"Satu detik di sini adalah satu tahun di dunia nyata. Beranikah kamu pulang saat semua orang sudah melupakan namamu?"
Bram tidak pernah menyangka bahwa tugas penyelamatan di koordinat terlarang akan menjadi penjara abadi baginya. Di Alas Mayit, kompas tidak lagi menunjuk utara, melainkan menunjuk pada dosa-dosa yang disembunyikan setiap manusia.
Setiap langkah adalah pertaruhan nyawa, dan setiap napas adalah sesajen bagi penghuni hutan yang lapar. Bram harus memilih: membusuk menjadi bagian dari tanah terkutuk ini, atau menukar ingatan masa kecilnya demi satu jalan keluar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mr. Awph, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16: Jejak kaki yang terhapus cahaya
Di kejauhan padang putih itu, Baskara melihat dirinya sendiri sedang berjalan masuk ke dalam sebuah gerbang yang terbuat dari cahaya matahari yang sangat terang. Sosok itu tampak sangat tenang dan mengenakan seragam tim penyelamat yang masih utuh tanpa ada satu pun noda darah atau robekan akibat cakar mahluk hutan.
Baskara mencoba memanggil dirinya yang lain itu namun suaranya hanya tertahan di tenggorokan yang terasa seperti tersumbat oleh debu putih yang sangat halus. Ia berlari mengejar bayangan masa lalunya tersebut hingga kakinya terasa perih karena menginjak permukaan padang yang ternyata terdiri dari jutaan butiran gigi manusia yang sangat kecil.
Butiran gigi itu mengeluarkan suara gemeretak yang sangat memilukan setiap kali kaki Baskara mendarat di atasnya secara terus-menerus. Semakin ia mendekat ke arah gerbang cahaya, semakin kuat pula angin dingin yang bertiup hingga membuat kulit wajahnya terasa seperti diiris oleh ribuan silet yang sangat tajam.
"Berhenti! Jangan masuk ke dalam gerbang itu jika kamu masih ingin memiliki ingatan tentang siapa dirimu yang sebenarnya!" teriak sebuah suara dari arah belakang.
Baskara menoleh dan terkejut melihat sosok Arini yang kini mengenakan pakaian serba hitam dengan wajah yang tertutup oleh cadar dari jalinan rambut manusia yang masih basah. Arini memegang sebuah cermin retak yang permukaannya terus memancarkan asap berwarna ungu tua yang sangat menyesakkan lubang hidung Baskara.
"Arini? Mengapa kamu terus berubah wujud dan selalu muncul di saat aku hampir menemukan jalan keluar dari kegilaan ini?" tanya Baskara dengan napas yang memburu.
Arini melangkah maju dengan sangat hati-hati agar butiran gigi di bawah kakinya tidak hancur menjadi debu yang sangat mematikan bagi paru-paru manusia. Ia mengarahkan cermin retaknya ke arah gerbang cahaya yang sedang didekati oleh kembaran gaib Baskara dengan tatapan mata yang sangat penuh dengan kecemasan.
"Gerbang itu bukan jalan keluar, melainkan sebuah perangkap waktu yang akan menghapus seluruh keberadaanmu di dunia fana ini secara berulang-ulang," jawab Arini dengan suara yang bergetar.
Baskara kembali menatap ke depan dan melihat sosok dirinya yang lain kini sudah berdiri tepat di ambang pintu cahaya dengan tangan yang sudah menyentuh pilar gerbang. Seketika itu juga, pemandangan di dalam gerbang cahaya itu berubah menjadi sebuah pemakaman tua yang sangat luas dan dipenuhi oleh nisan tanpa nama.
Baskara merasakan jantungnya seolah berhenti berdetak saat ia melihat namanya sendiri terukir dengan tinta emas pada setiap nisan yang ada di dalam pemakaman tersebut. Ia menyadari bahwa jika kembarannya masuk ke sana, maka garis takdirnya akan terkunci di dalam sebuah lingkaran kematian yang tidak memiliki pintu keluar lagi.
"Lalu apa yang harus aku lakukan agar mahluk itu tidak masuk ke dalam sana dan menghancurkan masa depanku?" tanya Baskara sambil mengepalkan tangan kanannya yang memiliki simbol kunci.
Arini melemparkan cermin retaknya ke arah Baskara dan meminta pemuda itu untuk menangkap cahaya matahari yang terpantul dari dalam gerbang dengan permukaan cermin tersebut. Baskara menangkap cermin itu dan merasakan adanya tarikan energi yang sangat kuat yang mencoba untuk menyeret tubuhnya masuk ke dalam pantulan asap ungu tersebut.
Ia mengarahkan cermin itu tepat ke arah punggung kembarannya yang sudah mulai menghilang di dalam kilauan cahaya matahari yang sangat menyilaukan mata secara terus-menerus. Pantulan cahaya dari cermin itu mengenai bahu sang kembaran hingga mahluk tersebut menjerit melengking dan berubah menjadi kepulan asap hitam yang sangat pekat.
"Kamu telah memutus tali takdirmu sendiri, Baskara, namun sekarang kamu tidak lagi memiliki tempat untuk kembali ke rumah!" seru mahluk asap itu sebelum akhirnya lenyap tertiup angin.
