Caroline Damanik Dzansyana, hanya gadis malang berprofesi sebagai koki dessert di sebuah restoran Itali, dia diberatkan hidup karena harus membiayai rumah sakit ibu angkatnya yang koma selama satu tahun terakhir ini karena sebuah kecelakaan tragis.
Lalu, di suatu hari, dia dipertemukan dengan seorang wanita berwajah sama persis dengannya. Dia pikir, pertemuan itu hanyalah kebetulan belaka, tetapi wanita bernama Yuzdeline itu tidak berpikir demikian.
Yuzdeline menawarkan perjanjian gila untuk menggantikan posisinya sebagai istri dari pewaris Harmoine Diamond Group dengan bayaran fantastis—300 Milyar. Namun, Caroline menolak.
Suatu malam, takdir malah mempertemukan Caroline dengan Calvino—suami dari Yuzdeline dan menimbulkan kesalahpahaman, Calvino mengira jika Caroline adalah istrinya, sehingga dia menyeretnya masuk ke hidupnya.
Sejak saat itu, Caroline tidak pernah bisa kembali ke hidupnya. Bagaimanakah kisah selanjutnya? Apa yang akan Caroline lakukan untuk kembali ke hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Teriablackwhite, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 17—PPMITMC
HAPPY READING
____________________________________
Marisa bangkit dari sofa, terpampang jelas di wajahnya, sebuah penolakan paling kuat yang pernah dia tunjukkan secara langsung terhadap sang suami.
"Enggak bisa, Pah!" tolaknya bersuara lantang, "Barbara itu keras kepala, dan kita udah berjuang untuk mendapatkan dan mengakuisisi 40% saham keluarga Barbara, itu bukan sekadar angka di kertas. Itu hasil dari manuver, negosiasi, bahkan permainan yang membuat banyak lawan jatuh tersungkur. Dan sekarang kamu ingin aku melepaskannya."
Bambam paham jika dia memposisikan dirinya di panggung bisnis, mereka telah bernegosiasi dengan perusahaan Barbara family untuk mendapatkan apa yang mereka pegang saat ini, sampai mereka harus mengikat semuanya dengan pernikahan Yuzdeline dengan putra mereka.
Layaknya dugaan Calvino, jika pasangan ini bukan kebetulan menemukan Yuzdeline dan menjadikannya menantu atau istri dari pria yang saat ini sedang menonton percakapan mereka dari lantai atas.
Kali ini Bambam tidak berpikir sebagai pebisnis, melainkan sebagai seorang ayah yang sedang memerhatikan keinginan dan memahami jalan pikiran sang putra.
"Aku paham, Mah, kita tahu bersama, meski perusahaan Barbara tengah anjlok, mereka masih menyimpan nilai lebih berupa jaringan investasi global dan aset strategis yang membuat Harmoine melihatnya sebagai kesempatan emas untuk diincar, saat itu." Bambam berucap.
Jika memandang usahanya, memanglah tidak sepadan, tetapi mereka memang berniat mengincar perusahaan Barbara lebih dulu, sampai akhirnya mereka menemukan celah perjodohan dan berakhir pernikahan kontrak untuk memperkuat nilai mereka.
Bambam masih mengingat jika mereka mengincar perusahaan Barbara karena jaringan perusahaan mereka masih sangat kuat dan sangat menguntungkan untuk bisnis baru yang mereka kelola dari buah jatuhnya perusahaan pusat ke tangan Calvino.
Bambam menghadap ke jendela besar di samping kanan ruan tengah. "Saat itu, kita merasa kecewa dengan keputusan Papa Harmoine, yang lebih memilih Calvino untuk mewarisi perusahaan pusat Harmoine Group, dan Papa mewariskan perusahaan lain yang berkiprah di real estate pada kita," paparnya menyimpan sedikit kekecewaan.
"Namun, perusahaan real estate Papa cukup bagus, perusahaan ini bisa berjajar dengan perusahaan besar lainnya yang sekelas, lalu kita menemukan perusahaan Barbara yang tengah collapse." Bambam membenamkan dua tangan ke dalam saku celana.
