Gavin Alvareza, pria berdarah dingin dari keluarga mafia paling disegani, akhirnya melunak demi satu hal: cinta. Namun, di hari pernikahannya, Vanesa wanita yang ia cintai dan percaya—menghilang tanpa jejak. Gaun putih yang seharusnya menyatukan dua hati berubah menjadi lambang pengkhianatan. Di balik pelaminan yang kosong, tersimpan rahasia kelam tentang cinta terlarang, dendam keluarga, dan pernikahan gelap orang tua mereka.
Vanesa tidak pernah berniat lari. Tapi ketika kenyataan bahwa ibunya menikahi ayah Gavin terkuak, dunianya runtuh. Di sisi lain, Gavin kehilangan lebih dari cinta—ibunya bunuh diri karena pengkhianatan yang sama. Amarah pun menyala. Hati yang dulu ingin melindungi kini bersumpah membalas.
Dulu Gavin mencintai Vanesa sebagai calon istri. Kini ia mengincarnya sebagai musuh.
Apakah cinta mereka cukup kuat untuk melawan darah, dendam, dan luka?
Atau justru akan berakhir menjadi bara yang membakar semuanya habis?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sonata 85, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sandiwara di Balik Tirai Kristal
Dapur megah itu tiba-tiba sunyi, kecuali suara detak jam antik di sudut. Vanesa berdiri di ambang pintu, menyelinap masuk dengan tenang. Di meja makan, ibu mertuanya—wanita paruh baya berhidung lancip—duduk menahan amarah, dada naik-turun saat menahan emosi.
“Sudahkah Ibu mencari di rumah ayahnya?” tanya Dila dengan antusias, bibirnya tercebik saat menanti jawaban.
“Iya,” jawab ibu mertua, suara menggelitik penuh kebencian. “Di sana tak ada apa-apa. Hanya tumpukan barang rongsokan. Keluarga itu benar-benar miskin, tak ada satu pun harta yang bisa kita manfaatkan.”
Dila mendecak kesal. “Lalu bagaimana Ibu bisa masuk? Apa Papi Vanesa tidak di rumah?”
“Ibu tidak menyelinap sendiri. Om Damian dan anak buahnya masuk ke sana saat dia dirawat di rumah sakit. Berkat bantuan bos preman-ku, semua rencana berjalan mulus…” Ibu mertuanya mendengus puas. “Sayang sekali, tak ada yang bisa dirampok. Hanya bumbu basi dan sampah tak berharga.”
Dila menepuk meja kecil dengan frustrasi. “Kukira hidup kita bakal berubah setelah mengusir wanita kampung itu dari rumah!”
“Ibu juga berharap begitu,” Ibu mertuanya menenangkan. “Tapi sabar dulu. Setelah kita dapat semua sertifikat rumah, mobil, serta tanah belakangnya, kita akan menendangnya keluar. Lalu, Damian menikah dengan Iren—menantu kaya raya yang pantas kita miliki.”
Mereka tertawa kecil, tanpa sadar suara tawa itu menusuk hati Vanesa yang berdiri tak bergerak di ambang pintu. Hampir dua tahun ia menahan hinaan itu—tapi sekali lagi, ia pura-pura tak tahu dan melangkah ke meja makan.
“Bu, apakah Ibu sudah makan?” sapa Vanesa lembut, menyembunyikan kegundahan di balik senyum ramah.
Ibu mertua dan Dila terdiam, ekspresi kaget seolah disiram air dingin.
“Su-sudah, Nak,” jawab ibu mertua terbata.
Vanesa duduk dan mengangkat sendok rendang hangat dengan penuh perlahan. Daging empuk berbalut bumbu rahasia itu terasa menggoda. Ia tak menolak—justru menambah porsi, menikmati setiap gigitan dengan tenang. Ia tahu taktik mereka: membuatnya lengah.
Damian tiba-tiba duduk di sampingnya. Tatapan dinginnya menimbulkan geli di tulang punggung Vanesa, meski ia tetap melayani suaminya: menuangkan air hangat ke gelas khususnya, menyendok nasi ke piringnya.
“Kenapa Mas tak makan bersama?” tanya Vanesa sopan.
Damian menarik napas pelan, lalu menyeruput air hangat. “Ada telepon dari kantor,” jawabnya datar.
Ponsel Damian bergetar lagi. Nama ‘My Darling’ terpampang—tentu saja Iren. Vanesa memicingkan mata, pura-pura fokus pada piringnya.
“Ayo, angkat saja,” Vanesa menyindir halus.
Damian berdiri, berjalan ke sudut dapur dan mengangkat telepon. Vanesa memanfaatkan kesempatan itu: ia membuka jendela, pura-pura mencuci piring, lalu menyimak percakapan di luar dinding tipis.
“Mas, kapan wanita itu pergi dari rumah kita?” suara Iren terdengar manja, penuh rengekan.
