Renata tuli, dan itu sudah cukup menjadi alasan mengapa dirinya di jauhi se-antero Amarta.
Tapi pemuda itu, Maleo, tidak berpikiran demikian. Ia justru menganggap Renata...Menarik? Tanpa alasan, seperti itulah Maleo.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YuanYen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
17. The Past
Tidak ada yang pernah menyangka akan terbongkar.
Desas-desus menggemparkan merambat naik di sosial media. Semuanya mengenai Indira, anak seorang yang dipandang berada, ternyata mempunyai gosip sebagai putri sulung seorang gundik, hingga kabar burung mengenai dirinya yang dibuang oleh orangtua aslinya.
Kabar itu sempat mereda, sebelum akhirnya kembali muncul kepermukaan. Indira tahu, sangat tahu, ia bukanlah anak kandung dari Husein Hamzah Nugroho. Namun, apakah pantas ia mendapatkan hujatan sedemikian rupa?
Entahlah. Ia tahu dirinya egois, tapi mencaci orang tanpa rasa bersalah lebih buruk bukan?
Dan semuanya diperburuk oleh fakta bahwa...
Putri kandung Ayahnya telah ditemukan.
Renata.
Gadis itu...
Merebut semuanya.
Apa yang harus ia perbuat?
Bukankah dunia terlalu kejam padanya?
Bagaimana mungkin Tuhan memutuskan hubungannya dengan Maleo, sedangkan Renata bersukacita menikmati gelimang harta?
...•••...
...SELAMAT MEMBACA....
...•••...
Mentari bersinar cerah, cahaya menelusup masuk pada sela-sela bangunan. Pelataran luas dipenuhi dedaunan pohon nan hijau menyapa, mungkin saja semua orang akan terpana kala menyaksikan halaman indah tersebut. Di sisi sebelah kanan, terdapat jejeran kuda besi yang rapih. Sementara gerbang besar menjaga agar tetap aman. Ada sebuah posko kecil di depan pagar sebelum Rolls Royce itu memasuki pelataran.
Beberapa anak berjalan keluar, guna menyambut sang tamu. Raut wajah bahagia terpampang jelas pada masing-masing jiwa kecil di sana.
Seorang anak turun dari mobil. eeee Kekaguman melanda mereka yang berada disekitarnya. Sebab, anak-anak itu jauh sekali hidup dalam kata mewah, bahkan orangtua yang memberi kasih sayang juga tidak ada. Untung sang pemilik panti berbaik hati merawat mereka, kalau tidak, mungkin entah apa nasibnya.
Si pemilik panti keluar, ia adalah seorang wanita tua yang sebentar lagi menyiapkan wasiat kepada cucu-cucunya. Rambut yang telah memutih tergerai panjang, sementara kacamata bertengger di hidung peseknya.
"Bapak Erla," perlahan wanita tua itu menghampiri sepasang ayah dan anak. Ia menjabat tangan yang lebih tua akrab, bak sahabat karib. "Terima kasih telah meluangkan waktu Anda kemari." Ia berucap guna mengungkap syukur.
Pria yang kini mengenakan baju polo serta celana jeans panjang itu tersenyum lebar, hingga cekungan di pipinya timbul.
"Tidak apa-apa, saya di sini agar anak saya mempunyai teman bermain." Jelasnya.
Pria itu mengelus surai legam sang anak yang kemarin baru saja menginjak usia sepuluh tahun.
"Namanya Maleo, Raden Mas Maleo Javares.''
"Maleo? Wah, den bagus." Puji si pemilik panti.
Si kecil tersenyum tipis, ia malu sebab beberapa anak panti yang nampak penasaran dengannya, seolah-olah dirinya ialah spesies langka yang baru ditemukan para ilmuwan.
"Iya, aku Maleo." Cicitnya.
Singkatnya, Maleo diajak bermain dengan mudahnya oleh beberapa orang di sana. Ia masih mengingat, nama anak itu Sobri Istirja, katanya, ia adalah si sulung dari dua bersaudara. Tapi sayang, keluarganya telah kembali ke sang pencipta.
"Kamu tidak sedih?" Tanya Maleo setelah mendengarnya. Lelaki kecil itu mengayunkan kakinya, kepalanya ia miringkan guna memandang Sobri.
Sobri menggeleng, surainya sedikit berterbangan akibat gerakan mendadak.
"Engga, karena di sini aku punya Budhe Susi."
Yang Sobri maksud ialah pemilik panti.
Walau sudah tua, Budhe Susi lebih menyukai panggilan 'budhe' untuknya saat ini, dibanding dengan oma atau sebagainya. Pernah suatu ketika seorang kurir paket memanggilnya nenek, maka langsung Budhe Susi memarahinya menggunakan bahasa Jawa--yang tentu saja tidak dimengerti sebab memakai bahasa krama halus.
Saking halusnya nada atau bahasanya, justru seperti sekedar menyindir bukan memaki.
"Budhe baik, ya?" Celetuk Maleo.
"Iya." Balas Sobri. "Mau aku antar keliling-keliling?" tawarnya.
"Emang boleh?" Maleo memastikan.
"Boleh aja!" Balasnya cepat, segera, tangan kecil itu menggenggam pergelangan Maleo, mengajaknya berkeliling seraya berlarian kecil.
...•••...
Mentari tergelincir, kala sinarnya mulai meredup Maleo kecil sedang berkemas-kemas untuk pergi meninggalkan panti setelah bersenang-senang bersama mereka.
Itu rencana awalnya.
