NovelToon NovelToon
Terjerat Hasrat Tuan Muda

Terjerat Hasrat Tuan Muda

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / One Night Stand / Cinta Terlarang / Beda Usia / Teen School/College / Dark Romance
Popularitas:2.6k
Nilai: 5
Nama Author: OctoMoon

Demi melunasi hutang ibunya, Nayara rela menjual keperawanannya pada pria asing di hotel mewah. Ia pikir semuanya berakhir malam itu—hingga pria itu kembali muncul sebagai kakak sahabatnya sendiri.

Alaric, Pewaris keluarga kaya yang dingin sekaligus berbahaya, langsung mengenali Nayara sebagai gadis yang pernah ia sentuh. Sejak saat itu, hidup Nayara berubah jadi permainan penuh ancaman godaan dan rahasia terlarang yang siap meledak kapan saja.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon OctoMoon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 21 / THTM

Hujan mulai turun lagi, lembut namun cukup untuk membuat udara menjadi lebih dingin.

Nayara menatap tanah yang basah, jantungnya berdetak terlalu cepat.

Ia ingin berlari.

Tapi entah kenapa, kakinya seolah menolak perintah itu.

“Aku mau pulang,” katanya pelan, hampir berbisik.

Alaric tidak menjawab.

Ia hanya berdiri di sana, beberapa langkah di depan, dengan ekspresi yang sulit ditebak.

Tatapan matanya tidak marah, tidak juga lembut — hanya dingin dan dalam, seperti jurang yang siap menelan siapa pun yang terlalu dekat.

“Kamu nggak pernah benar-benar pulang, Nayara,” suaranya akhirnya terdengar.

“Kamu cuma lari. Dan kamu tahu, aku orang yang nggak suka mengejar bayangan.”

Nayara menegakkan kepala, berusaha menahan air mata yang sudah menggenang.

“Kalau kakak tahu itu salah, kenapa terus dilakuin? Kenapa kamu nggak biarin aku tenang?”

Alaric menatapnya lama.

Lalu, pelan-pelan ia menghela napas, langkahnya maju sekali.

“Karena aku juga nggak tenang, Nayara.”

Kata-kata itu seperti pisau yang menembus dinding pertahanan Nayara.

Ada kejujuran di dalamnya — kejujuran yang membuat segalanya semakin sulit.

Ia tahu Alaric bukan pria jahat, tapi juga bukan pria yang bisa dimaafkan begitu saja.

“Kakak nggak sadar seberapa parah nyakitin aku,” Nayara bergetar, suaranya pecah di ujung kalimat.

“Setiap kali kamu muncul, semua hal yang udah aku perbaiki jadi rusak lagi.”

Alaric menunduk sedikit, kedua tangannya terkepal di sisi tubuh.

Untuk pertama kalinya, Nayara melihat sesuatu di mata pria itu — rasa bersalah yang samar, tapi nyata.

“Aku tahu,” jawabnya pelan.

“Dan justru karena itu aku nggak pernah bisa tidur tenang.”

“Aku pengen berhenti… tapi tiap kali aku liat kamu, aku nggak bisa.”

Nayara menggigit bibir, tubuhnya sedikit bergetar.

Antara ingin menangis atau berteriak, ia sendiri tak tahu.

“Jadi kamu mau aku gimana, Alaric? Mau aku hancur lagi biar kamu bisa tenang?”

Pria itu tak menjawab. Ia hanya menatap.

Satu langkah lagi, dan jarak di antara mereka tinggal sejengkal.

Namun alih-alih menyentuh, Alaric malah berkata pelan:

“Aku nggak akan maksa kamu malam ini.”

“Tapi aku nggak janji kalau besok aku bisa nahan diri.”

Dan sebelum Nayara sempat menjawab, pria itu berbalik.

Langkahnya perlahan menjauh, meninggalkan jejak kaki di antara bebatuan basah.

Suara hujan makin deras, menelan semua kata yang belum sempat diucapkan.

Nayara berdiri mematung.