“Bersabarlah, Sayang,” Damian membalas, nada rendah mengancam. “Aku akan dapatkan semua sertifikat dan perhiasan yang dia sembunyikan. Setelah itu…”
Vanesa menahan napas.
“Aku ingin ikut ke sana,” Iren mendesah.
“Tidak boleh,” Damian menekan. “Nanti dia curiga dan sembunyikan dokumennya lebih dalam.”
Dalam hati, Vanesa tersenyum tipis. Ia menarik napas panjang, mematung sejenak di depan rumah besar itu—tempat ia dulunya menggantung seribu impian: taman untuk anak, halaman luas untuk keluarga kecilnya. Semua itu kini tinggal kenangan pahit. Tiba-tiba sebuah pesan dari Gavin muncul di layar ponsel Vanesa. Laki-laki itu memberi ide untuk membalas Damian dan keluarganya. Vanesa sangat setuju dengan ide Gavin. Tapi dia hanya membaca dan menyimak tawaran Gavin. Setelah mendengar pembicaraan Damian dan Iren. Vanesaa akhirnya setuju.
[Aku bisa bantu kalau kamu mau, saya akan kirin semuanya ke ponselmu] tulis Gavin.
[Baiklah, saya setuju] balas Vanesa.
Damian muncul di balik pintu, menepuk bahunya. “Sayang, kamu catingan sama siapa?”
Vanesa pura-pura senyum “Sama Mirna, dia nanya harga barang di toko.”
Vanesa menoleh, menatap rumah berlantaikan marmer itu dengan mata tajam. “Rumah ini tak lagi cocok untuk kita. Jabatanmu di kantor sudah tinggi. Ayo, kita jual dan beli yang baru di kawasan elit.”
Wajah Damian berubah: bola matanya membesar. “Beli rumah baru? Ide brilian, Sayang!”
Vanesa mengangguk. “Tentu. Kita juga perlu pakaian layak supaya sesuai saat keliling kawasan elit nanti.”
Damian mengerling bahagia, lalu mengambil jaketnya. “Ayo!”
Sesi Shopping di Mall Elit di mulai. Senyum sinis terbesit samar di bibir Vanesa. Otaknya sudah penuh rencana.
Beberapa jam kemudian, Vanesa dan Damian memasuki butik mewah di pusat perbelanjaan paling prestisius di kota. Kilau kristal lampu kristal memantulkan bayang mereka pada deretan gaun dan jas desainer. Vanesa memilih setelan blazer mahal, gaun malam berjahit tangan, dan perhiasan emas putih, semua yang termahal tersedia.
“Mas, pakai saja kartu kreditmu,” bisik Vanesa lembut saat kasir menyerahkan total belanja lima puluh juta rupiah.
Damian menegang, menelan ludah. “Lima puluh juta? Untuk beberapa helai pakaian dan perhiasan?”
Belanja segitu tidak ada apa-apanya bagi Vanesa sebelum ayahnya kehilangan perusahaan. Saat ini ia hanya ingin hidup sederhana, tapi dalam hatinya ia tidak mau lagi hidup seperti, sebab tidak ada gunanya.
“Tidak usah ragu, Mas. Semuanya akan aku simpan di bank, dan semua itu milik Mas juga,” jawab Vanesa menenangkan.
Akhirnya, Damian menarik napas panjang dan menyerahkan kartu kreditnya. Vanesa mengedip bahagia.
Di ruang ganti, ia mengenakan semua belanjaan baru, merias wajah di cermin dengan mahir. Ketika pintu terbuka, ia keluar bagai bidadari: sosok ramping berbalut gaun sutra dan permata, kecantikan yang membuat Damian ternganga.
‘ Ini Vanesa saat aku mengenalnya dua tahun lalu’ ucap Damian dalam hati.
“Va-Vanesa... Kamu sangat berbeda,” Damian terpukau.
Vanesa tersenyum dingin, memeluknya mesra. “Terima kasih sudah belanja bersamaku, Mas. Ayo makan malam di restoran bintang lima, untuk merayakan awal baru kita.”
Di bawah gemerlap lampu restoran mewah, mereka duduk berseberangan. Suara alunan piano lembut menemani. Vanesa menatap pria di depannya: pria yang dulu menolak cintanya, kini tunduk di meja makan. Ia menyesap anggur sambil memantapkan niat.
Di sudut ruangan lain seorang laki-laki tampan melihat permainannya dalam diam.
‘Mereka pikir aku lemahtapi mereka belum tahu, di balik senyum ini tersimpan satu rencana yang akan menghancurkan mereka semua’ ucap Vanesa dalam hati.
Saat kristal gelas beradu, Vanesa menatap Damian... dan di layar ponselnya, satu email masuk:
‘Kita bertemu malam ini. Aku punya sesuatu yang akan merubah segalanya.’
Bersambung
ini cerita bener2 sedih dari awal sampe bab ini