Anjani, gadis manis dari kampung, menikah dengan Adrian karena cinta. Mereka tampak serasi, tetapi setelah menikah, Anjani sadar bahwa cinta saja tidak cukup. Adrian terlalu penurut pada ibunya, Bu Rina, dan adiknya, Dita. Anjani diperlakukan seperti pembantu di rumah sendiri. Semua pekerjaan rumah ia kerjakan, tanpa bantuan, tanpa penghargaan.
Hari-harinya penuh tekanan. Namun Anjani bertahan karena cintanya pada Adrian—sampai sebuah kecelakaan merenggut janin yang dikandungnya. Dalam keadaan hancur, Anjani memilih pergi. Ia kabur, meninggalkan rumah yang tak lagi bisa disebut "rumah".
Di sinilah cerita sesungguhnya dimulai. Identitas asli Anjani mulai terungkap. Ternyata, ia bukan gadis kampung biasa. Ada darah bangsawan dan warisan besar yang tersembunyi di balik kesederhanaannya. Kini, Anjani kembali—bukan sebagai istri yang tertindas, tapi sebagai wanita kuat yang akan menampar balik mertua dan iparnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mira j, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 17
Anjani tiba di mejanya dengan napas memburu. Berkas itu tidak ada.
"Kenapa tiba-tiba hilang?" gumamnya, matanya menyapu setiap sudut meja.
Perasaan tidak enak menggelayuti hatinya. Ini bukan sekadar kelalaian biasa. Seseorang pasti sudah menukar atau menghilangkan dokumen itu!
Namun, Anjani tidak boleh panik. Ia harus berpikir cepat. Ia masih punya cadangan!
Dengan sigap, ia membuka laci dan mengambil flashdisk berisi file laporan yang ia kerjakan kemarin malam. Tanpa buang waktu, ia kembali ke ruang rapat.
Pak Wiliam menatapnya tajam saat ia masuk.
"Ini laporan terbaru, Pak. Saya sudah menyimpannya dalam bentuk digital sebagai cadangan," kata Anjani sambil menyerahkan flashdisk tersebut.
Pak Wiliam menerima dan segera meminta tim IT menampilkan file di layar proyektor. Dalam hitungan detik, laporan yang benar muncul di hadapan semua orang.
"Baik," kata Pak Wiliam setelah membaca data yang tersaji. "Mari kita lanjutkan rapat."
Anjani menghela napas lega, ia berhasil menyelamatkan situasi.
Sementara itu, Dita yang mengamati dari kejauhan menggertakkan giginya. Ia tidak menyangka Anjani masih bisa mengendalikan keadaan.
"Seharusnya dia malu dan dimarahi! Kenapa malah bisa lolos dari masalah ini?" batinnya geram.
Namun, Dita tidak menyerah. Jika rencana pertama gagal, masih ada banyak cara lain untuk menjatuhkan Anjani.
Dengan hati penuh kebencian, ia mulai merencanakan serangan berikutnya. Anjani mungkin lolos kali ini, tapi tidak untuk selanjutnya.
Setelah rapat selesai, satu per satu staf mulai meninggalkan ruangan. Hanya Anjani dan Pak Wiliam yang masih tertinggal di sana.
Anjani tetap di tempatnya, sibuk merapikan berkas-berkas yang tadi sempat berantakan. Ia masih merasa ada yang aneh dengan kejadian tadi—dokumen yang menghilang begitu saja.
Pak Wiliam yang masih berdiri di dekatnya akhirnya bersuara, suaranya tegas namun tidak meninggi.
"Anjani."
Anjani menegakkan punggungnya, menoleh cepat. "Ya, Pak?"
Pak Wiliam menatapnya serius. "Kenapa kamu bisa lalai dengan berkas laporan? Kesalahan seperti ini seharusnya tidak terjadi, apalagi dalam rapat penting."
Anjani menggigit bibirnya. Ia tidak mungkin langsung menuduh seseorang tanpa bukti, tetapi ia juga yakin ini bukan kesalahannya sendiri.
"Saya minta maaf, Pak," kata Anjani, suaranya tenang namun tegas. "Saya juga bingung kenapa laporan yang sudah saya siapkan bisa hilang. Tapi saya pastikan ini tidak akan terjadi lagi."
Pak Wiliam menyilangkan tangan di dadanya. "Ini pertama kalinya saya melihat kamu melakukan kesalahan sebesar ini. Kamu harus lebih berhati-hati, Anjani. Saya butuh orang yang bisa saya percaya untuk menangani urusan penting perusahaan."
Anjani mengangguk. "Saya mengerti, Pak. Saya akan lebih teliti ke depannya."
Pak Wiliam masih menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya menghela napas. "Baik. Saya harap kamu menepati janji itu. Sekarang, kamu boleh kembali ke meja kerja."
"Terima kasih, Pak."
Anjani mengangguk hormat sebelum keluar dari ruang rapat. Di dalam hatinya, ia berjanji akan mencari tahu siapa yang sudah mencoba menjebaknya.
Sementara itu, di kejauhan, Dita yang diam-diam menguping menggertakkan giginya.