Di belakangnya, Marisa sudah berdiri dengan dagu terangkat dan tangan dilipat secara tegap nan erat. "Dari sanalah kita sepakat untuk menyuntikkan dana dan mengakuisisi saham perusahaan itu, dan menguatkan kerjasama dengan adanya pernikahan Yuzdeline dan Calvino."
"Intinya, kita emang membutuhkan jaringan global Barbara, sekaligus kita butuh peran Yuzdeline untuk membantu Calvino dari keterpurukannya," sambung Marisa masih enggan melepas saham perusahaan yang dia miliki di perusahaan Barbara.
Dalam kata lain, Calvino menangkap adanya tindakan curang yang mematikan telah dilakukan orangtuanya.
Calvino mengepalkan tangannya, geram. "Udah aku duga, mereka membawa Yuzdeline bukan karena mereka memang tertarik dengan Yuzdeline untuk dijadikan istri pengganti Karmelita, tapi mereka menggerogoti Barbara, bahkan mereka membuat Yuzdeline terpenjara oleh pernikahan ini."
"Membuat Yuzdeline dan keluarga itu hidup dalam hutang budi besar pada mereka, meski memang saat itu keluarga itu sedang collapse, tapi tindakan mereka bener-bener keterlaluan," sambung Calvino tak habis pikir.
Mengapa orangtuanya begitu serakah? Dan mengapa Harmoine Corvin memilih Calvino untuk mengelola perusahaan pusat, karena perangai anak dan menantunya tidak dapat dibenarkan begitu saja.
Meski cara mereka sungguh efektif, tetapi perlahan bisa menggerogoti sistem internal perusahaan, dampaknya tidak begitu menguntungkan.
"Jadi, proyek yang mereka bicarakan pada Yuzdeline itu ..., formalitas? Alibi? Atau memang nyata?" gumam Calvino meninggalkan pembatas lantai dua.
Kaki jenjang pria itu melenggang ke lorong yang salah.
Ya! Di lantai dua diisi oleh ruangan demi ruangan yang didominasi oleh kamar, jelasnya kamar utama, kamar Yuzdeline dan kamar Dennis tentunya.
Calvino masuk ke lorong yang membawanya ke kamar Yuzdeline, area yang tak pernah dia pijaki sepanjang mereka menikah, meski dalam keadaan tak sadar.
Sementara itu, Caroline berada di kamar Yuzdeline. Ruangan itu sangat luas, warna-warna pastel cenderung lebih lembut mendominasi ruang pribadi wanita yang entah ada di mana saat ini.
"Halo, halo, Hanna Luzmanita ..., dengarkan aku, ini gawat! Aku, aku ..., ah! Aku gila, Hanna," ucapnya sibuk mondar-mandir kesana-kemari.
Napas yang dihembuskan terdengar gelisah, ditambah bibir bawah dia gigit sampai jantung berdetak, cemas. "Hanna ..., tolong aku, aku bisa gila di sini, tapi aku gak bisa berbuat apa-apa, bangunan ini seperti istana, aku gak tahu caranya keluar dari sini gimana?" sambung Caroline menggigit kuku-kukunya yang masih pendek.
Seseorang di balik panggil telepon tersebut, menghening. "Ada apa? Aku bingung. Barusan karyawanmu telepon, katanya aku disuruh ke sana untuk mantau, tapi aku gak ada interupsi darimu, ini ada apa sebenarnya?"
Ah iya. Caroline melupakan hal ini, rencananya tadi malam dia akan menghubungi sang sahabat—Hanna Luzmanita untuk meng-handle coffee shop selama beberapa hari, selama dia bekerja full time di restoran Itali.
Namun, sepertinya saat ini, gadis ini terkurung di istana megah itu, kebingungan.
Caroline melempar lepas tubuhnya ke atas ranjang, dia berguling sambil merengek dari arah kanan ke arah kiri hingga tubuh mungil itu terbungkus selimut tebal bagai lontong.
"Malam tadi kejadiannya sangat di luar dugaan, ini semua buntut dari kejadian yang aku ceritakan seminggu lebih yang lalu," katanya lirih.
