Ariana harus menerima pukulan terberat dalam hidupnya, ketika suaminya ketahuan selingkuh dengan adiknya. Siapa yang mengira, berkas yang tertinggal suatu pagi membawa Ariana menemukan kejam suatu perselingkuhan itu.
Berbekal sakit hati yang dalam, Ariana memutuskan untuk pergi dari rumah. Namun dibalik itu, dia secara diam-diam mengurus perceraian dan merencanakan balas dendam.
Apakah Ariana berhasil menjalankan misi balas dendamny??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ristha Aristha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MENGATAKAN SEMUANYA
Kami duduk di sofa ruang tamu dalam keheningan yang membelenggu. Kenzi dari tadi hanya mengelus pundakku dengan penuh perhatian, seolah-olah ingin menenangkan dan memberi waktu agar aku bisa merasakan lebih baik.
Aku disisi lain, masih menutupi wajah dengan tanganku, mencoba menutupi betapa kacau dan hancurnya aku saat ini. Setelah cukup lama aku menangis, aku baru sadar betapa dramatisnya aku berkeluh kesah di depan orang lain, dan tentu saja, Kenzi memergoki kekacauan ku.
Aku merasa sedih, patah, dan hancur. Namun diwaktu yang sama, rada malu yang amat menghantui diriku. Sekarang bukan lagi soal bagaimana aku bisa tenang, tapi bagaimana aku akan menghadapi Kenzi setelah ini. Rasanya aku ingin sekali menggali lubang dan mengubur diri sendiri karena malu.
"Bu Riana", panggil Kenzi dengan lembut, mencoba menyapa. Tapi aku belum siap untuk merespon.
"Bu Riana, sudah tenang?" Tanyanya lagi dengan lembut, tetap bersikap sabar meskipun aku masih belum memberikan jawaban.
Pada akhirnya aku sedikit mengangkat wajah, mencuri pandang kearah Kenzi yang duduk di sebelahku dengan ekspresi perhatian yang tulus. "Mau minum?" Tanyanya lagi, kali ini mencoba memberikan sentuhan humor yang halus.
Aku mengangguk pelan, meskipun hatiku masih berat. "Tolong!" Ucapku sambil mencoba tersenyum getir.
Kenzi tersenyum, lalu meraihkan segelas air hangat ke arahku. "Minum dulu, Bu. Jangan terlalu di pikirkan", katanya dengan hangat.
Aku menerima gemas itu dengan gemetar, merasakan kehangatan airnya yang sedikit menenangkan. "Terimakasih, Kenzi", ucapku dengan suara serak.
Kenzi mengangguk, masih dengan senyum yang lembut. "Atau mau sekalian makan?" Ujarnya sambil mencoba mengambil makanan yang masih belum tersentuh.
Dengan cekat aku menggeleng. "Nanti saja", kataku. Setelahnya aku masih menyesap sedikit demi sedikit air hangat dari gelas.
Keheningan kembali menyergap. Kenzi lagi-lagi diam, tapi dari ekor mata, aku bisa merasakan anak itu sedang menatap dari tadi. Apa selanjutnya? Perlukah aku membuka obrolan agar kecanggungan diantara kami hilang.
"Maaf, Kenzi", ucapku sambil menunduk. Selain sedih juga malu. "Kamu pasti kaget, kan?"
Entah bagaimana ekspresi Kenzi sekarang, tapi dia menjawab, "Nggak usah mikirin say, Bu. Yang penting Bu Riana udah tenang dan baik-baik saja sekarang".
Aku membuang napas dengan kasar. Tertawa miris didalam hati. Mungkin terlihat tenang, tapi bohong jika aku bilang baik-baik saja.
"Kamu inget pas datang kerumahku buat ambil naskah?" Tanyaku tanpa mengangkat wajah. "Pas itu, aku baru saja memergoki mantan suamiku selingkuh sama adikku sendiri ".
Seketika Kenzi terdengar ragu, namun aku kembali menyambung sebelum anak itu semakin canggung. "Saat itu juga, aku usir mereka. Dan dua ibu-ibu yang datang marah-marah, mereka mertua dan ibu tiriku", lanjutku. "Lucu kalau diingat, kamu dituduh sebagai selingkuhanku, haha".
Aku memang tertawa, tapi sepertinya Kenzi bisa merasakan ada kepedihan yang diantar oleh setiap nafasku. "Bu Riana..."
Sudut bibirku naik, pura-pura tegar sambil menoleh kearah Kenzi. "Lalu laki-laki yang semalam menemui aku adalah papaku, papa kandungku". Setelahnya, aku mengalihkan pandangan kearah kertas dan foto yang ada di atas meja. "Papa ngasih itu ke aku, foto ibu kandungku".
Kulihat Kenzi diam sambil memasang wajah yang sulit dibaca. Antara khawatir juga ragu-ragu. Tentu saja, siapa yang tidak bingung setelah mendengar silsilah keluarga yang membingungkan itu.
