**(anak kecil di larang mampir)**
Di tengah kepedihan yang membungkus hidupnya, Nadra mulai menjalani hari-hari barunya. Tak disangka, di balik luka, ia justru dipertemukan dengan tiga pria yang perlahan mengisi ruang kosong dalam hidupnya.
Arven, teman kerja yang selalu ada dan diam-diam mencintainya. Agra, pria dewasa berusia 40 tahun yang bersikap lembut, dewasa, dan penuh perhatian. Seorang duda yang rupanya menyimpan trauma masa lalu.
Dan Nayaka, adik Agra, pria dewasa dengan kepribadian yang unik dan sulit ditebak. Kadang terlihat seperti anak-anak, tapi menyimpan luka dan rasa yang dalam.
Seiring berjalannya waktu, kedekatan antara Nadra dan ketiga pria itu berubah menjadi lingkaran rumit perasaan. Mereka saling bersaing, saling cemburu, saling menjaga namun, hati Nadra hanya condong pada satu orang: Agra.
Keputusan Nadra mengejutkan semuanya. Terutama bagi Nayaka, yang merasa dikhianati oleh dua orang terdekatnya, kakaknya sendiri dan wanita yang ia cintai diam-diam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syahri musdalipah tarigan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
17. Kenangan yang ingin dilupakan
Sementara itu, di dalam rumah milik Nayaka, yang jauh dari kemewahan rumah keluarganya. Ia tengah terduduk lemas di sofa ruang tamu. Punggungnya bersandar malas, kepalanya menengadah menatap langit-langit putih yang tak bergeming.
Pikirannya kusut. Terlalu banyak suara berisik dalam kepala. Wajah Nadra, senyum Nadra, semuanya berputar seperti layar film yang diputar ulang berkali-kali. Senyum itu, senyum manis yang dilempar Nadra kepada Agra sungguh menyakitkan. Bukan hanya karena cemburu, tapi karena senyum itu tak pernah ditujukan padanya.
"Kenapa, kenapa kau tidak menolak dia, Nadra," gumam Nayaka, rahangnya mengeras. Tiba-tiba, ia mengerang pelan. "Nadra milikku, dia hanya untukku!" bentaknya sambil menggebrak meja di hadapannya. Matanya menatap kosong, tapi isi hatinya seperti kobaran api. "Aku akan singkirkan siapa pun yang mencoba merebutnya dariku, termasuk abangku sendiri."
Suara pintu mendadak terbuka. Langkah sepatu high heels menggema, dan dari balik pintu, muncullah seorang wanita elegan, Marlina Devi, sang mama. Dengan anggun ia berdiri, memandang anak lelakinya dari atas hingga bawah seolah sedang menilai barang pajangan. Senyum dinginnya mengembang.
"Pantas saja kamu sulit ditemui. Ternyata kamu sudah jatuh cinta pada gadis lain " ucapnya datar.
Nayaka hanya melirik sekilas dari posisi duduknya.
"Siapa yang menyuruhmu masuk ke rumahku?"
Marlina tidak peduli. Ia melenggang masuk dan duduk dengan tenang di sofa seberang, menyilangkan kakinya anggun. Pandangannya mengitari isi rumah Nayaka, sederhana, hangat, tapi jelas jauh dari standar keluarganya.
"Rumah ini tidak pantas untuk putraku tersayang," cibirnya.
Nayaka menarik napas dalam, menahan emosi yang kembali menggelegak. Namun Marlina tetap melanjutkan dengan suara tenang.
"Yaka, Mama ingin mempertemukanmu dengan Prameswari, anak dari Pak Surya Adiprana dan Bu Indira. Mereka keluarga pejabat tinggi. Anak yang terhormat, terpelajar, dan tentu saja berkelas."
Mendengar itu, Nayaka langsung duduk tegak, rahangnya mengeras.
"Sudah berapa kali aku bilang, aku tidak ingin dijodohkan!" desisnya penuh penekanan.
Marlina tetap tenang. Ia malah sibuk memperhatikan kuku-kukunya yang terawat.
"Kau adalah anak Wiratama. Putra dari keluarga terpandang. Kau harus tahu posisi. Perasaan dan cinta, itu hanya penghambat dalam hidup orang-orang besar."
Nayaka terkekeh pelan, namun getir. "Mungkin itu hanya cara Mama hidup. Tapi aku tidak mau seperti kalian. Lihat Agra, kau hancurkan hidupnya. Kau pilihkan dia wanita dari keluarga terpandang, tapi bagaimana akhirnya? Kau tutup mata pada kehancuran itu?"
Baru saja ia hendak melanjutkan kalimatnya, Marlina berdiri. Wajahnya kini tampak keras.
"Jangan lagi kau ungkit soal itu!" Ia membelakangi Nayaka tapi bahunya sedikit bergetar. "Agra adalah pria bodoh. Terlalu lembek. Dia tidak bisa beradaptasi dengan dunia ini. Dunia di mana uang membeli segalanya, bahkan kesenangan malam. Dunia di mana kau bebas menentukan malam ini tidur dengan siapa."
"Tapi milik kita juga dicicipi banyak orang, Mama! Seperti Papa yang tidur dengan siapa saja! Apa itu tidak menjijikkan bagimu?" seru Nayaka, nada suaranya tajam menusuk.
Suara itu menghantam hati Marlina. Ia berbalik cepat dan, plak! Sebuah tamparan mendarat di pipi Nayaka. Wajahnya memerah, bukan karena sakit, tapi karena luka yang lebih dalam.
Air mata menggenang di sudut mata Marlina. Namun wanita itu menahan, menolak jatuh. Matanya yang biasanya dingin, kini retak.
