Hai hai ... hadir nih spin offl dari "mendadak papa" kali ini aku jadiin Kevin sebagai tokoh utama. Selamat membaca
Gara-gara nggak mau dijodohin sama cowok sok ganteng bernama Sion, Aruntala nekat narik tangan seorang pelayan café dan ngumumin ke seluruh dunia—
“Ini pacar gue! Kami udah mau tunangan!”
Masalahnya... cowok itu cuma menatap datar.
Diam.
Nggak nyaut sepatah kata pun.
Dan Aruntala baru sadar, pria itu tuna wicara. 😭
Malu? Jelas.
Tapi sialnya, malah keterusan.
Aruntala balik lagi ke café itu, memohon ke si barista pendiam buat pura-pura jadi pacarnya biar Mama tirinya nggak bisa menjodohkannya lagi.
Cowok itu akhirnya setuju — karena nggak tahan sama ocehan Aruntala yang nggak ada titik koma.
Yang Aruntala nggak tahu, pria random itu bukan sekadar barista biasa...
Dia adalah Kevin Prasetyo, pemilik café sekaligus pemegang saham besar di perusahaan ayahnya sendiri!
Berawal dari kebohongan kecil, hubungan mereka pelan-pelan tumbuh jadi sesuatu yang lebih nyata
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Realrf, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tidak malam ini
Dunia Kevin menyempit menjadi dua kata yang diucapkan pamannya: Rian Drajat. Nama itu bukan sekadar nama, itu adalah merek dagang untuk kehancuran reputasi, spesialis pemelintir kebenaran yang bisa mengubah malaikat menjadi iblis hanya dengan permainan sudut pandang dan beberapa kalimat provokatif.
Es menjalari tulang punggung Kevin, lebih dingin dari tatapan Nadira yang paling menusuk sekalipun. Bom waktu yang ia takuti bukan lagi sekadar berdetak, melainkan sudah menunjukkan hitungan mundur terakhirnya.
“Kev? Kamu masih di sana?” Suara Cakra yang biasanya riang kini terdengar tajam, menarik Kevin dari spiral kepanikannya.
“Aku di sini,” desis Kevin, suaranya serak. Di sampingnya, Evelyn bisa melihat buku-buku jari adiknya memutih saat menggenggam ponsel.
“Wanita ular itu tidak main-main lagi, Kev. Dia tidak lagi mencoba memisahkan kalian dengan intrik keluarga. Dia akan membakarmu di hadapan publik,” lanjut Cakra.
“Rian Drajat tidak akan menulis berita tentang manipulasi saham. Itu terlalu membosankan. Dia akan menulis tentang seorang CEO kaya raya yang berpura-pura cacat untuk mempermainkan seorang gadis lugu yang terluka. Itu cerita yang menjual. Itu skandal.”
Setiap kata adalah paku yang menancap di peti mati kebohongannya. Kevin melirik Evelyn, yang wajahnya kini sepucat dirinya.
“Apa yang harus kulakukan?” tanya Kevin, sebuah pengakuan kalah yang jarang sekali ia ucapkan.
“Jujur padanya. Sekarang juga!” seru Cakra dari seberang telepon.
“Panggil dia, temui dia, dan ceritakan semuanya sebelum Rian Drajat mengetuk pintunya. Hadapi amarah Aru sekarang, atau hadapi kehancurannya besok. Pilih!”
Kevin memejamkan matanya. Membayangkan wajah Aru saat mendengar pengakuannya, kekecewaan, rasa jijik, pengkhianatan, rasanya seperti menelan pecahan kaca. Tapi membayangkan wajah Aru saat membaca berita utama di majalah skandal… itu jauh lebih buruk.
“Aku mengerti,” kata Kevin pelan, suaranya kembali menemukan ketegasannya yang dingin.
“Terima kasih infonya, Paman.”
Ia menutup telepon sebelum Cakra sempat membalas. Keheningan pekat menyelimuti ruang kerja itu.
“Dia benar,” bisik Evelyn.
“Kamu harus menemuinya malam ini juga, Kev.”
