Siapa sangka, kematian konyol karena mesin penjual minuman bisa menjadi awal petualangan terbesar dalam hidup… atau tepatnya, setelah hidup.
Ketika bangun, ia bukan lagi manusia, melainkan seekor bebek rawa level 1 yang lemah, basah, dan jadi incaran santapan semua makhluk di sekitarnya.
Namun, dunia ini bukan dunia biasa. Ada sistem, evolusi, guild, perang antarspesies, bahkan campur tangan Dewa RNG yang senang mengacak nasib semua makhluk.
Dengan kecerdikan, sedikit keberuntungan, dan banyak teriakan kwek yang tidak selalu berguna, ia membentuk Guild Featherstorm dan mulai menantang hukum alam, serta hukum para dewa.
Dari seekor bebek yang hanya ingin bertahan hidup, ia perlahan menjadi penguasa rawa, memimpin pasukan unggas, dan… mungkin saja, ancaman terbesar bagi seluruh dunia.
Karena kadang, yang paling berbahaya bukan naga, bukan iblis… tapi bebek yang punya dendam..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yuyuka manawari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 16: Tugas Seorang Raja
Sepertinya aku benar-benar ditipu oleh sistem menyebalkan ini.
Aku sekarang disebut raja. Bagaimana bisa aku, orang yang di kehidupan sebelumnya pernah merugikan banyak orang, justru malah debut sebagai seorang raja… dan bukan manusia, melainkan bebek iblis.
Siang sudah mulai condong ke sore. Sinar matahari menembus sela-sela pepohonan, warnanya mulai keemasan dan bayang-bayang semakin panjang. Aku meninggalkan dungeon yang disebut sebagai kediamanku, melangkah cepat dengan tubuh baruku yang masih terasa aneh.
Seperti biasa, aku melangkah cepat menuju tempat ketiga bebek itu berkumpul. Namun, berbeda dengan biasanya, kali ini aku merasakan sesuatu yang aneh. Ada perasaan tidak enak, seolah-olah ada yang menempel di belakangku. Bayangan wanita yang disebut pelayan itu terlintas di kepalaku, dia mungkin sedang mengawasiku sejak keluar dari dungeon tadi.
Sesampainya di tepi rawa, aku menemukan ketiga bebek itu. Mereka sedang berkumpul, tampak sehat-sehat saja. Namun dari cara mereka menoleh ke arahku, jelas ada sesuatu yang mengganjal. Wajah mereka tidak sekadar lega karena aku kembali, melainkan dipenuhi rasa bingung bercampur marah.
Aku melangkah lebih dekat, dan baru sadar. Penampilanku berbeda total dibandingkan kemarin. Aura gelap yang keluar dari tubuhku, mata yang sedikit bercahaya merah, dan bentuk tubuh yang lebih tegap untuk ukuran bebek… wajar saja mereka kebingungan.
"Pe… pemimpin, kan?" suara Zaza terdengar ragu. Dia maju satu langkah, berdiri di depan kedua rekannya yang spontan mundur ke belakang. Meski ragu, dia tetap melindungi mereka.
Aku menahan tawa kecil melihat reaksi itu. "Ini aku, Zaza. Jangan bersikap seolah-olah aku monster yang kalian tidak kenal."
Zaza masih memasang wajah tegang. Namun tiba-tiba Poci melangkah maju, melewati Zaza dan berdiri di depannya. Mata bulatnya menatapku penuh cemas.
"Apa yang sebenarnya terjadi denganmu, pemimpin? Kenapa bisa berubah seperti ini? Kau… tidak sakit, kan?" suaranya gemetar.
Aku menggeleng pelan, berusaha menenangkan mereka. "Aku baik-baik saja. Malah lebih kuat daripada sebelumnya. Ingat apa yang aku katakan kemarin? Apa pun yang terjadi, jangan panik."
Poci sempat menarik napas panjang, lalu menghela lega. "Jadi yang kau maksud kemarin ternyata mengarah pada hari ini…" Nada suaranya kini lebih tenang, meski masih ada sedikit rasa khawatir tersisa.
"Kurang lebih begitu," jawabku singkat, kali ini dengan suara rendah.
