NovelToon NovelToon
Santri Kesayangan Gus Zizan

Santri Kesayangan Gus Zizan

Status: sedang berlangsung
Genre:Diam-Diam Cinta / Cinta pada Pandangan Pertama / Mengubah Takdir / Keluarga / Romansa
Popularitas:5.6k
Nilai: 5
Nama Author: Julia And'Marian

Di sebuah pesantren besar yang terkenal dengan ketegasan sekaligus karismanya, Gus Zizan dikenal sebagai sosok ustadz muda yang tegas, berwibawa, namun diam-diam punya hati yang lembut. Kehidupannya yang teratur mulai berubah ketika Dilara, seorang santri baru dengan masa lalu kelam, datang untuk menuntut ilmu.

Dilara datang bukan hanya untuk belajar agama, tapi juga untuk mencari tempat aman setelah keluarganya hancur karena sebuah fitnah. Sifatnya yang pendiam dan penuh luka membuatnya jarang berbaur, namun keuletan dan kecerdasannya menarik perhatian Gus Zizan.

Awalnya, perhatian itu murni karena Dilara sering terlibat masalah—mulai dari disalahpahami teman, dituduh melanggar aturan, hingga menjadi korban gosip di pesantren. Namun, seiring waktu, Gus Zizan mulai melihat sisi lain dari santri itu, ketulusan, kepintaran, dan keteguhan hati yang menginspirasi banyak orang.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Julia And'Marian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 20

Pagi itu, suasana Pondok Nurul Falah benar-benar berbeda. Udara masih dingin sisa hujan semalam, tapi panas dalam hati para santri seakan menyebar tanpa bisa dicegah. Kabar tentang ledakan emosi Wulan di kelas tafsir sudah sampai ke telinga semua orang—dan tentu saja, sampai ke telinga Gus Zizan.

Gus Zizan, putra pengasuh yang selama ini dikenal bijak, lembut, dan jarang sekali meninggikan suara, pagi itu tampak muram. Sorot matanya tajam, langkahnya cepat, jubah putihnya berkibar setiap kali ia berbelok di koridor pondok. Semua santri menunduk ketika beliau lewat, takut terlibat dalam badai yang mereka tahu pasti akan meletus.

Di serambi aula besar, Wulan dipanggil. Suasana menegang. Para santri berkerumun di kejauhan, pura-pura sibuk tapi jelas menunggu apa yang akan terjadi. Dilara ikut hadir, berdiri di barisan belakang, jantungnya berdegup kencang. Ia takut pada amarah Gus Zizan, tapi lebih takut lagi pada apa yang mungkin menimpa Wulan.

Wulan masuk dengan langkah berat. Wajahnya pucat, mata sembab karena semalaman tak tidur. Mushaf kecil masih ia genggam erat, seakan menjadi satu-satunya penopang agar ia tidak runtuh. Namun begitu matanya menangkap sosok Gus Zizan, tangannya bergetar hebat.

“Assalamu’alaikum…” suaranya pelan, hampir tak terdengar.

Gus Zizan tidak langsung menjawab. Beliau berdiri tegak, kedua tangannya bertumpu di meja kayu. Napasnya berat, rahangnya mengeras.

"Waalaikum salam"

“Apa yang kau lakukan kemarin, Wulan?” suaranya datar, tapi tegas.

Wulan menggigit bibir. Ia tahu, kalau ia mencoba berdalih, itu hanya akan memperburuk keadaan. Tapi diam pun rasanya menusuk.

“Aku… aku cuma… aku nggak tahan lagi, Gus,” akhirnya ia berkata dengan suara serak. “Mereka semua selalu nuduh aku. Aku—”

“Diam!” suara Gus Zizan menggelegar, membuat semua santri tersentak. Bahkan Dilara pun menutup mulutnya karena kaget.

“Cukup sudah saya dengar alasanmu!” lanjut beliau, kali ini suaranya masih keras tapi lebih terkendali. “Kamu kira hanya kamu yang terluka? Kamu kira hanya kamu yang pernah dituduh, disakiti, diasingkan? Tidak, Wulan. Semua orang diuji. Bedanya, orang beriman tidak membiarkan amarahnya menghancurkan harga dirinya sendiri.”

Wulan menunduk, tubuhnya gemetar. Air mata mulai jatuh, tapi ia menahannya agar tidak semakin mempermalukan diri.

