Bunga yang pernah dikecewakan oleh seorang pria, akhirnya mulai membuka kembali hatinya untuk Malik yang selama setahun terus mengejar cintanya. Ia terima cinta Malik walau sebenarnya rasa itu belum ada. Namun Bunga memutuskan untuk benar-benar mencintai Malik setelah mereka berpacaran selama dua tahun, dan pria itu melamarnya. Cinta itu akhirnya hadir.
Tetapi, kecewa dan sakit hati kembali harus dirasakan oleh Bunga. Pria itu memutuskan hubungan dengannya, bahkan langsung menikahi wanita lain walaupun mereka baru putus selama sepuluh hari. Alasannyapun membuat Bunga semakin sakit dan akhirnya memikirkan, tidak ada pria yang tulus dan bertanggungjawab di dunia ini. Trauma itu menjalar di hatinya.
Apakah Bunga memang tidak diizinkan untuk bahagia? Apakah trauma ini akan selalu menghantuinya?
follow IG author : @tulisanmumu
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mumu.ai, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mengutuk Bunga
"Dari mana saja kamu?"
Suara Malik yang baru masuk ke dalam dapur mengganggu lamunan Olivia.
"Aku keluar sebentar," jawab Olivia sekenanya. Ia sangat malas berbincang dengan pria yang berstatus suaminya itu.
"Sebentar? Perasaan kamu keluar dari siang," ucap Malik. Walaupun wanita yang sedang mengandung anaknya ini tidak pamit ketika pergi, namun ia mendengar ketika mobil istrinya itu keluar dari pekarangan rumah. Saat itu Malik menghabiskan waktu liburnya hanya berdiam diri di kamar.
"Wah, haruskah aku berbangga hati karena suamiku tahu kapan aku pergi," ucap Olivia dengan nada ejekan.
"Sudah, masuk ke kamar kamu. Aku sedang tidak ingin berdebat." Malik memerintah Olivia untuk masuk ke dalam kamarnya.
"Ceraikan aku setelah anak ini lahir!"
Ucapan tiba-tiba Olivia tentu saja menghentikan langkah Malik yang ingin kembali masuk ke dalam kamarnya.
"Apa kata kamu?" Dahi pria itu berkerut, matanya juga menyipit tajam. Malik ingin memastikan kalau apa yang ia dengar tadi salah.
"Aku bilang, ceraikan aku setelah anak ini lahir!" Kali ini Olivia mengucapkan kata demi kata dengan pelan dan dengan penekanan.
"Bukankah aku sudah bilang kalau tidak ada perceraian di pernikahan kita ini!" Malik menjawab dengan penekanan di tiap katanya. Matanya kini menatap tajam ke arah Olivia. Sebuah kata yang sangat tidak ia sukai telah keluar dari bibir sang istri, dan membuat dirinya merasa begitu marah.
"Apa maumu dalam pernikahan ini? Pernikahan apa yang kamu harapkan disini? Apa kehidupan pernikahan ini yang kamu inginkan? Tidur di kamar terpisah, dan hidup bagaikan orang asing walau tinggal satu atap." Mata Olivia mulai berkaca-kaca. Ia lelah. Empat bulan berumah tangga dengan Malik, mereka hidup bagaikan orang asing. Rumah mereka tak lebih seperti tempat kos-kosan. Hanya bertemu di dapur ataupun ruang tamu sesekali jika berpapasan. Tak ada interaksi lebih seperti suami istri pada umumnya.
"Bukannya kamu yang menginginkan pernikahan ini. Maka nikmatilah," ucap Malik yang tentu saja mengundang tanya untuk Olivia.
"Aku? Kamu bilang aku yang menginginkan pernikahan ini?" Olivia menunjuk dirinya sendiri, sorot matanya dipenuhi kebingungan dan keterkejutan.
"Ya! Kamu kan, yang memaksa aku untuk minum malam itu, sampai aku tidak sadar dan melakukan hal yang menjijikkan itu!" Malik berteriak, suaranya penuh amarah dan penyesalan.
"Apa maksudmu? Aku sama sekali tidak memaksa kamu untuk ikut minum, Malik!" Olivia mulai berteriak. Suaranya bergetar antara marah dan sakit hati atas tuduhan yang dilontarkan padanya.