Namun Titi, yang sejak tadi diam, akhirnya ikut angkat bicara. Nadanya terdengar gelisah. "Pemimpin… dari pagi kau sama sekali tidak muncul. Kami benar-benar khawatir."
Poci menimpali cepat, suaranya tegas. "Benar! Kami bahkan sempat berencana menyusul, tapi tidak tahu harus mencari ke arah mana."
Zaza di belakang mereka hanya mengangguk pelan, ikut mendukung ucapan kedua rekannya.
Aku menunduk sedikit, merasa bersalah. "Maaf sudah membuat kalian resah. Ada sedikit urusan yang harus kuselesaikan, dan sekarang semuanya sudah beres."
"Urusan?" Poci menatapku curiga. "Urusan apa, pemimpin?"
Aku tersenyum tipis. "Bisa dibilang… urusan hidupku sendiri. Ada baiknya kalian tidak bertanya lebih jauh soal itu."
Aku mengucapkannya pelan namun mantap, berharap mereka mau menerima jawabanku tanpa menekan lebih jauh.
"Apa boleh buat kalau soal privasi hidup," ucap Poci akhirnya menyerah. Ia mengangkat kedua sayap kecilnya, ekspresinya pasrah, tapi matanya tetap menatapku serius.
Zaza yang sejak tadi hanya diam akhirnya membuka suara. Bebek kecil itu menoleh ke arahku, matanya berkedip ragu, lalu pelan-pelan bersuara.
"Ka-kalau pemimpin ingin bercerita… ce-ceritakan saja. Aku bisa jadi pendengar yang baik kok," ucapnya dengan suara pelan, meski terdengar terbata-bata.
Titi, yang duduk tidak jauh dari mereka, langsung ikut menimpali. "Aku juga… aku juga!" katanya bersemangat, sampai bulu di kepalanya ikut bergerak karena terlalu heboh.
"Aku duluan!" teriak Zaza tiba-tiba, suaranya meninggi.
"Tidak, aku!" balas Titi cepat, matanya melotot, seperti tidak mau kalah.
Aku hanya bisa menghela napas melihat keduanya, tapi Poci bergerak lebih cepat. Ia langsung melangkah ke depan dan membentangkan sayapnya, berusaha menahan mereka.
"Kalian berdua! Jangan berantem dulu! Pemimpin baru datang, pasti dia capek!" katanya tegas.
Poci memang dari awal terlihat bisa diandalkan, dibandingkan dua ekor yang selalu ribut itu.
Titi dan Zaza langsung menunduk bersamaan. Wajah mereka terlihat agak malu, lalu keduanya mengucapkan kata yang sama dengan suara pelan.
"Maaf…"
Aku tersenyum kecil. Riuh kecil seperti ini membuatku merasa… anehnya, justru kangen. Suasana ramai, meskipun kadang merepotkan, rasanya seperti sebuah rumah yang hidup.
Namun senyum itu cepat memudar. Aku teringat sesuatu yang sebenarnya penting, hal yang harus segera kubicarakan.
"Aku baru ingat sesuatu," ucapku sambil menatap ketiga anak bebek itu satu per satu.
Mereka langsung menegakkan tubuh, seolah menunggu sesuatu yang serius dariku.
"Hari ini, rencananya aku ingin mulai melatih kalian. Tapi… sepertinya ada hal yang lebih penting," aku berhenti sebentar, memastikan perhatian mereka penuh padaku. "Hal pertama yang harus kita ubah adalah mencari pengganti rumah ini. Kita perlu markas baru."
"Markas?" Poci menoleh cepat, nada suaranya berubah menjadi lebih serius.
"Aku ingin rumah pohon!" seru Titi, matanya berbinar penuh semangat.
"Aku ingin tempat yang tenang, jauh dari suara ribut," ucap Zaza pelan, berbeda sekali dengan Titi yang selalu heboh.
Aku mengangguk kecil sebelum menjawab. "Tentang hal itu… aku sudah menemukannya."
Ketiganya langsung terkejut. Mereka menoleh bersamaan, seperti tidak percaya dengan apa yang baru saja kudengar.
"Aku menemukannya barusan," lanjutku.
