Syima dan Syama adalah kembar identik dengan kepribadian yang bertolak belakang. Syama feminim, sementara Syima dikenal sebagai gadis tomboy yang suka melanggar aturan dan kurang berprestasi akademik.
Hari pernikahan berubah menjadi mimpi buruk, saat Syama tiba-tiba menghilang, meninggalkan surat permintaan maaf. Resepsi mewah yang sudah dipersiapkan dan mengundang pejabat negara termasuk presiden, membuat keluarga kedua belah pihak panik. Demi menjaga nama baik, orang tua memutuskan Devanka menikahi Syima sebagai penggantinya.
Syima yang awalnya menolak akhirnya luluh melihat karena kasihan pada kedua orang tuanya. Pernikahan pun dilaksanakan, Devan dan Syima menjalani pernikahan yang sebenarnya.
Namun tiba-tiba Syama kembali dengan membawa sebuah alasan kenapa dia pergi dan kini Syama meminta Devanka kembali padanya.
Apa yang dilakukan Syima dalam mempertahankan rumah tangganya? Atau ia akan kembali mengalah pada kembarannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Misstie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bimbang
Syima naik ke kamarnya dengan langkah berat. Dia menutup pintu dan langsung melempar ponsel ke atas kasur. Rasa kesal yang luar biasa membuatnya ingin berteriak.
"Buat apa aku debat tadi kalau akhirnya Syama tetap ngikutin buat nikah!" gerutunya sambil duduk di meja belajar.
Di bawah, obrolan soal pernikahan masih berlanjut. Syima memilih menjauh, membiarkan mereka sibuk merancang masa depan kakaknya. Dia membuka buku matematika dan mulai mengerjakan soal-soal dari Devanka.
Sekitar setengah jam kemudian, ada ketukan di pintu kamarnya. Syama masuk dengan wajah lelah dan mata sedikit sembab.
"Sisi," panggil Syama sambil duduk di pinggir kasur.
"Apa?" jawab Syima tanpa menoleh dari bukunya."Makasih ya tadi udah bela aku."
Syima akhirnya menoleh. "Tapi percuma, kamu juga tetep aja ngikut kemauan mereka."
"Sisi..."
"“Kalau mau curhat, ngomong aja. Gak usah ribet, aku lagi banyak tugas,” ucap Syima agak ketus.
Syama terdiam, melihat kertas diatas meja belajar Syima.
"Mau jadi ngomong, gak? Aku mau nerusin nugas ini." Syima kesal melihat kembarannya malah menatapnya dengan mata yang berkaca-kaca.
"Atau kamu mau gagalin lagi rencana nikahnya?" tanya Syima lagi dengan nada sarkastik.
"Sisi, situasinya rumit. Kamu gak akan ngerti."
"Semua orang bilang aku gak ngerti. Padahal umur kita sama, tentu apa yang kalian bahas aku juga ngerti," jawab Syima agak kesal selalu dianggap anak kecil.
"Sebenarnya kamu masih belum mau nikah, tapi kamu takut mengecewakan Ibu, dan bikin Ibu stres kalau kamu menolak. Makanya kamu memilih mengorbankan perasaan kamu sendiri. Gitu kan?"
Syama terkejut dengan analisis adiknya yang tepat sasaran, lalu dia mengangguk.
"Tapi Si, aku cinta banget sama Mas Devan. Aku memang mau menikah sama dia. Cuma kalau sekarang rasanya terlalu cepat..."
"Kalau gitu, kamu bicarakan semuanya sama Mas Devan-mu itu," timpal Syima dengan nada sedikit meledek.
"Aku sama Mas Devan sudah ngomong soal itu. Dia tidak keberatan, menunggu aku siap." Syama akhirnya mengungkapkan semuanya.
Syima menghela napas panjang. Diakuinya masalah yang dihadapi Syama memang berat. Kalau dia berada di posisi Syama, mungkin dia sudah kabur dari rumah.
"Tapi kalau kamu terpaksa menikah dalam keadaan belum siap, kamu yang bakal stres. Dan itu juga bakal bikin Ibu sedih kan?"
Syama menghapus air matanya. "Terus aku harus bagaimana?"
"Mau gak mau kamu harus ngomong lagi sama ibu bapak. Jelasin lebih detail alasanmu tidak mau menikah cepat-cepat."
"Pas makan tadi kan udah aku jelasin, Si."
"Ya jelasin lagi. Masa harus aku yang jelasin. Yang ada aku berantem lagi sama Bapak."
"Kayaknya udah terlambat, Si. Tadi Bapak mengundang orang tua Mas Devan kesini. Katanya buat perkenalan."
"Yakin perkenalan? Bukan lamaran?" tanya Syima.
"Aku juga merasa itu lamaran."
"Tahu ah puyeng..." Syima menggelengkan kepalanya.
Syama mengangguk lemah mendengar jawaban adiknya. "Iya, Si. Aku juga pusing. Rasanya semua terjadi terlalu cepat."