Namun kini, Maleo rupanya tengah membaringkan kepalanya dalam pangkuan seorang perempuan berusia setahun lebih tua darinya. Keduanya berceloteh seraya menatap senja, tambahan, perempuan itu mencelupkan kakinya, berniat bermain-main dengan air di kolam nan dangkal.
Perempuan itu Indira, rupanya ia tidak diberi nama lengkap. Katanya, selagi tidak serupa dengan yang lain maka ia akan dibiarkan seperti itu.
"Indira," panggil Maleo.
"Iya?"
Indira mengusap lembut surai berantakan Maleo, ia menyelesaikan senandung syahdu yang membuat lelaki itu awalnya tertarik.
"Kenapa suara Indira bagus?" Puji Maleo, meski tidak ada niat untuk memuji, hanya pernyataan spontan yang keluar dari anak sepuluh tahun.
Perempuan yang merasa tersanjung hanya tertawa geli. "Terima kasih." Ucapnya, setelah meredakan tawanya.
Keheningan kembali menyelimuti dua jiwa kecil di alam semesta. Cahaya oranye senja menimpa surai legam berkilau kepunyaan Indira.
Keduanya sama-sama terhanyut dalam pemikiran masing-masing, hingga...
"Indira," Maleo kembali membuka suara.
Yang dimaksud menunduk, menatap iris sebiru angkasa. Sedikit mengagumi, sebab tiada anak panti yang mempunyai mata seindah milik Maleo.
Walau memang ia bukan anak panti sih.
"Piky promise?"
Maleo mengangkat jari kelingkingnya, Indira yang tak mengerti kini menautkan alisnya, otak kecilnya mungkin sama bekerja lebih keras hari ini.
"Apa itu?"
Terserah bila seseorang akan menertawai dirinya sebab tidak mengetahui apa itu 'pinky promise', toh dia memang benar-benar tidak mengerti. Jadi daripada sesat di jalan, maka ia harus bertanya, bukan?
"Semacam janji jari kelingking.'' Jelas Maleo, singkat pula mudah dimengerti.
"Ah," Indira mengangguk. "Jadi mau janji apa?"
Maleo semakin tinggi mengacungkan jari kelingkingnya. Ketika tepat berada didepan mata Indira, ia segera berbicara:
"Kelingkingnya dulu, dong!" Titahnya, yang lalu diberi kekehan kecil dari Indira.
Ternyata tingkah lelaki itu lebih lucu dari si Sobri yang suka maling manga. Jangan dicontoh! Karena itulah Sobri dimusuhi oleh beberapa anak panti. Meskipun Budhe Susi tidak demikian.
Indira mengaitkan kelingking keduanya.
"Apa?" Tanyanya lagi.
Maleo yang semula terlentang dan menggunakan paha Indira sebagai bantalan. Kini telah duduk tegak seraya menyatukan netra keduanya.
Indira sedikit memuji, tindakan antusias Maleo membuat hatinya bergembira.
"Janji kalau.."
"Kalau?" Indira melanjutkan, sedikit imbuhan nada tanya di akhir.
"Kalau kita bakal bareng-bareng terus, ya?"
Indira terkekeh, kemudian mengiyakan.
Mendapati reaksi seperti itu, Maleo refleks berdiri. Membuat perempuan itu terkejut, sebab perubahan atmosfer yang mendadak.
"YEY!!!" Jeritnya gembira.
"MALEO!!"
Suara khas wanita tua menyapa keduanya. Budhe Susi berjalan dengan tergopoh-gopoh, nihil rasanya bila mengatakan wanita itu tenang-tenang saja. Nyatanya tidak. Ia selalu begitu ketika anak pantinya tidak masuk ke bangunan utama saat menjelang petang.
"Ya ampun, neng kene tah?" (Yaampunn di sini, toh?)
"Budhe!" Maleo berlari sekencang mungkin, meninggalkan Indira yang terduduk di pinggir kolam, perempuan itu terkekeh geli sebab tingkah kekanakan lelaki sepuluh tahun.
Maleo memeluk tubuh yang lebih tua, dan mendapatkan respon keterkejutan darinya.
"Budhe," Maleo membisikkan sesuatu, mendengar itu Budhe Susi membulatkan matanya, terlampau terkejut akan hal yang baru saja terdengar.
"Ya ampun, masih kecil udah mau nikah-nikahan ya?"
Maleo mengangkat bibirnya, menunjukkan gigi kelinci manis di sana. Sementara Indira hanya mengerutkan keningnya, kala Maleo yang berlarian masuk ke bangunan utama. Meninggalkan ia dan Budhe Susi.
"Ada apa, Budhe?"
Budhe Susi menggelengkan kepalanya, ia tak habis pikir mengenai tingkah dua bocah ini.
"Itu loh, katanya mau nikahin kamu,"
"Hah? Sejak kapan, Budhe?''
Indira terkejut, sungguh, ia tidak pernah menyangka bahwa maksud Maleo ialah hal itu. Kurang peka? Indira rasa tidak.
"Sejak tadi!!"
Maleo berteriak dari dalam, mencairkan ketegangan diantara keduanya.
"INDIRA NIKAH DENGANKU, YA?!"
Keduanya geleng-geleng kepala, setelah itu gelak tawa kembali terdengar.
Ah...Maleo dan sifat jenakanya.
Aku rindu!
...•••...
...Sabar, 4 eps lagi tamat :)...
Salam hangat dari author ❤️
Aku ingin bingar...
Aku mau di pasar...
Pecahkan saja gelasnya biar ramai!
Biar mengaduh sampai gaduh...
Kulari ke hutan kemudian teriakku....
Bosan...aku dengan penat...
dan enyah saja kau pekat!
Seperti berjelaga jika ku sendiri...