Bekerja sebagai tim pengembangan di sekolah SMA swasta membuat Hawa Tanisha bertemu dengan musuh bebuyutannya saat SMA dulu. Yang lebih parah Bimantara Mahesa menjadi pemilik yayasan di sekolah tersebut, apalagi nomor Hawa diblokir Bima sejak SMA semakin memperkeruh hubungan keduanya, sering berdebat dan saling membalas omongan. Bagaimana kelanjutan kisah antara Bima dan Hawa, mungkinkah nomor yang terblokir dibuka karena urusan pekerjaan? ikuti kisah mereka dalam novel ini. Selamat membaca
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DIH, ANEH!
"Aku jemput," ujar Bima sebelum menutup panggilan. Hawa heran dengan Bima, kenapa juga mau jemput. Ah sudahlah, terserah dia saja mau apa. Hawa pun kembali mengobrol apalagi topik pembahasan kali ini terkait mendaki gunung, Hawa belum punya pengalaman, gak mungkin juga modal nekad hanya sekedar mencari pengalaman, padahal mendaki juga butuh persiapan mental terlebih peralatan mendaki juga tidak murah. Hawa menolak untuk mendaki dalam waktu dekat, ia menawarkan ke pantai saja, tak butuh persiapan yang ribet.
"Oke deh, gas!" ucap Rifka semangat, terlebih Rafka juga setuju. Mereka sepakat mengisi long weekend ini ke pantai, mereka segera berdiskusi pantai mana. Khususnya soal perjalanan yang tidak terlalu jauh, dan yang jelas pantainya harus cantik. Rafka memberi saran untuk mengunjungi pantai selatan di Jawa Timur, sepertinya oke juga. Rifka langsung mencari pantai yang dimaksud kakak kelasnya itu.
"Naik kereta sajalah, sekalian mbolang. Gak capek juga," usul Rafka, Rifka dan Hawa saling pandang. Mereka belum pernah naik kereta, apakah worth it?
"Kereta sekarang itu sudah oke banget pelayanannya, aman, tinggal duduk manis. Gimana? Jiwa petualang harus diaktifkan dong," ujar Rafka mengompori Hawa dan Rifka untuk naik kereta.
"Gimana, Rif?" tanya Hawa. Memikirkan izin kepada sang papa kok Hawa ragu kalau naik kereta.
"Mobil aja deh, Kak. Aku bawa sopir kok," ujar Rifka yang tak mau naik kereta. Bukan apa-apa, hanya saja biar bisa eksplore tempat lain dan mobilitasnya juga lebih enak kalau pakai kendaran pribadi, terlebih jalur menuju pantai katanya sudah oke. Rafka pun setuju.
"Boleh ajak teman lain gak?" tanya Hawa tiba-tiba teringat Amelia. Rifka mengangguk. Mobilnya bisa memuat maksimal 8 orang. Menambah 2 sampai 3 orang kayaknya masih oke, agar tidak berdesakan juga di mobil.
"Siapa?" tanya Rifka pada Hawa.
"Amelia, teman kantor," jawab Hawa sembari mengirim chat pada Amelia agar mengosongkan long weekend kali ini.
"Oh, bukan Bima ya?" tebak Rifka, saat melihat Bima mulai memasuki cafe, Rifka langsung melambaikan tangan. Bima pun segera mendekatinya. "Tuh dia datang," lanjut Rifka.
Hawa yang sedang menyeruput minuman langsung tersedak, tak menyangka Bima datang beneran. Dih mau apa? Rafka sendiri lupa-lupa ingat pada lelaki itu. Bima menyalami Rafka, baru deh setelah dekat begini, Rafka ingat siapa Bima.
"Murid kesayangan Pak Darmaji matematika kan?" tebak Rafka sembari menyalami Bima. Pria itu tersenyum dan mengiyakan, memang Bima saat SMA tak aktif OSIS maupun ekskul, dia memilih jalur olimpiade untuk berprestasi.
Rafka penasaran, kenapa tiba-tiba Bima datang, dan main duduk samping Hawa lagi. "Mereka sekantor, lebih tepatnya Hawa anak buah Bima," ujar Rifka melihat ekspresi bingung Rafka. Kemudian gadis itu berbisik. "Bima sih naksir, cuma Hawa yang gak peka."
Rafka mengangguk paham sekarang, pantas saja langsung duduk di samping Hawa, dan kemungkinan besar yang menelepon Hawa tadi adalah Bima. "Di samperin bos kok malah cemberut sih, Wa?" goda Rafka, Hawa hanya berdecak sebal.
"Pasti mau ngasih kerjaan, dua hari gak kasih kerjaan kayaknya kamu sawan deh, Bim!" omel Hawa sedikit ketus. Bima hanya tertawa saja. Rafka dan Rifka pun pamit, membiarkan Hawa dan Bima saja, sepertinya memang ada kerjaan urgent.
"Kenapa kamu bisa keluar sama dia?" tanya Bima sedikit ketus saat mereka sudah berdua.