“Sialan! Dia cuma kena tegur, bukan dipecat! Tapi tenang saja, Anjani. Aku belum selesai denganmu."
Setelah kembali ke mejanya, Anjani tidak bisa berhenti memikirkan kejadian tadi. Bagaimana mungkin berkas yang sudah ia siapkan bisa hilang begitu saja?
Ia menatap meja kerjanya dengan seksama, mencoba mengingat setiap detail sebelum ia meninggalkan ruangan pagi tadi. Ada yang tidak beres.
Kemudian, matanya tak sengaja menangkap sudut televisi di ruangan itu, tepat di atasnya ada kamera pengawas (CCTV).
"CCTV!"
Anjani langsung berdiri. Kalau ada seseorang yang sengaja menukar atau mengambil berkasnya, pasti terekam oleh kamera pengawas. Ia harus melihat rekamannya.
Tanpa membuang waktu, ia berjalan cepat menuju ruangan pengawas keamanan. Sesampainya di sana, ia mendekati salah satu petugas yang sedang duduk di depan layar komputer dengan beberapa monitor yang menampilkan berbagai sudut kantor.
"Pak, saya ingin melihat rekaman CCTV di sekitar meja kerja saya sejak tadi pagi. Ada sesuatu yang janggal," kata Anjani tegas.
Petugas itu mengernyit. "Ada kejadian apa, Mbak Anjani?"
"Berkas penting saya tiba-tiba hilang dan tertukar saat rapat tadi. Saya yakin ada yang mengambilnya," jawab Anjani.
Petugas itu mengangguk dan segera membuka rekaman sesuai waktu yang diminta. Anjani menahan napas saat layar memperlihatkan apa yang terjadi pagi tadi.
Gambar di layar menunjukkan meja kerja Anjani yang masih kosong. Kemudian, tampak seorang wanita berdiri di dekat mejanya sambil berpura-pura membersihkan area tersebut.
Dita.
Anjani menyipitkan matanya saat melihat rekaman dengan jelas. Dita membuka map berisi dokumen Anjani, mengeluarkan isinya, lalu menukarnya dengan berkas lain sebelum menutupnya kembali.
Ketahuan.
Anjani mengepalkan tangannya. Jadi, Dita yang sudah menjebaknya!
Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan dirinya. Kali ini, ia tidak akan tinggal diam.
Dita harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Anjani tidak membuang waktu. Setelah melihat rekaman CCTV yang mengungkapkan siapa yang bertanggung jawab, ia langsung menuju ke ruang kerja Dita. Dita pasti belum tahu bahwa rencana liciknya sudah terbongkar.
Anjani berdiri di depan meja Dita dengan wajah tegas. Dita yang sedang duduk dengan santai menatapnya, tidak menyangka akan mendapat kejutan seperti ini.
"Dita, saya tahu apa yang kamu lakukan." Suara Anjani rendah, tetapi tajam, mengiris suasana yang semula tenang.
Dita terkejut, hampir terjatuh dari kursinya. "Apa maksudmu?" tanyanya dengan nada pura-pura tidak tahu.
Anjani menatapnya dengan penuh keyakinan. "Saya sudah melihat rekaman CCTV, Dita. Saya tahu kamu yang menukar berkas saya pagi tadi."
Dita terdiam sejenak, wajahnya mulai berubah. Ia tahu saat itu, Anjani sudah mengetahui segalanya.
"Saya tidak tahu apa yang kamu bicarakan," jawab Dita dengan suara gemetar.
Anjani mendekat, menatapnya langsung. "Jangan coba bohong. Saya sudah melihat kamu mengambil dokumen saya dan menggantinya dengan berkas lain. Kalau kamu tidak ingin masalah ini berlanjut, lebih baik kamu tidak melakukan hal itu lagi."
Dita mulai terlihat panik, matanya gelisah. Ia tahu Anjani tidak akan tinggal diam jika ini dibawa ke pimpinan.
"Kalau kamu masih mencoba mengganggu saya lagi, saya akan melaporkan kamu ke Pak Wiliam sebagai pimpinan perusahaan. Saya tidak menyaka kamu bisa melakukan hal seperti ini pada ku," ujar Anjani, suaranya semakin tegas.
"Saya harap kejadian seperti ini tidak akan terulang lagi , Dita."
Dita terdiam, menatap Anjani dengan kebencian yang mendalam, tapi ia tahu ia sudah tidak bisa mundur lagi. Ia harus berpikir cepat, tapi kali ini Anjani sudah menguasai situasi.
"Baiklah," akhirnya Dita menjawab dengan suara rendah, "Tapi kamu belum menang, Anjani. Ini belum selesai."
Anjani mengangkat alisnya. "Itu urusanmu, Dita. Saya hanya ingin kamu tahu, saya tidak akan membiarkan kamu mengganggu pekerjaan saya lagi."
Dengan satu tatapan terakhir yang penuh amarah, Dita menunduk, sementara Anjani meninggalkan ruangan dengan rasa puas.
Anjani merasa lega. Satu masalah telah diselesaikan, tetapi ia tahu Dita bukan orang yang mudah menyerah.
hrs berani lawan lahhh