Rasanya seperti ditinggal di tengah badai tanpa arah.

Ia tahu ini tidak akan pernah selesai — Alaric bukan tipe pria yang benar-benar pergi.

Dan yang paling menakutkan, di balik semua ketakutan itu, ada bagian kecil di hatinya yang… merindukan kehadiran itu.

...----------------...

Sudah tiga hari sejak malam itu.

Tiga hari sejak Alaric berbalik dan meninggalkan Nayara di bawah hujan.

Tiga hari pula Nayara berusaha keras meyakinkan dirinya bahwa semua ini sudah berakhir.

Ia kembali ke rutinitasnya — sekolah, membantu ibunya sepulang kelas, dan pura-pura tertawa dengan teman-temannya. Tapi setiap kali ia melewati jalan depan rumah besar keluarga Elara, langkahnya otomatis melambat. Ada sesuatu di sana yang membuat dadanya terasa sesak.

Bukan karena kenangan indah, tapi karena luka yang belum sembuh.

“Aku harus berhenti mikirin dia,” gumamnya pelan saat mencuci piring.

“Udah cukup, Nayara. Udah.”

Namun lidahnya terasa pahit setiap kali mengucapkan nama itu dalam hati.

Karena semakin ia berusaha melupakan, semakin bayangan pria itu mengisi pikirannya — tatapan matanya, nada suaranya, bahkan cara Alaric menahan napas ketika bicara serius.

Seolah semua itu tertanam di ingatannya.

Sementara di tempat lain, di ruang kerja dengan jendela kaca tinggi yang menghadap ke kota, Alaric menatap berkas-berkas di mejanya tanpa fokus.

Pekerjaan menumpuk, tapi pikirannya kosong.

Beberapa staf memanggilnya dari luar ruangan, tapi ia hanya memberi jawaban singkat.

Hari-hari ini, Alaric menjadi lebih pendiam dari biasanya. Bahkan Elara sempat bertanya apakah ia sakit.

“Enggak. Cuma banyak pikiran,” jawabnya waktu itu.

Namun, yang ia pikirkan bukan bisnis, bukan laporan keuangan.

Yang terus berputar di kepalanya hanyalah wajah Nayara saat menatapnya dengan mata berkaca-kaca di bawah hujan.

Dan kalimat gadis itu yang seolah menggema di setiap sudut pikirannya:

“Kakak nggak sadar seberapa parah nyakitin aku…”

Alaric memejamkan mata, bersandar ke kursi, mencoba menenangkan napasnya. Tapi setiap kali ia menarik udara, rasanya seperti menghirup sesuatu yang membuat dadanya semakin berat.

Ia mencoba menjauh.

Menyibukkan diri.

Meyakinkan dirinya bahwa ini hanya dorongan sesaat, obsesi yang akan hilang seiring waktu.

Tapi nyatanya, semakin ia menjauh, semakin kuat bayangan itu menjerat.

Dan yang lebih menakutkan — Alaric tahu, suatu saat nanti, ia akan menyerah pada tarikan itu.

Sore itu, hujan turun lagi.

Langit gelap, seolah mengulang malam itu.

Nayara menatap keluar jendela rumahnya, menggenggam secangkir teh hangat.

Ia tidak tahu mengapa dadanya tiba-tiba berdebar — seperti firasat.

Dan di sisi lain kota, di dalam mobil hitam yang berhenti di pinggir jalan, Alaric menatap layar ponselnya.

Namanya sudah ia ketik di kolom pencarian pesan: Nayara.

Jempolnya menggantung di atas layar.

Ia ingin mengetik sesuatu — apapun — tapi tidak bisa.

Akhirnya, ia hanya menutup ponsel itu dan mendesah pelan.

“Kamu nggak tau, Nayara,” bisiknya, lirih.

“Semakin aku coba lupa, semakin aku ingat.”

...----------------...

Sudah hampir sebulan sejak Alaric meninggalkan kota itu, tapi pikirannya tak pernah benar-benar beranjak.

