayak pembantu!"
Rangga tersentak dengan kata-kata itu. "Ayunda..."
"Aku tidak mau masak! Aku tidak mau bersih-bersih! Aku pikir kalau menikah sama kamu, aku akan punya pembantu, punya uang banyak, punya kehidupan yang nyaman! Bukan begini!" Ayunda mulai menangis, tangisan yang dramatis, yang terkesan dibuat-buat.
Rangga menatap istrinya yang menangis dengan campuran frustrasi dan rasa bersalah. Ia melirik Indira yang masih berdiri di ambang pintu, menatap drama ini dengan wajah datar seperti menonton teater yang membosankan.
"Ayunda, sayang," akhirnya Rangga berbicara dengan nada membujuk. "Dengarkan aku. Aku mengerti ini berat untukmu. Aku mengerti kamu tidak terbiasa dengan pekerjaan rumah tangga."
Ayunda terisak menunggu solusi.
"Aku janji," lanjut Rangga sambil mengusap air mata Ayunda, "aku akan kasih kamu uang bulanan. Berapa yang kamu mau. Untuk belanja, untuk kebutuhan rumah, untuk apapun yang kamu butuhkan. Oke?"
Ayunda menatap suaminya dengan mata berkaca-kaca. "Berapa?"
"Sebanyak yang kamu butuhkan," jawab Rangga, janji yang ia tidak tahu apakah bisa ia penuhi. "Aku akan urus. Aku janji."
Ayunda akhirnya tersenyum yang masih basah oleh air mata. "Terima kasih, sayang. Aku tahu aku bisa andalkan kamu."
Rangga memaksakan senyum, lalu ia menatap Indira yang masih berdiri di sana. "Dira, kamu juga. Aku akan kasih kamu uang bulanan. Seperti yang seharusnya aku lakukan sejak dulu. Maafkan aku."
Indira menatapnya, tatapan yang panjang, yang menilai. Lalu ia tersenyum tipis.
"Tidak perlu," ucapnya dengan nada yang sangat tenang. "Aku tidak butuh uangmu."
Rangga mengernyit. "Tapi Dira..."
"Mas Rangga," potong Indira, kali ini dengan senyum yang sedikit lebih lebar yang membuat Rangga tidak nyaman. "Aku tidak butuh uangmu karena aku punya uang sendiri. Uang yang jauh lebih banyak dari yang bisa kamu kasih."
"Apa maksudmu?"
"Maksudku," Indira melangkah sedikit lebih dekat, menatap suaminya dengan tatapan yang tajam, "kamu lebih baik simpan uangmu untuk Ayunda. Karena dengan kondisi perusahaanmu yang hampir bangkrut sekarang, aku ragu kamu punya cukup uang untuk kasih dua orang istri."
Keheningan mendadak mengisi ruangan. Rangga membeku, wajahnya memucat. "Dari mana kamu tahu tentang perusahaan ku?"
Indira hanya mengangkat bahu, gerakan casual yang justru membuat pertanyaan itu semakin menggantung. "Aku punya cara ku sendiri untuk tahu berbagai hal. Dan percayalah, aku tahu banyak hal yang kamu pikir aku tidak tahu."
"Dira..."
"Aku harus pergi," potong Indira sambil melirik jam tangannya. "Aku ada meeting penting. Kalian lanjutkan saja drama rumah tangga kalian. Aku tidak tertarik."
Ia berbalik, berjalan menuju pintu dengan langkah yang mantap.