Ditinggal saat sedang hamil, Elma terpaksa bekerja serabutan untuk memenuhi kebutuhannya seorang diri. Yang lebih menyakitkan daripada sekedar ditinggal, ternyata suami Elma yang bernama Dion secara diam-diam menceraikan Elma. Dan dibalik pernikahan tersebut, ada kebenaran yang jauh lebih menyakitkan lagi bagi Elma. Penasaran? Yuk baca ceritanya....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ni R, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Diusir
Malam itu, suasana rumah Ratna tampak tenang dari luar, namun di dalam, dua perempuan sedang duduk berhadap-hadapan dengan wajah penuh siasat. Ratna duduk sambil menyeruput teh hangat. Di sampingnya, Diana duduk dengan perasaan gelisah sambil memainkan kuku jarinya.
“Ma, kita tidak bisa terus membiarkan Elma hidup tenang begitu saja,” kata Diana dengan nada kesal. “Dia perempuan pembawa sial. Kalau sampai anak yang dikandungnya lahir, semua orang akan tahu Dion pernah menikahi perempuan miskin tidak berguna itu. Bisa-bisa anak itu menuntut harta keluarga kita.”
Ratna mendengus. “Benar katamu, Diana. Mama pun muak memikirkan bayi itu. Harus ada cara agar Elma tidak bisa melahirkan dengan selamat. Dia harus menderita, agar tahu diri kalau dia tidak pantas bersanding dengan Dion."
“Kalau begitu, kita buat saja dia keguguran,” celetuk Diana dengan wajah dingin. “Tapi bukan dengan tangan kita. Kita harus mencari cara yang halus, yang bisa membuatnya terpojok tanpa kita dicurigai.”
Ratna mengerutkan kening, berpikir. “Kau punya ide?”
Diana tersenyum licik. “Elma tinggal di rumah kontrakan Bu Maya. Aku pernah dengar, Bu Maya tipe perempuan yang sangat mudah cemburu dan tidak suka jika ada perempuan muda mendekati suaminya. Kita bisa manfaatkan itu.”
Ratna menoleh cepat. “Maksudmu?”
“Kita hasut saja Bu Maya. Bilang padanya kalau Elma itu perempuan jahat, yang dulu membuat Dion pergi meninggalkan rumah. Kita tambahkan bumbu cerita, bahwa sekarang Elma hamil dan pasti akan mencari uang dengan cara apapun, termasuk menggoda suami orang. Kalau Bu Maya percaya, dia pasti langsung mengusir Elma dari kontrakannya.”
Mata Ratna berbinar mendengar ide putrinya. “Luar biasa, Diana! Dengan begitu, Elma akan kehilangan tempat tinggal. Perempuan hamil tanpa rumah, hidupnya pasti menderita. Siapa tahu, tekanan batin bisa membuat kandungannya terganggu. Dan dia akan menjadi gembel di jalanan."
Diana terkekeh puas. “Iya, Ma. Kita tidak perlu mengotori tangan, cukup bermain dengan mulut. Besok pagi-pagi kita datangi Bu Maya.”
Ratna mengangguk mantap. “Baiklah. Mama akan ikut agar ceritanya lebih meyakinkan. Kalau mama sendiri yang bicara, pasti Bu Maya langsung percaya.”
Sampai kapanpun, mereka tidak akan membiarkan Elma menjalani kehidupan yang baik karena sejak awal Elma menjalin hubungan dengan Dion, mereka berdua sudah memperingati Elma. Tapi, perempuan itu nekat menikah dengan Dion.
Keesokan harinya, matahari baru saja naik ketika Ratna dan Diana tiba di rumah Bu Maya, pemilik kontrakan yang disewa Elma. Mereka membawa bingkisan kecil sebagai alasan berkunjung. Bu Maya, yang dikenal cerewet dan penuh rasa ingin tahu, langsung menyambut mereka dengan ramah.
“Wah, Ratna, Diana, ada angin apa datang ke rumahku sepagi ini?” tanya Bu Maya sambil mempersilakan mereka duduk.