"Maksudmu ..., nyonya yang memintamu untuk menggantikannya menjadi istri dari suaminya?" Hanna mengulang ingatan ke-duanya.
"Hm." Caroline bergumam.
Dalam satu lompatan, Caroline berhasil membawa dirinya terduduk, meski tubuhnya masih utuh terbungkus selimut. "Ya, yang itu," jawabnya bersemangat.
"Tadi malam suaminya tiba-tiba datang dan menyeretku ke rumah yang kayak istana, gerbangnya tinggi, pekarangannya luas, penjaga ada di mana-mana," terang gadis itu seraya membawa matanya mengelilingi ruang kamar yang sedang dia pijaki.
"Hah?! Seriusan? Jadi suaminya mengira kamu istrinya itu, terus istrinya ke mana?" Hanna mulai panik.
"Gak tahu. Nyonya itu gak ada di rumah. Aku harus keluar dari sini, tapi aku harus mencari kesempatan, karena suaminya gak mengizinkanku untuk pergi." Caroline menghela napasnya, panjang.
Tekanan dalam embusan napas itu terdengar lelah, juga frustasi. Situasi yang sedang dia pijaki saat ini cukup kompleks, sungguh sulit untuk bergerak.
Caroline meleleh ke bawah tanpa melepaskan selimut dari tubuhnya. "Bisa tuker wajah sama Olivia Rodrigo, gak, sih?" gumamnya sambil termangu.
Di seberang panggilan telepon, terdengar tawa terpingkal-pingkal dari Hanna. "Kamu gila, hah? Mana bisa seperti itu."
"Sekarang yang penting pikirkan caranya keluar dari rumah itu. Atau ..., kamu jelaskan kalau kamu bukan nyonya itu, kamu itu ha—"
"Ih ..., aku udah jelaskan semuanya sama suaminya, tapi tetap aja, laki-laki itu keras kepala, masih kukuh anggap aku istrinya, dan sekarang aku terpenjara di mansion milik Calvino," potong Caroline seraya mengerutkan hidung.
Calvino?
Mendengar nama itu, Hanna terdiam. Untuk menebar embusan napasnya saja terasa berat, nama itu bukan sekedar nama, tetapi sebuah ketetapan akurat dalam dunia bisnis.
Terlebih di bidangnya. Calvino Vandzani Harmoine adalah perancang perhiasan dunia, namanya cukup besar dan terkenal, dikenali oleh kalangan atas dunia.
Hanna telah mengikuti perkembangan pesat dunia perhiasan sejak dia terjun dan serius di bidang melukis. "Calvino?" serunya bernapas berat.
"Cal-vi-no ..., Vandzani Harmoine?" sambung Hanna, terpatah-patah.
"Iya. Calvino Vandzani Harmoine, putra tunggal pasangan Marisa dan Bambam Harmoine, cucu tunggal Harmoine Corvin," balas Caroline menjelaskan sosok Calvino lebih mendetail.
Degh!
Bagai tombak menusuk jantung tanpa sebab. Ia melesat jauh ke ruas paling dalam dari lapisan endokardium—Hanna terdiam, suara ributnya tak lagi terdengar.
"Caroline, i-ini bahaya. Kamu jangan berurusan dengan keluarga itu." Setelah beberapa detik dia terdiam.
Lalu datang dengan suara ribut karena panik.
"Mereka keluarga berprinsip, dan mereka membenci pembohong, meski kamu gak bohong, tapi kamu gak punya bukti, kalau tiba-tiba istrinya yang asli datang ke situ, gimana?" Hanna hanya mengingatkan.
Caroline semakin merengek, tubuh yang semula terduduk di samping ran jang, akhirnya terjatuh secara perlahan. "Siapa yang mau berurusan dengan keluarga ini, aku akan keluar secepatnya."
Tapi, tidak semudah itu. Calvino telah mendengar percakapan terakhir Caroline dengan Hanna. Apakah Calvino akan percaya ucapan Caroline, atau malah sebaliknya?
To be continued ....
Moga aja Calvino gk kebablasan
nasib mu yuz, anyep bgt