Kali ini reaksi mereka lebih heboh lagi. Mulut Titi terbuka lebar, Zaza berkedip cepat, sedangkan Poci menatapku tajam, jelas ingin memastikan aku tidak bercanda.
"Aku menemukan tempatnya di dalam hutan. Kita akan pindah ke sana," kataku tegas. "Apa kalian sudah siap?"
"Bukannya ini terlalu mendadak?" tanya Poci, nadanya penuh kebingungan.
Aku menarik napas, lalu menjawab dengan jujur. "Tidak, Poci. Sejak awal, ketika aku merekrut kalian, aku sebenarnya merasa malu… karena tidak punya tempat yang layak. Itu sebabnya aku ingin segera memperbaikinya."
Titi mendengus kecil, lalu tertawa. "Padahal tidak harus seribet itu, kita juga bisa cari bersama-sama, Pemimpin."
Aku hanya tersenyum tipis. "Ikuti aku kalian bertiga."
Ketiganya saling menoleh sebentar, lalu serempak menjawab dengan suara mantap.
"Baik, Pemimpin!"
Langkah kami segera dipercepat. Karena matahari sudah mulai turun dan langit berubah jingga, kami tidak punya banyak waktu. Angin sore terasa dingin menampar bulu, tapi kami berlari tanpa berhenti.
Suara kaki kecil kami menimbulkan cipratan lumpur setiap kali menginjak tanah rawa. Nafas terdengar makin cepat, tapi tidak ada yang mengeluh. Semuanya fokus menuju arah yang kutunjukkan.
Namun, dalam perjalanan itu, ada sesuatu yang terasa janggal.
Biasanya, di jalur ini selalu ada gangguan. Entah itu hewan buas kecil, predator yang mengintai, atau sekadar suara burung hantu yang membuat suasana mencekam. Tapi kali ini… tidak ada apa-apa.
Tidak ada bayangan melintas, tidak ada suara cabang patah, bahkan tidak ada mata liar yang mengintai dari semak. Jalannya benar-benar sepi.
Aku langsung merasa ada yang aneh.
Dalam hati, aku menduga hanya ada satu alasan: wanita itu. Sosok misterius yang sebelumnya mengikutiku dari belakang. Kemungkinan besar dialah yang sudah "membersihkan" jalan, memastikan tidak ada satu pun yang berani mengganggu kami.
Bangunan besar itu sudah terlihat dari kejauhan. Dindingnya menjulang tinggi, terbuat dari batu abu-abu yang rapi tersusun. Pilar-pilar besar berdiri di sisi kanan dan kiri, menambah kesan megah seolah tempat itu memang diperuntukkan bagi para penguasa.
Aku mempercepat langkah, bahkan hampir berlari. Nafasku teratur, mataku terus menatap ke arah gerbang besar yang perlahan-lahan semakin dekat.
“Itu dia,” gumamku singkat sambil tetap berlari.
Zaza yang ikut di sampingku menoleh ke arah bangunan megah itu. Bola matanya membesar, bulu-bulunya agak mengembang seolah tidak percaya dengan apa yang ia lihat.
“Ini… besar sekali,” ucapnya, suaranya penuh rasa kagum. “Seperti kerajaan sungguhan.”
Titi, yang sejak tadi berjalan sambil menoleh ke sana kemari, wajahnya tampak berbinar. Paruhnya terbuka, matanya bersinar-sinar, seakan ia melihat mimpi yang jadi kenyataan.
“Luar biasa…” desisnya, bulu ekornya bergoyang karena terlalu gembira.
Sementara itu, Poci terlihat kebingungan. Matanya berputar-putar mencari sesuatu, lalu ia berbisik dengan nada cemas.
“Kita… masuk lewat mana? Aku nggak lihat ada pintu kecil…”
Aku menghentikan langkah sejenak dan menatap lurus ke depan. Pintu besar yang menjulang tinggi itu jelas sekali merupakan jalan masuk utama. Daun pintunya setinggi menara, dibuat dari kayu tebal yang dilapisi logam hitam berkilau. Ukirannya rumit, menampilkan simbol-simbol yang tidak kumengerti.
“Kita lewat pintu besar ini,” jawabku dengan nada tenang.
