Aruna Prameswari tidak pernah membayangkan hidupnya akan berubah dalam sekejap. Seorang dokter muda abad ke-21 yang penuh idealisme, ia mendadak terhempas ke abad ke-19, masa kelam kolonial Belanda di tanah Jawa. Saat rakyat tercekik oleh sistem tanam paksa, kelaparan, dan penyakit menular, kehadiran Aruna dengan pengetahuan medis modern membuatnya dipandang sebagai penyelamat sekaligus ancaman.
Di mata rakyat kecil, ia adalah cahaya harapan; seorang penyembuh ajaib yang mampu melawan derita. Namun bagi pihak kolonial, Aruna hanyalah alat berharga yang harus dikendalikan.
Pertemuannya dengan Gubernur Jenderal Van der Capellen membuka lembaran baru dalam hidupnya. Sosok pria itu bukan hanya sekedar penguasa, tetapi juga lawan, sekutu, sekaligus seseorang yang perlahan menguji hati Aruna. Dalam dunia asing yang menyesakkan, Aruna harus mencari arti keberadaannya: apakah ia hanya tamu yang tersesat di masa lalu, atau justru takdir membawanya ke sini untuk mengubah sejarah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 17. SIDANG
Suasana di dalam ruang sidang Stadhuis Batavia pada pagi itu begitu khidmat, namun juga penuh tekanan. Dari jendela-jendela tinggi yang berjajar, cahaya matahari menembus kaca, memantulkan kilau keemasan di lantai marmer yang dingin. Dinding-dindingnya yang tebal dihiasi lukisan potret para gubernur terdahulu, menatap kaku dengan sorot mata yang seolah menghakimi siapa pun yang berdiri di ruangan itu.
Di tengah ruangan, sebuah meja panjang dari kayu jati menguasai pandangan, di mana para pejabat tinggi Hindia Belanda duduk berderet rapi dengan wajah angkuh. Mereka mengenakan jas resmi berwarna gelap, dasi putih, dan topi tiga sudut yang terletak di sisi kursi masing-masing. Di ujung meja, duduk seorang pria dengan wajah tegas, dagu terangkat, dan sorot mata tajam: Gubernur Jenderal Godert Alexander Gerard Philip van der Capellen.
Aruna berdiri di hadapan mereka. Tubuhnya tegak, namun jantungnya berdegup kencang. Dua orang serdadu kompeni bersenjata berdiri di kanan-kiri, seakan mengingatkan bahwa langkah sekecil apa pun bisa dianggap ancaman. Meski demikian, Aruna tidak menunjukkan rasa gentar di wajahnya. Pandangan matanya tenang, bibirnya tertutup rapat, menyimpan kekuatan dalam diam.
Suara berat Van der Capellen memecah keheningan.
"Jadi, kau-lah yang disebut-sebut berhasil mengubah keadaan Desa Waringin yang kumuh itu?" ujar sang Gubernur dalam bahasa Belanda, lalu diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu oleh seorang penerjemah yang berdiri di sampingnya.
Aruna mengangguk hormat, lalu berkata dalam bahasa Belanda yang fasih dan kembali mengejutkan semua orang, "Benar, Tuan Gubernur. Aku hanyalah seorang perempuan sederhana yang kebetulan singgah di desa itu. Namun, dengan pertolongan Tuhan dan kerja sama penduduk, keadaan mereka berubah sedikit demi sedikit."
Gubernur mengangkat alis, tampak tertarik terutama ketika Aruna yang lagi-lagi fasih dalam bahasa Belanda tanpa penerjemah. "Ceritakan padaku, bagaimana kau melakukannya? Apa rahasiamu sehingga orang-orang desa yang lapar, sakit, dan miskin itu kini disebut-sebut sehat dan makmur?"
Seluruh pejabat Belanda menoleh pada Aruna, sebagian dengan wajah skeptis, sebagian lagi dengan senyum sinis.
Aruna menarik napas panjang, lalu berbicara dengan suara jernih, lantang, dan penuh keyakinan. Hal yang paling Aruna kenal dari sosok di depannya ini adalah Van der Capellen menyukai pribumi, menyukai tanah negeri ini. Bahkan mungkin Aruna satu-satunya yang tahu di masa ini betapa cinta Van der Capellen pada orang pribumi.
"Perubahan selalu dimulai dari hal yang paling sederhana. Aku melihat bahwa yang membuat mereka menderita bukan hanya kemiskinan, tetapi juga rasa lapar yang terus-menerus. Maka langkah pertama yang kulakukan adalah memastikan perut mereka kenyang. Aku ajarkan cara menanam sayur di halaman sendiri, beternak ayam dan kambing kecil-kecilan. Dari yang lapar, mereka menjadi kenyang. Lalu, aku lihat banyak dari mereka yang sakit, kurus, dan hampir putus asa. Aku ajarkan cara menjaga kebersihan, cara meracik obat dari tanaman sekitar, dan memberi semangat untuk tidak menyerah. Dari yang sakit, mereka perlahan menjadi sehat. Aku ajarkan anak-anak tentang dunia luar, agar kelak mereka tidak hanya tahu bekerja di sawah, tetapi juga bisa berpikir lebih luas. Aku katakan pada para perempuan bahwa mereka tidak sekadar pengikut, tetapi juga pilar rumah tangga. Dari yang minim ilmu, mereka mulai melek pengetahuan. Dari yang lemah, mereka mulai percaya diri," jawab Aruna.