Ratna memasang wajah sendu, pura-pura prihatin. “Sebenarnya kami datang bukan untuk hal baik, Bu Maya. Ada hal yang perlu kami bicarakan tentang salah satu penghuni kontrakanmu.”
Bu Maya mengerutkan kening. “Penghuni kontrakanku? Siapa?”
“Elma,” jawab Diana cepat, lalu berpura-pura menghela napas berat. “Dia itu mantan istri Dion. Dan kami ingin memberi peringatan pada Bu Maya.”
“Peringatan? Maksudnya apa?” Bu Maya semakin penasaran.
Ratna mencondongkan tubuh, suaranya rendah tapi penuh tekanan. “Elma itu perempuan yang membuat anakku, Dion, menderita. Karena dia, Dion sampai pergi dari rumah dan tidak pernah pulang. Sekarang dia sedang hamil, dan kami khawatir dia akan melakukan apa saja untuk memenuhi kebutuhannya.”
Diana segera menambahkan dengan nada penuh drama, “Apalagi tinggal di kontrakan orang lain. Kami takut, dia bisa saja menggoda suami Bu Maya. Namanya perempuan yang terdesak, apalagi sedang hamil dan butuh biaya, pasti rela melakukan apapun. Kami tidak ingin rumah tangga Bu Maya terganggu hanya karena membiarkan Elma tinggal di sini.”
Wajah Bu Maya langsung berubah. Matanya menyipit, tangannya meremas ujung baju. Ia memang dikenal sebagai perempuan yang sangat pencemburu terhadap suaminya. Mendengar kata-kata itu, pikirannya langsung dipenuhi dengan bayangan buruk.
“Benarkah yang kalian katakan ini?” tanyanya dengan suara bergetar.
Ratna mengangguk mantap, berpura-pura menahan emosi. “Kami tidak akan datang kalau bukan demi kebaikanmu. Kami juga ingin menjaga nama baik lingkungan. Elma itu licik, Bu. Kalau tidak segera diusir, bukan tidak mungkin dia membawa masalah ke rumah tanggamu.”
Bu Maya terdiam, pikirannya kacau. Ia mulai membayangkan suaminya yang sering pulang larut malam, lalu dikait-kaitkan dengan kemungkinan Elma yang hamil tapi masih cantik. Cemburu membakar hatinya.
Diana menepuk lembut tangan Bu Maya, menambahkan bisikan penuh racun. “Bu, lebih baik usir saja dia besok pagi. Jangan beri kesempatan sedikitpun. Kalau tidak, nanti sudah terlambat.”
Akhirnya, Bu Maya mengangguk dengan wajah muram. “Baiklah, aku akan mengusir dia besok pagi. Aku tidak mau ada perempuan seperti itu tinggal di kontrakanku. Terima kasih sudah memperingatkan.”
Ratna dan Diana saling bertukar senyum puas. Dalam hati mereka bersorak, rencana berjalan mulus. Sebentar lagi Elma akan menjadi gembel di jalanan.
Setelah mereka pergi, Bu Maya masih gelisah. Ia mondar-mandir di ruang tamunya, rasa curiga pada Elma makin besar. Padahal Elma selama ini selalu sopan, membayar uang kontrakan tepat waktu, dan tidak pernah menimbulkan masalah. Namun racun kata-kata Ratna dan Diana sudah bekerja, merusak penilaiannya.
Malam itu, Elma pulang dari bekerja dengan tubuh lelah. Ia tidak tahu, bahwa besok pagi dirinya akan mendapat pukulan besar, perintah untuk angkat kaki dari tempat tinggal satu-satunya yang ia punya.
Sementara itu, Ratna dan Diana tidur nyenyak di rumah besar mereka merasa langkah pertama menuju kehancuran Elma sudah dimulai. Mereka tidak peduli pada air mata atau penderitaan Elma. Yang penting bagi mereka hanyalah menyaksikan bayi itu tidak pernah lahir dan mengusik kehidupan mereka dikemudian hari.
***
Pagi itu, sinar matahari masuk lewat celah-celah jendela kontrakan kecil Elma. Perempuan itu baru saja selesai menyiapkan sarapan sederhana, sepiring nasi dan telur dadar. Perutnya yang semakin membesar membuat tubuhnya cepat lelah, tapi ia tetap berusaha kuat. Baginya, anak dalam kandungan adalah satu-satunya alasan untuk terus bertahan.