Kevin menggeleng.
“Tidak. Tidak malam ini.”
“Apa? Kamu gila?” Evelyn menatapnya tak percaya.
“Setiap detik yang kamu buang adalah amunisi untuk Nadira!”
“Aku tahu,” jawab Kevin, matanya terbuka, kini memancarkan ketenangan yang mengerikan. Ketenangan seorang jenderal yang akan maju ke pertempuran yang sudah pasti kalah, namun tetap harus dijalani.
“Tapi hari ini… hari ini ulang tahunnya.”
Evelyn terdiam.
“Aku tidak akan menghancurkan hari ulang tahunnya dengan kebenaranku yang busuk,” lanjut Kevin, nadanya final.
“Nadira sudah mengambil banyak hal darinya. Aku tidak akan membiarkan kebohonganku ikut merenggut hari spesialnya. Dia pantas mendapatkan satu hari yang sempurna.”
“Lalu kapan?” desak Evelyn.
“Besok,” jawab Kevin.
“Tapi malam ini, aku akan memberinya kenangan yang tidak akan bisa dihapus oleh berita sampah mana pun.”
***
Aruntala menatap pantulan dirinya di jendela kafe “Suara Hati”. Rambut pink-nya tampak kusam di bawah cahaya temaram. Seharian ini ia merasa gelisah. Setelah mengirim pesan cinta itu, Kevin tidak membalas apa pun selain emoji jempol beberapa jam kemudian. Jempol. Setelah pengakuan jiwa raga, ia hanya mendapat sebuah jempol digital. Rasanya seperti berteriak di puncak gunung dan hanya dijawab oleh gema kentut.
Ia datang ke kafe berharap bisa menuntut penjelasan, atau setidaknya melihat ekspresinya secara langsung. Namun, kafe itu gelap. Papan ‘TUTUP’ tergantung di pintunya. Hatinya mencelos. Apa Kevin menghindarinya? Apa pengakuannya terlalu berlebihan?
“Sialan,” gumamnya pada dirinya sendiri.
“Harusnya gue kirim stiker kucing nangis aja. Lebih aman.”
Saat ia hendak berbalik dengan langkah gontai, pintu kaca itu berderit terbuka. Rina, salah satu barista, tersenyum lebar sambil membuat gerakan tangan yang Aru kenali sebagai isyarat ‘masuk’.
“Loh, bukannya tutup, Rin?” tanya Aru bingung.
Rina hanya tersenyum misterius dan memberi isyarat lagi agar ia masuk. Dengan ragu, Aru melangkah ke dalam. Dan napasnya tercekat.
Seluruh kafe telah diubah. Lampu utama dipadamkan, digantikan oleh ratusan lampu kelap-kelip kecil berwarna hangat yang digantung di langit-langit, membuatnya tampak seperti lautan kunang-kunang. Di setiap meja, ada satu lilin kecil yang menyala. Tidak ada musik, hanya keheningan yang terasa hangat dan khusyuk.
Di tengah ruangan, di balik bar, Kevin berdiri di sana. Ia tidak mengenakan seragam baristanya, melainkan kemeja linen putih sederhana yang lengannya digulung hingga siku. Ia hanya menatap Aru, tanpa senyum, tapi matanya… matanya seolah menarik Aru ke dalam orbitnya yang tenang.
Seluruh staf, Rina, Bima, dan yang lainnya, berdiri berjajar di samping bar. Begitu Aru berhenti melangkah, mereka semua mengangkat tangan serempak. Jari-jemari mereka mulai menari di udara, membentuk sebuah koreografi tanpa suara. Aru tidak mengerti bahasa isyarat, tapi ia mengerti pesan yang mereka sampaikan. Gerakan yang lembut, senyum yang tulus, dan tatapan yang hangat itu hanya bisa berarti satu hal.
Selamat Ulang Tahun, Aruntala.
Air mata tiba-tiba menggenang di pelupuk mata Aru. Ini adalah perayaan ulang tahun paling sunyi yang pernah ia alami, sekaligus yang paling meriah yang pernah ia rasakan. Ia tertawa kecil sambil mengusap matanya.