"Jaga mulutmu, Nayaka," desisnya pelan namun penuh ancaman.
Nayaka memegang pipinya. Ia menatap ibunya tanpa gentar.
"Dan Mama, jaga hati Mama. Sebelum kehilangan aku, seperti Mama kehilangan Abang."
Wanita itu, Marlina kini melangkah anggun, walau kini sorot matanya lebih tajam dari sebelumnya. Tumit sepatunya mengetuk lantai rumah Nayaka, menciptakan bunyi berirama yang terdengar tegas namun dingin. Namun belum sempat ia menyentuh gagang pintu, suara Nayaka kembali menggelegar dari belakang.
"Mama harus ingat," ucap Nayaka lantang, nadanya tidak lagi bergetar. "Uang memang bisa menciptakan kebahagian. Uang bisa membeli segalanya. Tapi uang, tidak bisa mempertahankan semuanya."
Langkah Marlina sempat terhenti sejenak. Namun ia tak menoleh. Hanya menarik napas dalam, menegakkan dagu, dan kembali melangkah dengan cepat keluar rumah.
Nayaka tetap berdiri di ambang ruang tamu, suaranya kini lebih lantang menggema hingga keluar rumah.
"Aku tahu Mama tidak bahagia! Bahkan sampai hari ini! Mama ingin kami, aku dan Abang hidup seperti Mama. Tapi maaf, aku tidak ingin jadi seperti orang tua yang egois!"
😩😩😩
Marlina sudah berada di luar rumah, tepat di depan mobil mewah miliknya, sebuah Mercedes Benz S-Class berwarna hitam legam dengan lis krom yang berkilau. Di dalam, kursi kulit putih gading dan kabin beraroma mawar mahal menyambutnya. Sopir pribadi dengan jas rapi segera membuka pintu belakang.
Tak ingin mendengar lebih lama, Marlina mengibaskan rambutnya ke belakang, melangkah masuk tanpa sepatah kata pun. Wajahnya tetap dingin, tapi jemarinya sedikit menggenggam ujung tas mahalnya, tanda emosi yang ia tahan.
"Jalan," ucap Marlina pendek, nadanya dingin.
"Baik, Bu," sahut sang sopir.
Mobil itu pun perlahan meninggalkan halaman rumah Nayaka, melaju melewati jalan kompleks dengan suara mesin halus namun bertenaga. Di kaca spion dalam, Marlina sempat melihat bayangan rumah anak lelakinya yang mulai menghilang dari pandangan. Di sudut matanya, kilatan emosi muncul sesaat, tapi segera ia alihkan dengan memalingkan wajah ke jendela.
****
Nayaka menjatuhkan tubuhnya ke sofa empuk di ruang tamu. Tubuhnya terhempas lelah, tapi pikirannya kembali dipenuhi oleh bayang-bayang masa lalu yang begitu ia benci. Pandangannya kosong menatap langit-langit rumah, lalu perlahan matanya terpejam, membuka kembali pintu kenangan yang selama ini ia coba kubur.
$Kenangan Nayaka$
Saat itu usianya baru 12 tahun. Ia mengenakan kaus oblong hitam bergambar logo band rock, celana pendek selutut, dan sepatu sneakers putih yang baru dibelikan sang Mama. Gaya anak gaul yang saat itu sedang tren di kalangan anak-anak kota.
Ia tengah berjalan ke ruang biliar pribadi keluarga, ingin mencari papanya untuk minta izin bermain keluar bersama teman-temannya. Tapi baru beberapa langkah menuju pintu kaca, langkahnya terhenti. Tangannya ragu menarik gagang pintu ketika dari balik kaca buram, ia melihat sosok pria dewasa yang begitu ia kenal.
Papa, sedang berdiri di belakang seorang wanita muda. Pembantu rumah tangga mereka. Wanita itu bersandar di meja biliar, tubuhnya membungkuk, rambut panjangnya jatuh menutupi sebagian wajah. Bajunya terlepas sebagian, dan Wira, dengan wajah puas, bergerak di belakangnya.
Nayaka mendadak mual. Ia menutup mulutnya rapat, lalu mundur perlahan, menutup pintu kembali tanpa suara. Tapi bayangan itu menempel kuat dalam ingatannya.
Lima tahun berlalu. Nayaka sempat melarikan diri dari rumah, melanjutkan studi ke luar negeri. Namun saat ia pulang di usia 23 tahun, harapannya untuk melihat keluarga yang sudah berubah justru kembali dipatahkan.
Baru saja masuk ke dalam rumah mewah yang kini terasa lebih dingin dari sebelumnya, langkahnya terhenti di depan kamar tamu. Suara bisikan manja, cengkeraman ranjang yang berderit, dan suara tawa lirih yang terdengar begitu menjijikkan. Dan itu suara Papanya. Lagi-lagi dengan wanita lain.
$KEMBALI$
"Cukup!" Nayaka kini berteriak keras. Tangannya mengayun ke atas meja ruang tamu. Brak! Piring hiasan jatuh dan pecah, tangannya terbentur pinggiran meja, luka goresan mulai mengucurkan darah. Tapi Nayaka tidak peduli.
"Aku bukan bagian dari kalian," desisnya. "Aku tidak akan menjadi laki-laki murahan yang menjadikan tubuh orang lain sebagai pelampiasan." Ia berdiri, wajahnya gelap. Napasnya memburu.
"Ini hidupku," suaranya bergetar namun tegas. "Ini masa depanku, dan aku akan jalani dengan caraku sendiri. Aku tidak akan jadi seperti kalian." Tangan yang berdarah itu dikepal kuat.
...Bersambung......