"Mereka mengira pertemuan itu adalah akhir, padahal baru saja takdir membuka lembar pertamanya.”
Ameena Nayara Atmaja—seorang dokter muda, cantik, pintar, dan penuh dedikasi. Tapi di balik wajah tenangnya, ada luka tersendiri dengan keluarganya. Yara memilih hidup mandiri, Ia tinggal sendiri di apartemen pribadinya.
Hidupnya berubah ketika ia bertemu Abiyasa Devandra Alaric, seorang CEO muda karismatik. Yasa berusia 33 tahun, bukan seperti CEO pada umumnya yang cuek, datar dan hanya fokus pekerjaannya, hidup Yasa justru sangat santai, terkadang dia bercanda dan bermain dengan kedua temannya, Yasa adalah anak yang tengil dan ramah.
Mereka adalah dua orang asing yang bertemu di sebuah desa karena pekerjaan masing-masing . Awalnya mereka mengira itu hanya pertemuan biasa, pertama dan terakhir. Tapi itu hanya awal dari pertemuan mereka. satu insiden besar, mencoreng nama baik, menciptakan gosip dan tekanan sosial membuat mereka terjebak dalam ikatan suci tanpa cinta
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nōirsyn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
aku bahagia jika bersamamu Yara
Lampu dimatikan, hanya cahaya dari TV yang menyala. Film horor sudah mulai masuk ke bagian menegangkan.
Yara mengerutkan alisnya, dia takut tapi penasaran jadi Yara menggunakan bantal kecil untuk menutupi wajahnya. Yara melihat film dengan mata sedikit tertutup
“Hantu nya jelek! Masa mukanya hancur begitu"
Yasa tertawa, tapi kemudian
"AAAHK" Yara terkejut karena ada jumpscare, semua snacknya tumpah
Yara memunguti satu-satu snacknya termasuk disamping Yasa, tapi kemudian Yara dikejutkan lagi dengan adanya jumpscare
"AAAAA" Snack Yara benar-benar sudah amburadul, dia memeluk Yasa, dan sekarang.... posisinya berada di pangkuan Yasa.
Mereka saling tatap-tatapan, Yara benar-benar malu sekarang, baru saja dia ingin bangkit tapi volume dari tv nya sangat kuat sehingga Yara benar-benar ketakutan sekarang. Dia menenggelamkan wajahnya di leher Yasa. Sedangkan Yasa? dia hanya tersenyum, sepertinya dia memang sengaja mengambil kesempatan dalam kesempitan.
Yara segera bangkit dari pangkuan Yasa, dia sungguh jengkel sekarang! ditambah melihat senyum licik Yasa
"Kau!" Geramnya
"Kenapa?" Jawabnya santai
Tangan Yara sibuk mencari remot TV, dia ingin mematikan TV tapi tidak ketemu. Tentu saja sudah di sembunyikan Yasa, Yasa menarik tangan Yara agar bersandar padanya.
"Ahk, apa yang kau lakukan" Teriak Yara
"Bisa tidak kau jangan grasak grusuk, diam dan nikmati saja filmnya" Jawab Yasa
"Mana bisa aku menikmati filmnya jika aku sangat ketakutan! Tidak bisakah kau ganti saja?"
"Tidak bisa! remotnya entah kemana, lagian sudah setengah jalan, bentar lagi juga selesai"
"Ck awas saja kau, tunggu pembalasanku" ucap Yara dalam hati
Sepuluh menit berlalu.
Yara makin meringkuk. Makanannya udah gak disentuh lagi. Bantal dipeluk erat kayak nyawa tergantung di situ.
Tiba-tiba, Yasa deketin wajahnya ke kuping Yara dan bisik,
“Tadi suara cewek nangis dari belakang TV, kamu denger gak?”
Yara langsung jerit pelan, “Yasaaa!!!”
“Shhh! Ntar setannya tau!” Yasa tambah usil.
Yara menyikut lengan Yasa sambil nyembunyiin muka ke bantal. “Kalau saja aku mimpi buruk malam ini, habis kau!" geram Yara
Yasa tertawa mendengarnya
Yara sudah tidak fokus lagi, kali ini dia menutupi seluruh wajahnya dengan selimut. berkali-kali Yasa menarik selimutnya dan berkali-kali juga Yasa kena amukan dari Yara.
Beberapa menit kemudian, suara Yara mulai pelan. Gak ada lagi komentar panik. Gak ada jeritan.
Yasa melirik. Dia senyum tipis.