"Dia narasumber pelatihan yang aku ikuti, Bima. Lagian kenapa kamu tanya begitu?"
"Aku gak suka!"
"Lah apa hubungannya?" tanya Hawa heran, gak pernah dekat dan kenal Rafka tiba-tiba bilang gak suka. Aneh.
"Aku gak suka kamu dekat sama dia. Nanti kamu dikompori buat join kerja sama dia, terus resign dari yayasan," ujar Bima seolah bisa membaca masa depan. Hawa tertawa ngakak, sedangkan Bima makin jengkel saja karena Hawa tak menanggapi Bima serius.
"Jangan bilang kamu cemburu? Mulai naksir sama aku Bim?" tebak Hawa dengan nada mengejek. Yakin deh, habis ini Bima bakal marah. Julidnya keluar mengumpat Hawa sebagai perempuan yang ge-er, padahal Bima hanya khawatir kehilangan anak buah.
"Kalau iya kenapa?" tanya Bima ketus. Hawa melongo. Telinganya gak salah dengar kan? Bima cemburu? Wah ada yang tidak beres deh, sejak kapan Bima notice pada Hawa. Apa mungkin efek Hawa cuti, sehingga dia takut gak ada pegawai yang seaktif Hawa?
"Ck, candaan kamu gak lucu kali, Bim!"
"Aku serius, Wa. Aku benaran gak mau kehilangan kamu. Terjun di yayasan merupakan pengalaman baru, baru juga lulus S2 belum semoat kerja langsung diminta pegang yayasan gede begini. Untung saja tim yayasan solid termasuk kehadiran kamu, sehingga bisa meringankan beban pikiranku. Kalau kamu join ke pekerjaan Rafka, rasanya gak ada yang bisa seeffort kamu buat handle prestasi siswa." Nah kan ujung-ujungnya soal kerjaan, jadi cemburu soal pekerjaan. Hawa jadi malu sendiri.
"Kalau resign gak sih, Bim. Aku lagi mencari tambahan ilmu aja. Apalagi kalau program barumu jalan, kan butuh skill ini. Lumayan kan gajinya dari kamu kemarin 5 juta cuy," lah Hawa malah memikirkan uang, gak peka sekali sih kalau Bima sudah kalang kabut karena foto Hawa dan Rafka kemarin. Ini malah bahas gaji, please deh. Bima hanya menghela nafas pelan, wajar Hawa berpikir seperti itu. Tidak peka akan perasaan Bima, toh Bima sendiri sikapnya tak menunjukkan kalau dirinya naksir Hawa. Perkara nomor ponsel saja sampai sekarang masih diblokir, Hawa mana bisa percaya tentang perasaan Bima. Selabil itu urusan hati.
"Wa?" panggil Bima.
"Hem?"
"Gimana rasanya nomor kamu aku blokir sampai sekarang?" harapan Bima Hawa akan menjawab sedih dan ingin blokirannya dibuka.
"Biasa saja, kan gak sehari dua hari kamu blokir. Udah hampir 7 tahun kamu blokir aku. Lagian bersyukur juga, biar gak dikasih kerjaan di luar jam kerja."
"Sebegitunya kamu, Wa!"
"Kamu juga sebegitu rese'nya Bim, anak buah nomornya gak disimpan hanya karena salah paham anak SMA," sewot Hawa. Bima tertawa kemudian mengeluarkan ponselnya.
"Ya udah aku buka," ucapnya menunjukkan room chat sesuai nomor kontak Hawa.
"Dih ngapain bilang. Aku juga gak minta."
"Kamu emang gak minta, tapi aku yang butuh."
"Kenapa? Aneh deh."
Bima tak menjawab, hanya menatap Hawa lalu membuka blokiran nomor kontaknya. "Biar aku tahu kabar kamu selama cuti, apalagi long weekend besok, ternyata pegang ponsel dua ribet juga."
"Aneh deh kamu, Bim. Kenapa bersikap seperti ini? Udah jujur aja ada apa?" tanya Hawa serius.
Bima hanya mengedikkan bahu, ia belum punya keberanian untuk menyatakan perasaan pada Hawa. Dirinya saja tak yakin apakah ia benar-benar suka Hawa atau sekedar naksir biasa atau karena tak melihat Hawa selama dua hari di kantor. Ia tak mau gegabah soal perasaan, apalagi Hawa masih punya trauma soal cinta. Ada baiknya secara perlahan memantaskan diri, bahwa Hawa memang tujuan bagi Bima. Begitu juga sebaliknya, Bima memang tujuan bagi Hawa.
"Dih, aneh!" ejek Hawa sinis.
Auto bawa sperangkat alat solat sekalian akhlak nyaa
awokwook /Curse/
Hawa: ga beLagak tapi belagu/Slight/
reader: bim, ci pox bim ampe engappp/Grin//Tongue/
maaf aq nyaranin jahat 🤭🤭🤭