"Lah, terus kenapa tadi kamu langsung setuju?" tanya Syima sambil memutar kursinya menghadap kakaknya sepenuhnya.
"Aku panik. Apalagi pas tadi denger Ibu bilang, takut gak ada umur buat menyaksikan pernikahanku, terus puncaknya kamu sama Bapak malah berantem. Aku jadi takut Ibu makin stres, dan memperparah penyakitnya. Jadi aku setuju cuma buat redain keadaan. Tapi sumpah… aku nyesel banget." Syama mengusap wajahnya kasar, terlihat jelas frustasinya.
"Selama ini aku selalu nyoba jadi anak baik, tapi… sekarang aku capek. Aku nggak mau kehilangan Ibu, tapi aku belum siap jadi istri, apalagi harus mikirin rumah tangga, ngurusin suami. Aku udah stres banget, Si… rasanya pengen kabur."
"Setelah menikah nanti, aku jadi takut kehilangan diriku yang sebenarnya karena kewajiban yang harus aku penuhi sebagai seorang istri," lanjut Syama mengeluarkan unek-uneknya.
Syima mengangkat kedua alisnya, sedikit tidak mengerti maksud Syama kalau menikah bisa membuatnya kehilangan dirinya.
"Emangnya Pak Devan ngelarang kamu kuliah? Kerja?"
Syama menggeleng cepat. "Enggak. Dia bilang dia akan mendukung apapun yang aku ingin capai."
"Lah... Kalau gitu kamu tetep bisa jadi diri kamu sendiri dong."
"Tapi setelah menikah nanti, kemungkinan aku bakal hamil, punya anak. Saat itu aku pasti gak bisa memiliki banyak waktu untuk mengembangkan diriku sendiri, Si."
"Childfree aja kalau gitu," celetuk Syima tanpa pikir panjang.
"Gak semudah itu, Sisi! Belum tentu Mas Devan setuju."
Syima memijat keningnya yang semakin pening. "Sya, ini kan masalah kamu. Tapi energiku ikut terkuras buat mikirin ini, ya?"
"Tapi aku butuh saran kamu, Si."
"Saranku tetap sama. Kalau kamu belum siap nikah, jelasin ke Bapak sama Ibu. Kalau kamu mau nikah, ya nikah aja. Jangan setengah-setengah gini."
"Gimana kalau aku bilang belum siap setelah tadi setuju, nanti Bapak makin marah."
"Ya elah... balik lagi kesitu. Kalau bapak marah, itu resiko. Lagian marah Bapak sama kamu mah biasa aja. Besok omongin aja sama Bapak Ibu, mereka pasti ngerti kok. Apalagi anak kesayangannya yang ngomong."
"Apaan sih, Si? Gak ada anak kesayangan buat ibu sama bapak. Rasa sayang mereka sama buat kita berdua. Cuma kamu kelewat berani melawan bapak."
"Kalau sifatku sama persis sama kamu, rumah ini akan terasa sepi," bangga Syima sambil kembali menatap soal-soal.
Syama bangkit dari kasur dan berjalan menuju pintu. "Syima?"
"Apa?"
"Kamu mengerjakan tugasnya sampai selesai ya. Kata Mas Devan kamu pintar, cuma gak mau mengasah aja."
"Aku bukan pisau, jadi gak usah diasah," celetuk Syima, tidak peduli.
Saudara kembarnya menghirup napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya kasar. Percuma membicarakan soal akademis dengan Syima. Tidak akan pernah didengar.
"Aku ke kamar, ya," pamit Syama, bangkit dan berdiri keluar kamar.
Setelah Syama keluar, Syima kembali ke meja belajarnya. Dia melirik tumpukan soal yang belum selesai dan menghela napas.
"Dasar ribet," gumamnya sambil mengambil pulpen.
Meski lelah secara mental karena drama keluarga tadi, Syima memaksa dirinya fokus mengerjakan tugas. Dia tidak mau masalah pribadi mengganggu akademiknya yang sudah cukup buruk.
Jam menunjukkan sudah hampir tengah malam ketika dia akhirnya menyelesaikan soal terakhir. Matanya sudah perih, tapi dia merasa lega bisa menyelesaikan semua tugas tepat waktu.
"Akhirnya selesai juga," katanya sambil meregangkan tubuh yang pegal.
Di kamar sebelah, Syama masih terjaga. Dia duduk di tepi ranjang sambil menatap cincin sederhana yang baru saja diberikan Devanka sore tadi, sebelum semua kekacauan di meja makan terjadi. Air matanya kembali mengalir, bukan hanya karena takut kehilangan ibunya, tapi juga karena keputusan yang harus ia pikul sendirian.
"Childfree?" gumam Syama mulai memikirkan saran Syima.
love you..../Heart//Heart//Heart//Heart//Heart//Rose//Rose//Rose/
di tunggu gaya bucin pak Devan ....pasti konyol istriya tomboy suami ya kaya kanebo ga ada expresi... di tunggu update selanjutnya thor/Heart//Heart//Heart//Heart//Heart/