Yasa memandangi wajah Yara yang tertidur. Selimut masih menutup sebagian wajahnya, tapi dari celah kecil itu, ia bisa melihat betapa damainya wajah Yara saat tidak sedang marah-marah atau menatap sinis padanya.
Untuk pertama kalinya malam itu, Yasa tidak tertawa. Ia hanya duduk diam, memperhatikan.
Tangannya dengan hati-hati menarik sedikit selimut dari wajah Yara. Ia tersenyum kecil melihat pipi Yara yang sedikit mengembung saat tertidur.
Perlahan, Yasa mengangkat tubuh Yara dari sofa, menggendongnya dengan pelan agar tak membangunkannya.
Langkah kakinya mantap membawa Yara ke dalam kamar.
Saat membaringkannya di kasur, ia sempat menatap wajah Yara sekali lagi, setelah itu dia menyelimuti Yara dan pulang tanpa meninggalkan suara.
---
Keesokan paginya...
Yara terbangun dengan sedikit bingung. Ia melirik ke sekitar, menyadari dirinya sudah berada di atas ranjang, tertutup selimut rapi.
"Aku nggak inget balik ke kamar," gumamnya lirih. Tangannya reflek meraih ponsel di meja samping tempat tidur.
Satu pesan baru dari Yasa:
"Aku pulang setelah film selesai. Kamu ketiduran. Aku titipin kamu ke kasur, sorry ya. Jaga diri baik-baik." —Yasa.
Yara mengembuskan napas lega. Ada rasa hangat, juga sedikit malu. Tapi setidaknya, dia merasa aman.
Beberapa jam kemudian, setelah mandi dan duduk bengong cukup lama, Yara merasa jenuh.
Dia menekan nama kontak Felisya dan menelpon.
"Felii sibuk ga? Jalan yuk."
"Bisaaa, tapi aku ada pasien dulu bentar ya, sekitar sejam-an di rumah sakit."
"Oke! Aku jemput ke sana ya."
---
Beberapa waktu kemudian, di depan Rumah Sakit...
Yara melangkah masuk, mencari-cari Feli. Tapi langkahnya terhenti saat ia melihat sosok tinggi berseragam dokter melewatinya begitu saja—tanpa menoleh, tanpa sapaan.
"Kak!" panggil Yara, spontan.
Langkah Adrian terhenti. Tapi dia tidak berbalik.
Yara maju pelan, hingga berdiri tepat di depannya.
"Kak... dateng ya ke pernikahan aku besok," ucap Yara dengan suara lirih.
Adrian diam.
Yara melanjutkan, "Maafin aku ya kak. Kakak udah baik banget selama ini sama aku. Aku udah anggap kak Adrian sebagai sosok abang selama ini. Aku mau kak Adrian data—"
"Jadi bagimu semua perlakuan dan perhatianku selama ini... cuma kamu anggap perhatian seorang abang ke adiknya?" suara Adrian terdengar pelan, namun mengandung luka yang dalam.
Yara tercekat.
"Kak..."
"Aku mohon... lupain aku ya. Cari kebahagiaan kakak sendiri. Aku yakin kakak bakal nemuin wanita yang lebih baik dari aku."
Adrian tertawa hambar.
"Tapi aku bahagia jika bersamamu, Yara." Suaranya parau. "Kenapa Yara? Kenapa kau lebih memilih dia daripada aku? Aku tahu kalian nggak ada hubungan apa-apa kan... Yara, aku akan tetap nerima kamu, bahkan kalau kamu memang sudah dilecehkan oleh bajingan itu!"
"Kak..."
Air mata Yara jatuh satu per satu. Ia menggeleng pelan, sungguh dia tidak tega melihat kak Adrian begitu memohon kepadanya, dia tau betapa seringnya Adrian membantunya dan menemaninya disaat dia sedang kesusahan.
"Kak... aku akan tetap menikah dengan dia."
Hening.
Adrian menatap lantai. Bibirnya menegang, tapi dia mengangguk.
"Baiklah... kalau itu keputusanmu, Yara, aku turut bahagia."
Setelah itu, Adrian berjalan menjauh, meninggalkan Yara yang terisak diam-diam.
Yara berdiri di lorong rumah sakit, teringat jelas momen saat pertama kali bertemu Adrian. Saat itu Yara sedang koas di rumah sakit Willow Creek dan Adrian yang sudah menjadi dokter membantunya ketika dia kesulitan. Adrian adalah sosok pria yang lembut dan sabar dalam mengajari, dia juga pria yang sopan dan ramah kepada banyak orang dan pasiennya.