“Kalian… ini gila,” bisiknya.
Kevin berjalan menghampirinya, tangannya membawa sebuah kotak beludru kecil berwarna biru tua. Ia berhenti di depan Aru dan menyodorkan kotak itu.
Aruntala membukanya perlahan. Di dalamnya, ada sebuah kalung perak sederhana dengan liontin berbentuk not balok musik yang mungil. Indah, simpel, dan sangat… bukan dirinya. Tapi justru itu yang membuatnya sempurna.
“Kev… ini… bagus banget,” kata Aru, suaranya bergetar.
Kevin mengambil kalung itu, memberi isyarat agar Aru berbalik. Jari-jarinya yang hangat terasa menyentuh tengkuk Aru saat ia memasangkan kalung itu. Aru bergidik pelan. Setelah terpasang, Kevin menepuk pelan bahunya. Saat Aru berbalik, Kevin sudah mengetik sesuatu di ponselnya.
Musik tidak harus selalu berisik untuk didengar.
Aru tersenyum lebar, senyum tulus pertama sepanjang hari.
“Makasih, Kev. Ini kejutan terbaik.”
“Kejutan?” Sebuah suara sinis memecah kehangatan di ruangan itu seperti pecahan kaca.
“Aku lebih suka menyebutnya investasi.”
Sion berdiri di ambang pintu yang terbuka, seringai mengejek terpasang di wajahnya. Di belakangnya, berdiri seorang pria canggung yang Aru kenali dengan rasa mual, Aldo, mantan pacarnya dari zaman kuliah yang putus karena ketahuan selingkuh dengan tiga orang sekaligus.
“Sion? Ngapain lo di sini?!” bentak Aru, mood-nya langsung jatuh ke titik terendah.
“Mengucapkan selamat ulang tahun, tentu saja,” kata Sion, melangkah masuk seolah ia pemilik tempat itu. Matanya menelanjangi dekorasi sederhana itu dengan tatapan jijik.
“Dan aku membawa hadiah. Kenangan lama.” Ia menepuk bahu Aldo.
Aldo maju dengan canggung. “Hai, Aru. Selamat ulang tahun.”
“Pergi,” desis Aru, matanya menyala.
“Dua-duanya. Pergi sekarang juga.”
“Sabar, dong, adik tiriku sayang,” cibir Sion.
“Aku hanya ingin memastikan pacar barumu ini tahu siapa dirimu sebenarnya. Kamu tahu,”—Sion menoleh pada Kevin, nadanya dibuat penuh simpati palsu.
“Dia ini seleranya tinggi. Dulu saja, Aldo harus membelikannya tas desainer setiap bulan. Aku hanya khawatir kamu kerepotan menabung dari gaji baristamu untuk memenuhi gaya hidupnya.”
Sion berhenti sejenak, menikmati kebingungan di wajah staf kafe dan kemarahan di wajah Aruntala.
“Oh, tapi tunggu dulu,” lanjutnya dengan tawa palsu.
“Aku lupa. Kamu kan bukan sekadar barista, ya? Kamu Kevin Rahadja. Pemilik semua ini. Dan masih banyak lagi. Hebat sekali kamu, Aru. Setelah gagal dengan yang biasa-biasa saja seperti Aldo, kamu langsung mengincar paus,” tuduhnya, suaranya bergema di kafe yang sunyi.
“Pasti nyaman ya, memanfaatkan pria cacat yang kaya raya?”
Cukup. Naga di dalam diri Aru meraung. Mulutnya sudah terbuka, siap menyemburkan api makian yang akan membuat Sion menyesal pernah dilahirkan.
“LO BA—”
Namun, sebelum kata pertama keluar, sebuah lengan menghalanginya. Kevin telah bergerak, berdiri sedikit di depannya, menciptakan perisai manusia. Wajahnya tetap tanpa ekspresi, tapi auranya berubah. Udara di sekelilingnya terasa mendingin beberapa derajat.