“Tidak memaksa?” Malik maju selangkah, mendekati Olivia. “Mungkin kamu kupa karena kamu mabuk malam itu. Tapi biar aku ingatkan.” Is menghela napas panjang, menahan emosinya. “Kamu yang memaksa aku ikut minum, padahal aku sudah menolak berkali-kali! Dan akhirnya, kamu sendiri yang mencecokkan minuman sialan itu ke mulutku!”
Olivia mencebikan bibirnya. "Seharusnya kamu bisa menolak. Atau..." Olivia maju selangkah dan membuat posisi mereka kini semakin dekat.
"Atau kamu sebenarnya memang tidak terlalu mencintai Bunga. Bukankah Bunga tidak menyukai pria perokok dan juga peminum alkohol." Suara Olivia pelan, namun ucapannya menghantam Malik hingga membuatnya terdiam.
"Apa maksudmu?" Malik heran bagaimana Olivia bisa mengetahui perihal masalah ini.
"Bunga sendiri yang bilang ke aku tadi,” jawabnya enteng.
Malik terlihat mengernyitkan dahi saat mendengar pernyataan Olivia. "Kapan?"
"Sudahlah, Malik. Aku lelah." Olivia berjalan, meninggalkan Malik di dapur mereka.
"Jawab pertanyaanku!" Malik memegang tangan Olivia, mencegahnya pergi sebelum menjawab pertanyaan tadi.
Olivia yang memang terlihat lelah membalikkan pelan tubuhnya kembali menghadap Malik.
"Aku ketemu dengan wanitamu itu tadi di Mall. Aku bilang sama dia, kalau kita akan bercerai setelah aku melahirkan, dan kalian bisa menikah sesudahnya,” jelas Olivia dengan suara yang pelan.
"Apa? Apa kau gila?" Malik marah mendengar penuturan Olivia. Bisa-bisanya dia mengatakan hal tidak masuk akan seperti itu pada Bunga.
"Menurutmu apa aku nggak gila, Malik?" Olivia berteriak.
"Setiap malam kamu menangis, memanggil namanya, Malik. Kamu pikir bagaimana perasaan aku?"
Malik mundur selangkah. Dirinya tidak tahu jika ternyata tangisannya hampir ditiap malam didengar oleh Olivia.
“Aku tahu kamu menyesal, aku tahu kamu mencintainya. Tapi sekarang kamu suamiku, Malik. Haruskah kamu terus menangisinya setiap malam?” Olivia akhirnya mengungkapkan kegelisahan yang menghantuinya selama beberapa hari.
"Kalau ini terjadi hanya selama seminggu, aku akan berusaha memahaminya. Tapi ini sudah lewat dari tiga bulan. Apa kau harus sekeji ini, Malik." Suara Olivia mulai melemah. Beban yang ia sandang selama beberapa bulan ini akhirnya ia keluarkan.
"Aku tahu kita menikah bukan karena cinta. Tapi..." Olivia melihat ke arah Malik. Ia menatap mata pria itu yang selalu memancarkan ketegasan, wibawa dan kehangatan. Pesona yang telah membuatnya kagum sejak pertama bertemu.
"Bisakah kamu menghargai aku, istrimu ini," lanjutnya.
Malik hanya diam.
Tidak mendapat tanggapan membuat Olivia akhirnya benar-benar pergi masuk ke dalam kamarnya. Dan kali ini Malik tak menghalanginya.
Malik masih saja membeku di tempatnya. Bukannya ia tak ingin. Tapi perkataan Bunga malam terakhir mereka berjumpa itu, benar-benar bagai kutukan untuk Malik.
Aku ingin kamu menangis setiap malam. Aku ingin kamu menangis setiap kamu memikirkan aku.
Kalimat itu terus saja menghantui Malik setiap hari. Dan benar saja, Malik selalu menangis tiap kali mengingat tentang Bunga. Tak kenal tempat dan waktu. Air matanya selalu tak segan keluar tanpa permisi.
"Sebegitu bencinya kah kamu denganku, Bunga," bisiknya.