Ketiganya menoleh padaku hampir bersamaan. Ekspresi mereka campur aduk; ada rasa kagum, bingung, dan juga takut.
Saat kami semakin mendekat, terdengar bunyi berderit pelan. Daun pintu yang ukurannya sulit dibayangkan itu mulai terbuka dari dalam. Aku bisa melihat beberapa sosok berjubah zirah baja, tubuh mereka tegap, wajah tertutup helm. Dengan gerakan teratur, mereka menarik pintu itu hingga terbuka lebar.
Begitu pintu bergeser, sebuah pemandangan langsung menyambut kami. Sebuah karpet merah terbentang lurus dari gerbang masuk hingga ke bagian dalam bangunan. Warnanya begitu menyala, seolah baru saja dibersihkan.
Dan di ujung karpet itu, berdiri seorang wanita. Tubuhnya tegak, namun kepalanya menunduk dalam. Rambut panjangnya yang hitam jatuh ke depan, menutupi sebagian wajah. Dari sikapnya, jelas sekali ia tengah menunjukkan penghormatan.
Aku yang berada paling depan refleks melambatkan langkah. Tiga bebek di belakangku saling pandang, wajah mereka tampak penuh kebingungan.
“Apa ini?” bisik Zaza lirih.
“Kita nggak salah masuk, kan?” tambah Titi dengan suara kecil.
“Jangan-jangan ini rumah orang penting, kita bisa dihukum kalau salah masuk…” Poci terdengar paling panik, bulu-bulunya sedikit berdiri.
Aku menatap mereka sebentar, lalu menghela napas. Dari raut wajah mereka saja sudah jelas isi pikiran masing-masing.
Wanita itu mengangkat kepalanya perlahan. Tatapannya tertuju langsung padaku, bukan ke yang lain. Suaranya terdengar jelas, meski tetap sopan dan tertahan.
“Selamat datang, wahai Rajaku. Kami sudah menunggu Anda.”
Ia berhenti sejenak, lalu menoleh sekilas ke arah tiga bebek di belakangku.
“Teman-teman dari Raja pun, kami sudah menunggu kalian. Terima kasih telah berkenan datang berkunjung.”
Ucapan itu membuat ketiga bebek semakin terdiam. Zaza mengedipkan mata cepat, Titi sampai membuka paruhnya lebar tanpa mengeluarkan suara, sedangkan Poci hanya bisa menoleh ke kiri dan kanan, tidak tahu harus bereaksi bagaimana.
Aku menatap mereka sebentar, lalu kembali mengalihkan pandangan ke depan.
“Yah, begitulah,” ucapku santai, berusaha menenangkan suasana. “Anggap saja seperti rumah sendiri, ya.”
Tanpa menunggu tanggapan, aku melangkah maju melewati wanita itu.
Ia segera menegakkan tubuhnya, lalu berkata dengan suara yang lebih pelan namun tetap penuh hormat.
“Rajaku, kami akan mengantarkan Anda ke ruang utama. Silakan ikut saya.”
Aku mengangguk kecil. “Baiklah, lakukan.”
“Baik.” Ia kembali menunduk. “Silakan, Rajaku, ikuti saya.”
Dengan langkah teratur, ia mulai berjalan lebih dulu menyusuri karpet merah. Sebelum benar-benar bergerak jauh, ia sempat menoleh sedikit ke belakang.
“Silakan ikuti saya juga, teman-teman Raja yang terhormat,” ucapnya lembut.
Ketiga bebek langsung terdiam kaku, lalu buru-buru mengikuti langkahku. Suasana menjadi sedikit canggung, tapi mereka tidak punya pilihan selain mengikuti.
Kami melewati lorong panjang yang dindingnya dihiasi ukiran emas dan lampu-lampu kristal. Suhu di dalam ruangan lebih sejuk dibandingkan di luar, ada aroma harum samar yang membuat suasana terasa mewah.
Akhirnya, lorong itu berakhir di sebuah aula luas. Ruangannya benar-benar mewah, sulit dipercaya. Dindingnya dihiasi kain tebal berwarna merah marun, langit-langit tinggi dipenuhi lampu gantung kristal yang memantulkan cahaya. Lantai mengkilap, karpet tebal membentang di tengah.