"Aku malu banget nangis di depan kamu kayak tadi", lanjutku.
Sontak Kenzi menggeleng. "Bu Riana gak perlu malu".
Aku mengangguk, lalu mengambil napas dalam-dalam. "Gimana lagi, kamu selalu lihat sisi kacau dan menyedihkan ku", ujarku. "Aku sama sekali belum pernah bertemu dengan ibu kandungku. Malahan, aku baru tahu kalau aku bukan anak adopsi ".
Bisa ditebak, kedua mata Kenzi langsung membulat.
"Ya, aku anak kandung papa dengan selingkuhannya. Singkatnya, ibu kandungku ternyata selingkuhan Papa. Lucu, kan?"
Kenzi kembali menggeleng. "Nggak ada yang lucu. Bu Riana..." Tatapannya sendu, seolah memberikan dukungan emosional padaku. "Apa Bu Riana, oke?"
"Bohong kalau aku bilang oke", kataku sambil mengalihkan pandangan, menatap langit-langit ruangan. "Aku hampir gila karena masalah yang datang kayak bom waktu. Aku pikir diselingkuhin suami udah sakit banget, ternyata ada yang lebih parah ".
Aku kembali menunduk, merenungi betapa lucunya takdir mempermainkan ku sejauh ini. "Sekarang, bahkan aku gak tau mana yang lebih lucu, hidupku atau Srimulat yang sering muncul di televisi itu".
"Bu Riana..." Kenzi memanggil dengan nada prihatin.
Airmata yang hampir turun segera ku usap. Selanjutnya, aku kembali menoleh pada Kenzi dan tersenyum. "Maafin aku. Ceritaku pasti kedengaran berat banget buat kamu".
"Nggak masalah, Bu". Timpal Kenzi dengan lembut. "Bu Riana bisa cerita apapun pada saya. Saya bakal dengerin apapun itu".
Aku mengangguk pelan, menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri sebelum memberanikan diri mengambil sebuah foto wanita yang terlihat sedikit udang dimeja.
Alis tebal dan hidung kecil tapi tinggi, aku seperti bercermin menatap foto itu. Perasaan tak nyaman menyelimutiku. Sialnya, aku benar-benar mirip dengannya.
"Jadi, dia beneran ibuku?" Gumamku, menahan napas yang terasa sesak. "Kamu lihat kan, Kenzi? Wanita ini mirip banget sama aku".
Kenzi memandang foto itu sekilas, kemudian menatapku dengan mata penuh empati. "Benar, kalian kelihatan mirip", katanya lembut. "Tapi itu bukan berarti Bu Riana sama persis dengan wanita yang di foto. Bu Riana lihat sendiri kan gimana miripnya saya sama Mama? Tapi karakter kami sangat berbeda. Saya__"
Mendengar Kenzi mencoba menghibur, aku sedikit menaikkan sudut bibir tanpa sadar. Kata-katanya memberi sedikit kedamaian di hatiku yang gelisah. Meski tidak terdengar sepenuhnya meyakinkan, ucapannya membuatku merasa sedikit lebih tenang.
"Akhirnya Bu Riana beneran tersenyum", ucap Kenzi tiba-tiba.
Aku mendelik, terkejut. "Apa maksudmu senyum beneran?"
"Habisnya dari tadi Bu Riana tersenyum kayak kepaksa, jadi.... Saya khawatir ".
Anak muda ini pandai sekali membaca ekspresi orang lain. Apakah aku terlalu kentara berpura-pura? Entahlah.
Mengalihkan perhatian dari foto, aku meraih secarik kertas yang juga terlihat sudah lama. Mungkin seumuran dengan foto ibuku. Tulisan alamat terpampang jelas disana, dan aku merasa familiar dengan tempat itu, tapi dimana?
"Oh, ini salah satu TPU di pinggir kota", timpal Kenzi. Aku segera menoleh untuk memastikan, kemudian dia berujar kembali, "Kakek kami dimakamkan disana. Jadi paling tidak satu atau dua kali dalam setahun, saya kesana ".
Perasaan campur aduk kembali menghampiri. Aku menatap Kenzi sesaat, mencoba membaca situasi yang tidak begitu aku sukai.
Namun sepertinya tatapanku memberikan tekanan tersendiri pada Kenzi, sebab tiba-tiba dia terlihat tidak enak. "Anw... Maksud saya kalau Bu Riana mau kesana atau penasaran, saya tau tempat itu".
"Oh!" Aku tersadar dari lamunan, lalu menggeleng kencang. "Maaf, Kenzi. Aku tidak menyalahkan kamu atau apapun. Aku cuma lagi mikirin hal lain".
Kenzi terlihat mengangguk-angguk kecil. "Tapi, Bu. Tentang alamat itu, apa berarti___"
"Iya. Ibuku sudah meninggal, dan sepertinya Papa mau ngasih tau aku dimana tempat terakhir ibuku ".