Elma sedang duduk sambil mengelus perutnya ketika terdengar suara ketukan keras di pintu.
Tok! Tok! Tok!
“Elma! Buka pintunya sekarang juga!” suara Bu Maya terdengar tajam dan penuh emosi.
Elma terkejut. Ia buru-buru berdiri dan membuka pintu. “Bu Maya, ada apa ya pagi-pagi begini?” tanyanya sopan, entah kenapa firasat Elma mendadak tidak enak.
Namun wajah Bu Maya tampak muram, matanya tajam penuh curiga. Ia tidak menjawab ramah, melainkan langsung menyambar kata-kata. “Kau harus keluar dari kontrakan ini. Hari ini juga!”
Elma terbelalak, wajahnya pucat. “Apa? Keluar? Kenapa, Bu? Apa salahku? Uang kontrakan bulan ini sudah aku bayar penuh."
Bu Maya melipat tangan di dada. “Bukan soal uang! Aku tidak peduli soal itu. Aku tidak suka ada perempuan sepertimu tinggal di kontrakanku. Aku sudah mendengar semuanya, Elma. Kau itu jahat. Kau yang membuat suamimu meninggalkan keluarganya. Dan sekarang, dengan kondisi hamil seperti ini, aku takut kau akan menggoda suamiku untuk memenuhi kebutuhanmu.”
Tubuh Elma bergetar mendengar tuduhan itu. “Astaga, Bu… dari mana Ibu dengar semua itu? Aku tidak pernah...”
“Sudah!” potong Bu Maya lantang. “Jangan berlagak suci di hadapanku. Aku tidak mau rumah tanggaku hancur hanya karena membiarkanmu tinggal di sini. Jadi, segera kemasi barang-barangmu dan angkat kaki!”
Air mata Elma menetes begitu saja. Ia meraih perutnya, mencoba menenangkan diri. “Bu, aku mohon… aku tidak punya tempat lain. Aku bekerja hanya untuk sekadar makan dan menabung sedikit demi sedikit untuk persalinan. Kalau aku diusir sekarang, kemana aku harus pergi? Tolong beri aku kesempatan, paling tidak sampai melahirkan…”
Namun Bu Maya tetap bergeming, bahkan wajahnya semakin dingin. Kata-kata Ratna dan Diana yang penuh racun telah menutup akal sehatnya.
“Jangan banyak alasan! Kau pikir aku bisa percaya begitu saja? Kau itu perempuan licik dan jahat. Kalau aku tidak tegas sekarang, besok-besok kau pasti akan menjerat suamiku. Tidak ada tawar-menawar. Kau harus pergi. Aku memberimu waktu sampai sore nanti. Kalau tidak, barang-barangmu akan aku keluarkan sendiri!”
Suara Bu Maya menggema sampai ke rumah tetangga. Beberapa orang yang sedang menyapu halaman berhenti, melongok ke arah kontrakan Elma. Mereka berbisik-bisik, sebagian menatap iba, sebagian lagi terpengaruh oleh nada penuh tuduhan dari Bu Maya.
Elma merasakan malu yang luar biasa. Air matanya semakin deras. Ia ingin membela diri, ingin berteriak bahwa semua itu fitnah, tapi suaranya tercekat. Ia sadar, apa pun yang dikatakannya tak akan mampu menghapus kecurigaan yang sudah terpatri di benak pemilik kontrakan itu.
“Baik, Bu…” suara Elma dengan nada pelan, nyaris tak terdengar. “Kalau memang seperti itu masalahnya, aku akan pergi. Tapi tolong percayalah, aku tidak pernah berniat jahat. Aku hanya ingin hidup tenang dengan anakku.”
Bu Maya mendengus, lalu berbalik tanpa kata lain. “Jangan banyak bicara. Ingat, sampai sore ini saja.”
Pintu ditutup keras-keras, meninggalkan Elma yang berdiri gemetar di ambang pintu. Tangisnya pecah, ia menutup wajah dengan kedua tangan.