Padang putih berisi butiran gigi itu mendadak berguncang hebat hingga menciptakan sebuah lubang besar yang di dalamnya terdapat ribuan akar pohon beringin yang sedang bergerak melilit. Baskara terjatuh ke dalam lubang tersebut bersama dengan Arini dan cermin retaknya yang kini sudah hancur menjadi kepingan kecil yang tajam secara berulang-ulang.
Mereka mendarat di atas tumpukan bangkai binatang yang sudah mengering dan menimbulkan suara patahan tulang yang sangat nyaring di dalam keheningan lorong bawah tanah. Baskara merasa tubuhnya sangat lelah namun simbol kunci di tangannya justru semakin bersinar terang seolah sedang mendapatkan energi baru dari tempat yang sangat gelap ini.
"Kita sekarang berada di akar terdalam dari pohon wajah, tempat di mana semua rahasia busuk keluarga kita dikubur secara rapi," ucap Arini sambil melepas cadar rambutnya.
Wajah Arini kini tampak sangat pucat dengan bekas luka bakar yang membentuk pola sebuah peta kuno yang menunjukkan letak lembah tengkorak putih yang sangat legendaris. Baskara menyentuh peta di wajah Arini dan ia langsung mendapatkan penglihatan tentang kakek buyutnya yang sedang melakukan perjanjian darah dengan sesosok entitas raksasa tanpa wajah.
Di dalam penglihatan itu, ia melihat kakek buyutnya memberikan sebuah kotak hitam yang berisi jantung dari anak pertamanya sendiri sebagai jaminan bagi kemakmuran tujuh turunan. Baskara menangis tersedu-sedu saat menyadari bahwa seluruh penderitaan yang ia alami saat ini adalah hasil dari pengkhianatan darah yang dilakukan oleh leluhurnya sendiri.
"Hentikan tangisanmu, Baskara, karena air matamu hanya akan memancing kedatangan para pengumpul jiwa yang sedang bersembunyi di balik akar beringin ini!" perintah Arini dengan tegas.
Baskara menyeka air matanya dan berdiri tegak sambil menghunus belati peraknya yang kini sudah kembali utuh berkat energi dari simbol kunci di telapak tangannya tersebut. Ia melihat ke arah lorong yang semakin menyempit dan dipenuhi oleh lumut yang mengeluarkan cahaya merah darah yang sangat redup dan sangat mencekam.
Suara bisikan-bisikan dari pohon wajah mulai terdengar kembali dan kali ini mereka menyebutkan rahasia-rahasia paling kelam yang pernah Baskara lakukan selama bekerja sebagai anggota tim penyelamat. Mereka menyebutkan tentang orang-orang yang gagal ia selamatkan karena ia lebih memilih untuk menyelamatkan nyawanya sendiri di masa lalu secara terus-menerus.
"Jangan dengarkan mereka! Mereka hanya ingin membuat jiwamu merasa berat agar kamu lebih mudah untuk ditarik masuk ke dalam tanah!" teriak Arini sambil menutup telinga Baskara.
Namun, salah satu akar beringin yang sangat besar mendadak berubah menjadi tangan manusia dan mencengkeram kaki Arini hingga gadis itu terseret masuk ke dalam dinding tanah yang lembap. Baskara mencoba menangkap tangan Arini namun akar-akar lain segera muncul dan membungkus tubuh Arini seperti sebuah kepompong kayu yang sangat keras secara berulang-ulang.
Arini hanya sempat melemparkan sebuah tas kecil berisi mustika mata gagak hitam kepada Baskara sebelum wajahnya tertutup sepenuhnya oleh kulit pohon beringin yang sangat tebal. Baskara berteriak penuh kemarahan dan mencoba menebas akar-akar tersebut dengan belati peraknya namun bilah senjatanya justru terpental karena kerasnya kayu pohon wajah itu.
"Tinggalkan aku, Baskara! Temukan lembah itu dan hancurkan jantung hutan ini sebelum mahluk itu bangkit sepenuhnya dari tidurnya yang panjang!" suara Arini terdengar sangat lemah dari dalam batang pohon.
Baskara memeluk batang pohon tersebut dengan penuh rasa putus asa namun ia menyadari bahwa ia tidak bisa berlama-lama di sana karena tanah di bawah kakinya mulai berubah menjadi lumpur hisap. Ia berlari meninggalkan Arini dengan membawa mustika mata gagak hitam yang terus berdenyut di dalam tas kecilnya seolah memiliki nyawa tersendiri secara terus-menerus.
Ia sampai di sebuah ruangan luas yang di tengahnya terdapat sebuah kolam air yang sangat jernih namun di dasarnya terdapat ribuan tengkorak yang semuanya sedang menatap ke arah atas. Baskara melihat bayangannya di air kolam tersebut dan ia sangat terkejut melihat bayangannya kini tidak lagi menyerupai dirinya melainkan menyerupai sesosok monster berbulu hitam.
Baskara menyentuh wajahnya sendiri untuk memastikan apakah ia masih manusia, namun ia justru merasakan adanya taring yang mulai tumbuh keluar dari gusi bagian atasnya.