“Kalau kamu marah, kamu boleh menangis di sajadahmu. Kalau kamu kecewa, kau boleh mengadu pada Allah. Tapi berteriak di depan teman-temanmu, menghantam meja, menantang seluruh kelas? Bahkan memfitnah seseorang?” Gus Zizan menunjuknya dengan telunjuk yang bergetar. “Itu bukan keberanian, Wulan. Itu kesombongan!”

Kata-kata itu menghantam Wulan lebih keras daripada teriakan manapun. Ia merasa seperti dipukul dari dalam, sampai dadanya sesak.

“Aku… aku bukan sombong, Gus…” suaranya patah. “Aku cuma… aku cuma ingin mereka berhenti benci aku.”

Suasana hening sejenak. Semua santri menahan napas. Dilara menggenggam erat jilbabnya sendiri, hatinya perih mendengar suara Wulan yang begitu rapuh.

Gus Zizan memejamkan mata sejenak, lalu menghela napas panjang. “Kamu ingin berhenti dibenci? Maka berhentilah melawan dengan cara yang membuat orang semakin menjauh. Orang akan semakin benci kalau kamu balas dengan teriak. Orang akan semakin menuduh kalau kau terus menutup diri.”

Beliau menunduk, menatap tajam langsung ke mata Wulan. “Wulan, dengar baik-baik. Pondok ini bukan penjara untukmu. Kalau kamu memang merasa tidak sanggup, kamu bisa keluar. Tapi kalau kamu memilih tetap di sini, kamu harus tunduk pada adab pondok, pada akhlak Islam. Tidak ada ruang untuk kesombongan, tidak ada ruang untuk putus asa. Kamu mau bertahan, atau pergi?”

Kata-kata itu menggantung berat di udara. Semua mata tertuju pada Wulan.

Wulan menggenggam mushafnya makin erat. Air matanya tumpah tanpa bisa dicegah. “Kalau aku pergi… siapa yang peduli sama aku, Gus? Bahkan keluargaku pun… mereka nggak peduli. Aku cuma punya tempat ini. Tapi… tempat ini pun menolak aku.”

Suara Wulan pecah, tangisnya terdengar di seluruh aula.

Untuk pertama kalinya, amarah di wajah Gus Zizan melunak.

“Dengar, Nak,” suaranya kini jauh lebih pelan. “Kami tidak menolakmu. Justru karena kami peduli, kami marah. Kami takut kamu benar-benar terjerumus, takut kamu kehilangan arah. Kalau kami biarkan saja, itu tandanya kami tidak sayang.”

Wulan menutup wajah dengan kedua tangan, bahunya terguncang hebat.

Dilara tidak tahan lagi. Ia melangkah maju, meski beberapa santri menahan. Tapi Gus Zizan mengangkat tangan, memberi isyarat agar Dilara boleh mendekat.

Dilara berjongkok di samping Wulan, memeluknya dengan hati-hati. “Kamu nggak sendirian, Lan. Jangan bilang nggak ada yang peduli. Aku peduli. Aku selalu peduli.”

Wulan menangis dalam pelukan itu, suaranya serak dan patah.

Gus Zizan menatap sebentar keduanya, lalu berkata tegas tapi lembut, “Wulan, saya beri kamu satu tugas. Mulai malam ini, kamu ikut ustadzah situ qiyamul lail di masjid, setiap hari, tiga hari berturut-turut. Tidak ada alasan. Kamu bawa mushafmu, kamu baca meski satu ayat. Kalau kamu benar-benar ingin bertahan di pondok ini, buktikan pada Allah dulu, bukan pada manusia.”

Semua santri terdiam. Tugas itu bukan hukuman biasa—itu tantangan yang akan menguji hati.

Wulan mengangkat wajah, matanya sembab, suaranya lirih. “Kalau aku gagal, Gus?”

Gus Zizan menghela nafasnya dalam-dalam. “Kalau kamu gagal, berarti hatimu memang sudah menyerah. Dan saya tidak bisa menolong-mu lagi.”

Suasana kembali hening. Hanya suara isak kecil Wulan yang terdengar.

Hari itu, untuk pertama kalinya, seluruh pondok menyadari betapa dalam luka seorang Wulan. Tapi mereka juga tahu: pertarungan sesungguhnya baru akan dimulai—bukan antara Wulan dan orang lain, melainkan antara Wulan dan hatinya sendiri.

1
Sahabat Sejati
/Kiss//Kiss/
Sahabat Sejati
/Drool//Drool/
Lia se
bagusss
Dewi Anggraeni
sangat bagus
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!