“Ini… mewahnya keterlaluan,” bisik Titi dengan mata berbinar.
“Aku bahkan nggak berani napas terlalu keras,” tambah Zaza setengah berbisik.
Poci hanya bisa menelan ludah, paruhnya bergetar kecil.
Wanita itu—namanya Vlad Juani, kalau aku tidak salah ingat—berhenti di depan sebuah meja besar dengan kursi panjang di sekelilingnya. Ia menoleh padaku dengan gerakan penuh hormat.
“Silakan, Rajaku, duduk di sini,” ucapnya sambil menunjuk kursi di bagian tengah.
Aku mengangguk, lalu duduk dengan tenang di kursi yang ditunjuk. Kursinya empuk, terasa berbeda jauh dengan permukaan kayu biasa.
“Silakan, para tamu terhormat, duduk juga,” lanjutnya. Ia memberi isyarat pada ketiga bebek itu.
Zaza, Titi, dan Poci saling pandang sebentar sebelum akhirnya duduk perlahan di kursi-kursi lain. Wajah mereka masih terlihat tegang, belum terbiasa dengan suasana seperti ini.
Sementara itu, Vlad Juani tetap berdiri di sisiku. Ia tidak duduk, hanya berdiri dengan tangan terlipat di depan tubuh, menundukkan kepala sedikit.
Aku bisa merasakan canggungnya suasana. Kalau dibiarkan, ketiga bebek itu akan semakin kaku. Jadi aku memutuskan mengambil inisiatif.
“Vlad Juani,” panggilku.
Ia menunduk lebih dalam. “Ya, Rajaku?”
“Tolong buatkan hidangan untuk tamu-tamuku ini. Apa bisa?” tanyaku dengan nada datar.
Wajahnya tidak berubah, tetap serius dan tenang.
“Bisa, Rajaku. Saya akan segera menyiapkannya. Serahkan pada saya.”
Mereka bertiga, Poci, Zaza, dan Titi masih terdiam di tempatnya. Sejak tadi, tidak ada satu pun dari mereka yang berani bersuara. Ekspresi wajah mereka kaku, seolah belum bisa menerima kenyataan yang baru saja muncul.
Aku menarik napas pelan lalu mencoba membuka suara.
“Seperti yang kalian tahu… aku sekarang adalah seorang raja. Maaf kalau aku tidak memberitahukannya dari awal langsung kepada kalian.” Suaraku terdengar agak kaku, tapi aku berusaha menekannya supaya tidak terlalu formal.
Poci yang biasanya paling berani, akhirnya bicara lebih dulu. Ia menatapku, lalu melirik dua temannya sebelum menjawab.
“Kami tidak tahu harus bersikap seperti apa, tapi… kami akan terus mengikuti pemimpin, ke mana pun itu.” Nada suaranya terdengar mantap meski sedikit ragu di awal.
Aku mengangguk pelan. “Terima kasih. Aku benar-benar senang karena sudah merekrut kalian saat itu. Tapi… apakah kalian merasa tidak nyaman?”
Zaza kali ini mengangkat kepalanya. Suaranya pelan, tapi jelas.
“Tidak, Pemimpin. Kami justru sangat senang terus berada di sisi pemimpin. Setidaknya… mulai sekarang izinkan kami memanggilmu Raja.”
Jawaban itu membuatku terdiam sebentar. Ada perasaan hangat yang aneh di dada, meskipun aku sendiri masih belum terbiasa dengan sebutan itu.
“Kalau memang kalian menginginkannya begitu, silakan. Aku tidak akan memaksa bagaimana kalian harus memanggilku,” balasku pelan.
Titi, yang sejak tadi hanya diam, mendadak berdiri. Raut wajahnya terlihat cerah, berbeda dengan sebelumnya yang kaku.
“Wah! Pemimpin jadi Raja sekarang! Sangat hebat sekali!” katanya penuh semangat, matanya berbinar seperti anak kecil yang baru saja melihat sesuatu yang mengagumkan.
Aku tersenyum tipis, tapi dalam hati bergumam. Apa yang hebatnya? Aku tadi hampir mati sebelum sampai ke sini.