Kata-kata Aruna bergema di dalam ruang besar itu, mengalun seolah menentang udara yang penuh kesombongan. Namun, bukannya pujian, justru tawa mengejek terdengar dari salah seorang pejabat Belanda yang duduk di barisan tengah.
"Omong kosong!" serunya dalam bahasa Belanda, kemudian diterjemahkan. "Tidak mungkin seorang perempuan kampung, apalagi pribumi, mampu melakukan semua itu. Perempuan di negeri ini hanyalah makhluk lemah, tugasnya hanya melahirkan anak dan mengurus dapur. Bagaimana mungkin dia bisa mengubah desa?"
Beberapa pejabat lain mengangguk setuju, bahkan tertawa meremehkan.
Aruna mengepalkan tangannya. Wajahnya tetap tenang, namun matanya menyala dengan api yang tidak bisa dipadamkan. Ia mengangkat dagu, lalu berkata dengan suara yang dalam dan penuh tenaga. “Benar, aku perempuan. Tapi jangan salah sangka. Aku berasal dari tempat yang jauh, sebuah negeri di mana perempuan dan laki-laki berdiri sejajar. Di sana, perempuan dapat menjadi dokter yang menyembuhkan, guru yang mendidik, bahkan pemimpin yang menuntun rakyatnya. Perempuan bukanlah makhluk lemah. Justru di balik kelembutannya, ada kekuatan yang mampu mengubah dunia. Jangan meremehkan perempuan hanya karena kau tidak sanggup melihat apa yang ada di dalam dirinya."
Ruangan mendadak hening. Semua pejabat menatap Aruna dengan wajah terkejut, tak menyangka bahwa seorang perempuan pribumi berani berbicara setegas itu di hadapan mereka.
Namun, tidak semua terkesan. Seorang pejabat Belanda yang berperawakan gemuk, wajahnya merah karena marah, mendadak berdiri dan menunjuk Aruna.
"Berani sekali kau, perempuan kampung, bicara seperti itu di hadapan kami! Serdadu! Tangkap dia! Masukkan ke penjara! Kalau perlu, eksekusi dia sekarang juga agar menjadi pelajaran bagi yang lain!" lolongnya.
Dua serdadu di kanan-kiri Aruna segera bergerak, memaksa Aruna berlutut di lantai marmer yang dingin. Aruna menggertakkan gigi, menahan rasa sakit ketika pundaknya ditekan keras. Namun, sebelum mereka sempat menyeretnya pergi, suara lantang Van der Capellen menggelegar, membuat semua orang di ruangan itu terdiam.
"Berhenti!"
Suara itu bagai gelegar petir di siang bolong. Para serdadu terhenti seketika, ragu-ragu untuk melanjutkan perintah pejabat yang tadi berteriak.
Van der Capellen menatap tajam pejabat gemuk itu, wajahnya merah padam, urat di lehernya menegang.
"Siapa kau berani-beraninya memerintah seolah engkau gubernur di sini?!" bentaknya dalam bahasa Belanda. "Di hadapanmu berdiri aku, Van der Capellen, Gubernur Jenderal Hindia Belanda! Tidak ada satu pun dari kalian yang berhak mengeluarkan perintah tanpa seizinku!"
Suasana ruangan mendadak tegang. Pejabat yang tadi bersuara langsung pucat pasi, tubuhnya gemetar, lalu buru-buru menundukkan kepala sambil gagap meminta maaf.
Aruna, yang masih ditahan serdadu, menoleh dengan mata terbelalak. Ia tak menyangka bahwa gubernur yang berkuasa itu bukan sedang marah padanya, melainkan kepada orang yang hendak menghukumnya.
"Lepaskan dia," perintah Van der Capellen kepada serdadu.
Dengan ragu, kedua serdadu melepaskan genggamannya. Aruna perlahan berdiri kembali, menegakkan tubuhnya, menatap lurus ke arah gubernur. Ada rasa lega bercampur bingung dalam dadanya.
Dan kemudian, sesuatu yang jauh lebih mengejutkan terjadi.
Van der Capellen menatap Aruna dengan mata yang berbeda, bukan lagi tatapan seorang penguasa yang menghakimi, melainkan tatapan penuh minat, rasa hormat, bahkan kekaguman. Suara beratnya terdengar mantap, bergema ke seluruh ruangan.
"Mulai hari ini, aku mengangkat perempuan ini ... menjadi wanitaku. MIjn vrouw," kata Van der Capellen.
Seisi ruangan terperanjat. Beberapa pejabat hampir terjatuh dari kursinya, yang lain saling pandang dengan mata melotot. Mereka tahu Van der Capellen dikenal dingin terhadap perempuan, tak pernah memberi hatinya pada siapa pun, hanya berfokus pada urusan pemerintahan. Namun kini, di hadapan semua pejabat, ia secara terbuka menyatakan bahwa seorang perempuan pribumi, seorang asing yang baru saja menentang mereka, akan tinggal di sisinya.
Willem, sahabat dekat Van der Capellen yang berdiri di sisi ruangan, pun tampak terkejut luar biasa. Ia mengenal gubernur itu sejak lama, dan tahu betul bahwa tak seorang pun wanita pernah berhasil menarik perhatiannya.
Aruna sendiri terpaku, sulit percaya pada apa yang baru saja ia dengar.