*****
"Wah gila kamu, Nga! Kutukan kamu ngalah ngalahin kutukan ‘Tak Termaafkan’ nya Harry Potter. Voldemort juga sujud sama kamu," ejek Rani.
“Aku serius, Ran,” ucap Bunga lirih. Malam itu, ia mencari ketenangan dengan menghubungi sahabatnya, lalu menceritakan kejadian hari ini, terutama pertemuannya dengan Olivia yang membuat pikirannya kacau.
"Aku juga serius." Terdengar suara gesekan halus disana. Sepertinya Rani mengubah posisi tidurnya. Bunga jadi merasa tidak enak pada suaminya Rani, khawatir kalau menganggu waktu istirahatnya karena Bunga menghubungi Rani di malam hari.
"Eh aku mau mastiin lagi nih. kamu beneran nggak apa-apa aku nelfon malam gini? Laki kamu nggak marah? Kamu keluar kamar gih, takut ganggu suami kamu mau istirahat," ucap Bunga.
"Laki aku udah keluar, nonton bola dia. Klub merah kesayangannya main malam ini," jawab Rani dan tentu saja membuat Bunga menjadi lega.
"Udah nggak usah pikirin laki aku," lanjutnya. "Sekarang aku tanya, kalau mereka jadi cerai, kamu mau balik sama si Malik?"
"Yang benar aja!" Bunga langsung menjawab dengan nada sedikit galak. "Kamu pikir aku cewek apa. Kayak nggak laku banget aku seandainya nerima dia lagi. Dia udah khianati aku, terus aku terima lagi. Eh sorry ye."
Terdengar suara Rani yang tertawa keras di ujung telepon sana.
"Mantap banget teman aku. Ya betul itu, nggak usah mau terima balik laki yang nggak bisa jaga komitmen kayak dia. Kamu cantik, Nga. Kamu bisa dapetin yang lebih dari dia. Minusnya kamu itu cuma satu."
"Apaan?" Bunga sangat penasaran dan menunggu jawaban dari sahabatnya itu.
"Gagal move on nya kelamaan," ejek Rani.
"Siapa yang gagal move on. Aku cuma malas aja dan capek harus mengulang lagi dari awal." Bunga menjawab dengan nada yang cukup keras.
"Dua kali aku punya hubungan, keduanya gagal dengan mereka nikah sama yang lain. Aku jadi pesimis, apa ada yang salah sama diri aku, Ran. Akhirnya mereka ninggalin aku dengan cara yang sama." Dengan suara yang lirih, Bunga mengungkapkan apa yang ia pikirkan selama ini. Rani yang mendengar, tak kuasa menahan rasa pilu seolah turut merasakannya.
"Nggak ada yang salah dalam diri kamu, Nga. Mungkin ini adalah jalan buat kamu mendapatkan cinta sejati kamu," ucap Rani, menyemangatkan sahabatnya itu. Ia tak mau Bunga menjadi menutup diri dengan lawan jenis, hingga tidak mau menjalin hubungan.
"Aku jadi skeptis kalau cinta sejati itu ada, Ran," bisik Bunga, yang hampir tak terdengar oleh Rani.
"Orang tua kamu, nggak cinta sejati?" tanya Rani.
Bunga hanya diam, tidak ada merespons sama sekali.
"Bunga, aku kutuk kamu setelah ini bahagia, dengan laki-laki yang bertanggung jawab, dan mencintai kamu seluas samudra!"
*****
Hai hai, terima kasih sudah setia membaca cerita Bunga ini, ya. Author benar-benar sangat senang sekali. Tapi sedikit bingung juga, apakah cerita ini bisa author lanjutkan disini apa gak kira-kira, ya kalau retensi nya tidak bagus. 🥲
Doain semoga saksi Bunga mencari cinta sejatinya semakin banyak, ya. 😊
Oh iya, jangan lupa tetap untuk like, komen, dan vote karya author ini, ya 🫶🏻🫶🏻
Semoga masih ada harapan Bunga kembali ke Fadi
Mama nya Jelita hamil dengan orang lain dan Fadi yg menikahi nya
Jelita bertemu dengan tante Bunga di IGD & Bunga tidak menyangka kalau papa Jelita adalah Fadi sang mantan.
2 mantan berada di IGD semua dengan kondisi yang berbeda