“Aku harap kalian tidak terlalu formal kepadaku,” kataku, mencoba menenangkan mereka.
“Walaupun sekarang aku seorang raja, ini semua juga mendadak. Aku sendiri sebenarnya tidak begitu suka kalau harus terlalu kaku.”
Obrolan pun berlanjut. Kami membicarakan hal-hal kecil, bukan hanya soal kekuasaan atau status baruku. Perlahan ketegangan di antara kami mencair. Hingga akhirnya pintu ruangan terbuka, dan wanita itu masuk kembali.
Ia mendorong sebuah troli besi yang penuh dengan makanan. Jumlahnya bahkan melebihi kapasitas meja besar di ruangan ini. Aroma hangat segera memenuhi udara—paduan wangi nasi, rempah, dan masakan daging yang membuat perutku langsung berbunyi lirih.
Aku sedikit menoleh ke arah tiga anak bebek itu. “Dan wanita ini adalah pelayanku. Namanya Vlad Juanni.”
Vlad berhenti di samping meja, lalu menundukkan kepala dengan sopan. Gerakannya anggun, seperti sudah terbiasa melakukan hal itu sejak lama.
Ketiga bebek itu langsung menanggapi serempak.
“Salam kenal, Kak Vlad.” Suara mereka hampir bersamaan, terdengar canggung tapi tulus.
Vlad hanya tersenyum tipis dan kembali membungkuk kecil.
Kami pun mulai makan bersama. Hidangan yang disajikan benar-benar enak. Rasanya kuat, gurih, dan ada cita rasa khas yang seolah memang disiapkan untuk lidah para bebek. Meski sederhana, makanan ini memberi kenyamanan. Aku bisa melihat Poci, Zaza, dan Titi makan dengan lahap, sesekali saling mencomot dari piring yang berbeda.
Selesai makan, aku merasa ini waktu yang tepat untuk membicarakan tujuan ke depan. Aku mengusap paruhku, menatap mereka bertiga satu per satu.
“Mulai sekarang, kita perlu punya tujuan yang jelas. Aku sendiri sudah memikirkannya, tapi aku ingin kalian juga tahu.”
Aku berhenti sebentar, memastikan mereka memperhatikan.
“Tujuan pertamaku sudah pasti: melatih kalian semua. Anggota guild harus semakin kuat, karena kita tidak bisa hanya bertahan tanpa berkembang. Lalu, aku juga ingin terus menaikkan levelku. Itu… supaya suatu hari aku bisa kembali menjadi manusia.”
Ketiganya terdiam mendengar kalimat terakhir, tapi aku bisa melihat sorot mata mereka. Tidak ada keraguan, hanya rasa ingin tahu.
Aku menoleh ke arah Vlad yang masih berdiri di dekat troli. “Selain itu, ada juga hal yang berhubungan dengan kerajaan ini. Aku ingin tahu… menurut manuskrip kuno kalian, apa tugas seorang raja yang sudah terpanggil?” tanyaku pelan.
Vlad menunduk sedikit sebelum menjawab.
“Rajaku, dalam manuskrip kuno, seorang raja memang sudah memiliki tugas yang ditetapkan sejak awal.”
“Apa tugasnya?” aku menekan sedikit.
Ia menatapku datar, suaranya tetap tenang.
“Tugas seorang raja adalah memperkuat wilayah kekuasaannya. Menghancurkan dan membinasakan wilayah lain. Bahkan… membuat dunia tunduk kepadanya.”
Sistem tiba-tiba berdering keras di kepalaku.
[Selamat! Guild Featherstorm telah berevolusi.]
[Evolusi Guild → Kerajaan Rawa Lv.1.]
Aku bahkan belum sempat bernapas lega ketika layar sistem langsung berubah warna merah darah.
[Quest Dunia Aktif: Penaklukan Rawa]
[Kuasai seluruh wilayah di sekitar rawa]
[Hancurkan keempat kerajaan yang berdiri di dalam wilayah Rawa]
[Tegakkan supremasi Kerajaan Rawa Hitam]
[Peringatan: Jika gagal, gelar “Raja Rawa” akan dicabut. Seluruh anggota kehilangan 70% atribut dan wilayah otomatis terpecah.]