Ia menatap lurus ke mata Sion, tatapan yang begitu dingin dan menusuk hingga seringai di wajah Sion sedikit goyah. Kevin tidak meraih ponselnya. Ia tidak butuh tulisan.
Perlahan, ia mengangkat tangan kanannya. Dengan ketenangan yang absolut, ia menunjuk ke arah pintu. Satu gerakan sederhana, tanpa getaran, tanpa keraguan. Itu bukan permintaan. Itu adalah perintah yang tak terucap. Sebuah titah dari seorang raja di kerajaannya sendiri.
Sion tertegun. Untuk sesaat, ia tampak ingin membalas, tetapi tatapan mata Kevin seolah menguncinya, memberitahunya bahwa ia telah melintasi batas yang sangat berbahaya. Ada kekuasaan dalam keheningan Kevin yang jauh lebih mengintimidasi daripada teriakan mana pun.
Dengan dengusan kesal, Sion menarik Aldo yang tampak ketakutan.
“Kita lihat saja nanti,” desisnya sebelum akhirnya menghilang di balik pintu.
Pintu tertutup, dan keheningan kembali menyelimuti kafe. Aru masih gemetar karena amarah. Ia menoleh pada Kevin, napasnya terengah-engah.
“Kev, aku…”
Kevin menangkup wajah Aru dengan kedua tangannya, memaksa gadis itu untuk menatapnya. Matanya melembut, menyiratkan permintaan maaf karena malam yang indah itu telah ternoda. Ia kemudian meraih sebuah buku notes kecil dan pulpen dari saku belakangnya. Jari-jarinya bergerak cepat, menulis beberapa kata.
Ia menunjukkannya pada Aruntala.
Selamat Ulang Tahun. Aku bukan pura-pura. Perasaan ini asli.
Semua amarah di dalam diri Aru menguap seketika, digantikan oleh gelombang emosi yang begitu kuat hingga membuatnya sesak napas. Air matanya yang tadi tertahan kini tumpah tanpa bisa dicegah. Ia tidak peduli lagi dengan Sion, dengan Nadira, atau dengan dunia.
Dengan sebuah isakan bahagia, ia menerjang maju dan memeluk Kevin seerat yang ia bisa, menenggelamkan wajahnya di dada pria itu. Ia bisa merasakan jantung Kevin berdebar kencang di bawah telinganya. Ia aman. Ia dicintai. Untuk pertama kalinya, kebisingan di kepalanya benar-benar berhenti.
“Aku juga, Kev,” bisiknya di sela isak tangisnya.
“Perasaanku juga asli.”
Kevin membalas pelukannya, sebelah tangannya mengusap punggung Aru dengan lembut. Mereka berdiri di sana, di tengah lautan kunang-kunang buatan, berpegangan satu sama lain seolah mereka adalah satu-satunya dua orang yang ada di dunia.
Saat itulah bel di atas pintu kafe berdentang pelan, menandakan ada seseorang yang masuk.
Aru tidak melepaskan pelukannya, mengira itu salah satu staf yang kembali.
“Permisi,” sebuah suara pria yang tenang namun tajam memecah keheningan.
“Maaf mengganggu momen romantis kalian.”
Aru perlahan mengangkat kepalanya dari dada Kevin, matanya masih basah oleh air mata bahagia. Ia menoleh ke arah pintu.
Seorang pria berpenampilan necis dengan setelan mahal berdiri di sana. Di lehernya tergantung sebuah kamera profesional, dan di tangannya ada sebuah kartu identitas pers. Ia tersenyum, senyum yang tidak sampai ke matanya.
“Aruntala Santosa? Kevin Rahadja?” tanyanya, matanya berkilat penuh antisipasi.
“Saya Rian Drajat, dari majalah ‘Sorotan Ibu Kota’. Senang sekali bisa bertemu langsung dengan pasangan paling inspiratif tahun ini. Boleh saya ajukan beberapa pertanyaan untuk cerita sampul kami? Judulnya… Cinta, Kebohongan, dan Keheningan Seorang Miliarder."