Setiap malam, bayangan gadis itu kembali — senyum malu-malu, nada lirih di telinga, dan tatapan takut yang anehnya selalu memancing sesuatu yang lebih gelap di dalam dirinya.

“Sudah cukup,” katanya lirih, menatap pantulan dirinya di kaca jendela apartemen luar negeri.

Namun bahkan suaranya sendiri terdengar tidak meyakinkan.

Ia datang ke kota itu lagi, kali ini bukan karena urusan bisnis atau keluarga kecilnya.

Melainkan karena perintah.

Sebuah kabar dari keluarganya:

“Sudah saatnya kau memikirkan pernikahan, Alaric.”

Kata itu mengendap di kepalanya seperti racun.

Pernikahan.

Sesuatu yang seharusnya menjadi hal wajar, tapi entah kenapa terasa menyesakkan.

Bagaimana bisa ia menikahi wanita lain, sementara bayangan Nayara bahkan masih hidup di setiap denyut nadinya?

Rumah besar keluarga sudah bersih, berkilau seperti biasa, tapi langkah Alaric terasa berat ketika melangkah masuk.

Ibunya langsung menyambut dengan senyum hangat, sementara sang ayah mulai membicarakan calon gadis yang sudah disiapkan keluarga mitra bisnis mereka.

“Dia baik, sopan, dan berlatar belakang kuat,” ujar sang ayah dengan nada tegas.

Alaric hanya mengangguk singkat, seolah tak ingin membantah.

Tapi di dalam kepalanya, semua suara itu hanya bergema tanpa makna.

Ia bahkan tak ingat wajah calon pengantinnya, karena pikiran itu sudah tertutup oleh satu nama: Nayara.

Hari-hari berikutnya, Alaric berusaha menenangkan diri dengan kesibukan.

Ia bekerja, berdiskusi, bahkan lebih banyak berada di kantor pusat.

Namun anehnya, semakin keras ia mencoba menghindar, semakin jelas bayangan Nayara di benaknya.

Suatu sore, ia mendengar nama itu lagi — disebut dari mulut ibunya sendiri.

“Oh iya, Elara bilang Nayara sekarang jarang ke rumah. Sayang sekali padahal dulu anak itu sering membantu,”

ucap sang ibu ringan, tak sadar betapa satu kalimat itu mampu menghentikan napas putranya.

Alaric menatap ibunya lama.

Hening, tapi ada sesuatu di balik pandangan itu yang sulit diterjemahkan.

“Jarang, ya?” suaranya dalam tapi datar.

“Mungkin dia sibuk, Nak. Lagi fokus belajar,” balas sang ibu sambil tersenyum kecil.

Namun di dalam kepala Alaric, kata sibuk itu justru berarti menghindar.

Dan kalau Nayara menghindar… berarti gadis itu masih takut.

Dan kalau masih takut… berarti masih mengingat.

Itu cukup bagi Alaric untuk tahu:

Nayara belum sepenuhnya lepas.

Malamnya, Alaric duduk di balkon kamarnya. Angin malam menerpa rambutnya pelan, sementara lampu kota berkilau jauh di bawah sana.

Ia menyesap kopi yang sudah dingin dan tersenyum samar.

“Jadi, mereka mau menjodohkan ku, ya?” gumamnya pelan.

“Lucu… mereka pikir aku masih punya ruang untuk orang lain.”

Senyum itu berubah menjadi sesuatu yang lebih tipis — dingin, tapi menyakitkan.

Ia tahu, cepat atau lambat, pertemuan itu akan datang lagi.

Entah karena takdir atau karena usahanya sendiri, jalan mereka selalu berpotongan.

Dan kali ini, ia tidak akan membiarkan Nayara lari lagi.

1
Suki
Ngagetin!
OctoMoon: hehehe😊 Makasih yah kak karna sudah berkunjung di karya ku✨😊
total 1 replies
mr.browniie
Penuh makna
OctoMoon: Terimakasih kak karna sudah berkunjung✨😊
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!